Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN lalu, tekanan agar Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatannya semakin kuat. Media sosial dibanjiri rasa kecewa atas jalannya sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang membahas tuduhan terhadap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar ini.
Berdasarkan rekaman percakapan dengan Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Setya dituduh melanggar kode etik sebagai wakil rakyat. Tudingan lain: ia dianggap mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memfasilitasi perpanjangan konsesi tambang Freeport di Papua, yang akan berakhir pada 2021. Sebagai imbalannya, ada permintaan saham Freeport sebesar 20 persen.
Publik kecewa karena MKD justru mempertanyakan motif serta legalitas Maroef yang merekam percakapannya dengan Setya Novanto dan pengusaha Muhammad Riza Chalid. Juga posisi hukum Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, yang melaporkan pertemuan tersebut kepada DPR, ketimbang membahas sejauh mana tindakan Ketua DPR telah melanggar etika.
Yang juga menarik perhatian adalah sosok Riza Chalid, pedagang minyak berpengaruh, yang saat pertemuan mendampingi Ketua DPR.
Meski namanya kerap disebut memiliki jaringan politik dan kedekatan dengan elite negeri ini, Riza jarang muncul ke hadapan khalayak. Dia pun memilih pergi ke luar negeri ketika kesaksiannya ditunggu banyak orang di sidang MKD.
Skandal ini jelas telah merusak kredibilitas parlemen dan para wakil rakyat. Tapi, rupanya, ada pula sisi positifnya. Pertama, reaksi publik mencerminkan masyarakat yang lebih kritis dan semakin menuntut standar perilaku yang lebih tinggi dari wakilnya di DPR. Kedua, peran dari beberapa politikus sebagai makelar atau calo, yang menjadi kebiasaan di masa lalu, sudah tidak lagi ditoleransi. Ketiga, dengan bantuan teknologi media sosial dan iklim politik yang lebih terbuka, perdebatan yang terjadi memperlihatkan meningkatnya peran pengawasan masyarakat untuk menjaga kepentingan publik—satu hal yang tak terbayangkan bisa terjadi di masa Presiden Soeharto.
Mungkin kita perlu memikirkan cara divestasi kepemilikan perusahaan asing yang lebih transparan. Ini penting agar mengurangi kesempatan korupsi dan penyalahgunaan jabatan untuk percaloan. Sudah waktunya dibahas opsi bagi perusahaan asing untuk memenuhi persyaratan kepemilikan saham lokal lewat Bursa Efek Indonesia dengan melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO). Proses divestasi lewat pasar modal akan jauh lebih transparan dan lebih mudah menentukan nilai saham yang bakal dilepas. Prosesnya akan melibatkan cukup banyak institusi kompeten dan berpengalaman, sehingga dapat memberikan checks and balances.
Entitas yang membeli saham dari perusahaan asing ini harus dipastikan berasal dari dalam negeri. Maka partisipasi masyarakat serta komposisi kepemilikan perusahaan akan lebih luas dan beragam. Opsi ini memang bukan hal baru, hanya kurang mendapat perhatian di masa lalu dan sudah saatnya dipertimbangkan lagi.
Pekan lalu, Direktur Jenderal Pajak Sigit Pramudito mengumumkan keputusannya mengundurkan diri dari jabatan lantaran tak tercapainya target penerimaan pajak 2015. Ini cukup mengejutkan karena pengunduran diri pejabat tinggi di Indonesia masih belum lazim. Dalam pesan pendeknya kepada wartawan, Sigit menulis bahwa langkahnya semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab karena tidak berhasil mencapai target pajak di atas 85 persen. Tindakannya mendapat sambutan cukup positif dari masyarakat, dan barangkali bisa menjadi inspirasi bagi Ketua DPR.
Manggi Habir Kontributor Tempo
KURS
Rp per US$
Pekan sebelumnya 13.845
13.954 Penutupan 10 Desember 2015
IHSG
Pekan sebelumnya 4.537
4.466 Penutupan 10 Desember 2015
INFLASI
Bulan sebelumnya 6,25%
4,89% Nov 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
30 Oktober 2015 US$ 100,7 miliar
US$ miliar 100,24 30 November 2015
Pertumbuhan PDB
2014 5,0%
5,1% Target 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo