Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) diduga menjadi penyebab deforestasi puluhan ribu hektare hutan di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Hal ini terungkap dari penelusuran kolaboratif enam media yang tergabung dalam Depati Project, The Society of Indonesian Environmental Journalists atau SIEJ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan siaran Pers yang dipublikasi 31 Mei 2024, disebutkan hutan alam seluas 33.000 hektare atau separuh ukuran Singapura yang penuh hewan endemik seperti Orangutan, Burung Rangkong, Beruang Madu dan lainnya juga merupakan kawasan gambut dilindungi, dibabat untuk ambisi usaha Hutan Tanaman Industri milik PT Mayawana Persada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arif Nugroho, Jurnalis Pontianak Post yang juga terlibat dalam penelusuran tersebut melihat langsung praktik pembukaan hutan yang dilakukan secara ugal-ugalan oleh Mayawana Persada. “Praktik kotor itu tidak hanya mengubah bentang alam hutan menjadi tanaman monokultur, tapi juga mengakibatkan hilangnya ruang hidup dan tanah ulayat adat,” ujarnya dikutip dari siaran pers, 31 Mei 2024.
Kawasan lindung gambut di Kalimantan Barat juga terancam praktik deforestasi ini. Gambut, sebagai ekosistem yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi dan mengurangi emisi gas rumah kaca, kini terancam rusak parah akibat dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Koresponden CNN Indonesia TV Miftah Faridl mengatakan negara dalam hal ini pemerintah, seperti memfasilitasi sebuah entitas bisnis, menjagal hutan alam habitat orangutan sekaligus ruang hidup masyarakat. Berapapun nilai investasi yang didapat menurut dia tidak akan sebanding dengan hancurnya ekosistem ini, apalagi sekaligus membunuh kebudayaan masyarakat adat Dayak. “Belum lagi ancaman bencana ekologi akibat praktik rakus dengan membabat hutan ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil bersama perwakilan masyarakat adat Kualan, Ketapang, Kalimantan Barat sempat melaporkan PT. Mayawana Persada ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, pada 29 April 2024. Koalisi terdiri dari organisasi Satya Bumi, Wahana Lingkungan (WALHI) Eknas, WALHI Kalimantan Barat (Kalbar), Satya Bumi, Link-Ar Borneo, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, AMAN Ketapang Utara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia, Pantau Gambut dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).
Mereka mendesak KLHK untuk mencabut izin PT Mayawana Persada lantaran deforestasi yang dilakukan hingga seluas 35 ribu hektar dari total konsesi 136.710 hektar sejak 2016. PT Mayawana Persada dilaporkan melanggar pasal 1 angka 16 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas perusakan lingkungan yang terdiri dari; perusakan gambut lindung hingga habitat orangutan.
Tempo mencoba menghubungi pihak Humas PT Mayawana Persada, Ardianto Santoso terkait dugaan deforestasi yang dilakukan perusahaan, namun hingga berita ini ditulis Ardianto tidak merespons.