Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Jumlah pelanggan PLTS atap terus bertumbuh, terutama dari kelompok rumah tangga.
Pengguna terbanyak berada di Jawa Barat.
Biaya memasang panel surya dinilai masih terlalu tinggi.
JAKARTA – Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap semakin tenar. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah pelanggannya terus bertumbuh, terutama dari kelompok rumah tangga. Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia, Anthony Utomo, menyatakan jumlah pelanggan PLTS atap naik dari hanya 609 pelanggan pada 2018 menjadi 4.262 pelanggan pada kuartal III 2021. Adapun total kapasitas terpasang pembangkit ini sebesar 39,28 MWp. "Mayoritas adalah pelanggan rumah tangga," katanya kepada Tempo, merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kemarin.
Menurut Anthony, pengguna terbanyak saat ini berada di Jawa Barat dengan kapasitas sekitar 9 MWp. Instalasi PLTS atap juga banyak ditemukan di kota-kota penyangga DKI Jakarta, yang umumnya merupakan rumah tangga dengan pendapatan menengah. Di luar Jawa, kapasitas PLTS atap masih rendah dengan rata-rata kapasitas di bawah 1 MWp.
Anthony memperkirakan pertumbuhan pelanggan pembangkit ini belum akan berhenti, terlebih jika masyarakat semakin paham tentang keuntungan PLTS atap. Pengguna bisa berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca karena memanfaatkan energi terbarukan. Selain itu, PLTS atap on grid atau yang tersambung dengan jaringan PT PLN (Persero) dapat membantu pelanggan berhemat ongkos energi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebutkan listrik yang tidak terpakai dari PLTS atap akan diserap oleh PLN. Perusahaan setrum akan menghargai surplus energi itu sesuai dengan tarif listrik yang berlaku. “Hasilnya tidak diberikan dalam bentuk tunai, melainkan dikembalikan dalam bentuk potongan tagihan listrik bulan selanjutnya.”
Pemeriksaan instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, 3 September 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Energi mengkonfirmasi pertumbuhan positif pelanggan PLTS atap. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menyatakan, sejak Januari sampai November 2021, terdapat tambahan kapasitas sebanyak 22,67 MWp yang berasal dari 1.555 pelanggan. Angkanya meningkat dari 2020 yang sebesar 14,89 MWp dari 1.334 pelanggan. "Hingga November 2021, total kapasitas PLTS atap yang terpasang sebesar 44,08 MWp yang dihasilkan dari 4.562 pelanggan," ujar Dadan.
Pemerintah, kata dia, mendorong pemanfaatan PLTS atap secara luas. Kementerian Energi menargetkan kapasitas terpasang pembangkit ini mencapai 3,6 GWp dalam kurun waktu 2021-2025. Dadan mengatakan pengadaan pembangkit dengan kapasitas sebesar itu bakal mendatangkan investasi sebesar Rp 45-63 triliun untuk pembangunan fisik pembangkit serta Rp 2,04- 4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor-impor. Proyek ini juga diperkirakan bakal menyerap 121.500 tenaga kerja.
Tahun ini, total kapasitas pembangkit PLTS atap ditargetkan mampu mencapai 90 MW. Pada 2022, target kapasitas terpasang pembangkit tersebut bakal menjadi 910 MW. Dadan mengungkapkan, pemerintah akan mendorong akselerasi pengembangan pembangkit melalui penyebarluasan informasi, fasilitasi, dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan. Menurut dia, Kementerian juga berencana menggandeng lembaga pendanaan, termasuk perbankan, untuk menyediakan skema pendanaan dan insentif.
Perkembangan Pelanggan PLTS Atap
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Paul Butarbutar, menuturkan insentif dari lembaga keuangan serta pemerintah masih sangat dibutuhkan untuk pengembangan PLTS atap. "Khususnya bagi rumah tangga, biayanya masih terlalu tinggi untuk memasang PLTS atap," katanya. Paul berujar, kebanyakan pelanggan pembangkit atap bukan mengincar penghematan, melainkan didorong kesadaran untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Biaya pengadaan PLTS atap bervariasi, tapi tak ada yang lebih murah dari Rp 10 juta. Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi, Chrisnawan Aditya, sebelumnya menyatakan biaya termurah pembangkit ini Rp 10 juta untuk kapasitas 1 KWp. Biayanya bisa lebih tinggi, sampai kisaran Rp 30 juta, bergantung pada jenis panel yang digunakan. Harga tersebut belum termasuk biaya instalasi dan pemasangan smart meter dari PLN. Jika ingin menggunakan baterai, ongkos yang dikeluarkan lebih tinggi lagi.
Chrisnawan menyebut biaya tersebut sebagai investasi yang menguntungkan lantaran panel bisa bertahan hingga 25 tahun. Dengan tarif listrik seperti sekarang, pelanggan PLTS atap bisa balik modal dalam 7-8 tahun. "Ibaratnya kita berinvestasi lalu bisa mendapat untung di tahun ke-9," katanya. Sementara itu, berdasarkan hitungan Asosiasi Energi Surya Indonesia, balik modal bisa lebih cepat jika kapasitas terpasang lebih besar dan ada kenaikan tarif dasar listrik PLN.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo