Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desain bangunannya tampak futuristik, dengan bagian atap seluruhnya mengambil pola garis melengkung sedikit bergelombang. Sepintas modelnya menyerupai seekor kadal besar. Terminal baru Bandar Udara Komodo itu sepertinya hendak menampilkan gambaran binatang endemik yang menjadi ikon gugusan kepulauan di Nusa Tenggara Timur.
Ketika berlangsung acara akbar Sail Komodo, pertengahan September lalu, wajah anyar bandara itu sekaligus tampil perdana. Pesawat Boeing 737-800 Garuda Indonesia yang ditumpangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendarat di sana dengan mulus. "Landasannya sudah kami perpanjang," kata Bambang Tjahjono, Direktur Bandar Udara Kementerian Perhubungan, Rabu pekan lalu.
Sebelumnya, panjang landasan Bandara Komodo cuma 1.850 meter. Bandara itu hanya bisa didarati pesawat berbadan kecil, seperti ATR 72, Fokker 50, dan MA60. Kini landasan pacunya menjadi 2.150 meter dan mampu melayani pendaratan pesawat berbadan lebih lebar. Bandara yang terletak di Labuan Bajo, Flores, ini salah satu dari sepuluh lapangan terbang yang siap ditawarkan pemerintah kepada swasta dalam waktu dekat.
Sembilan lainnya adalah Bandara Sentani di Papua, Mutiara di Palu, Juwata di Tarakan, Matahora di Wakatobi, Sultan Babullah di Ternate, Tjilik Riwut di Palangkaraya, Hanandjoedin di Tanjung Pandan, Fatmawati Soekarno di Bengkulu, dan Bandara Raden Inten di Lampung. Sepuluh bandara itu dipilih karena jumlah penumpang melalui tiap bandara itu sudah di atas 500 ribu penumpang per tahun. Raden Inten bahkan sudah di atas 1 juta orang.
Khusus Bandara Komodo, nilai jualnya makin tinggi karena posisinya sebagai gerbang utama menuju kawasan Taman Nasional Komodo. Kawasan konservasi yang dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia itu tak hanya kondang di antara para pelancong, tapi juga mulai menarik banyak investor asing menanam modal di sana, dari hotel sampai sarana pendukung wisata lainnya. "Empat dari lima hotel yang ada adalah bintang lima," ujar Bambang.
Peningkatan jumlah penumpang angkutan udara ini merata di hampir semua bandar udara di Indonesia. Maskapai penerbangan dan pesawat yang menerbangi Indonesia pun meningkat signifikan. Dan itu juga bermakna bahwa bisnis penerbangan, termasuk pengelolaan bandaranya, akan semakin menarik secara ekonomi.
Pada masa lalu, pengelolaan setiap bandara yang dinilai punya peluang menguntungkan secara komersial akan diserahkan kepada badan usaha milik negara di sektor ini, yakni Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II.
Kedua perusahaan ini kini menguasai 26 bandar udara besar di seluruh Tanah Air. Ratusan bandara lain yang lebih kecil atau bahkan berskala perintis dikelola di bawah Unit Pelaksana Teknis Kementerian Perhubungan. Maka, jika ada kerugian atau berat di ongkos, pemerintah masih bisa menomboki dari kantongnya.
Pola itulah yang sekarang sedang dalam proses untuk ditinggalkan. Pemerintah sudah mengambil keputusan mengakhiri era monopoli pengelolaan bandara komersial oleh Angkasa Pura. "Pemerintah menginginkan adanya kompetisi," kata Bambang.
Peluang akan segera dibuka bagi swasta untuk bermain di lapangan yang sama. Sebab, pemerintah khawatir, bila Angkasa Pura hanya bermain sendiri tanpa ada pesaing, bandara di Indonesia menjadi tidak kompetitif dan kurang efisien. "Siapa tahu, kalau yang lain diberi kesempatan, bandaranya jadi lebih bagus, lebih bersih, AC-nya lebih dingin, restorannya lebih bagus," ucapnya.
Wakil Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengakui kapasitas bandara di Indonesia sudah dalam kondisi kritis karena tak seimbang lagi dengan laju pertumbuhan penumpang pesawat udara. "Di satu sisi kita punya BUMN Angkasa Pura yang spesialisasinya mengelola bandara. Tapi spesialisasi itu bercampur dengan monopoli, karena hanya ada AP I untuk wilayah timur dan AP II untuk wilayah barat," katanya.
Karena tak ada persaingan, kedua perusahaan itu dianggap kurang terpacu dalam meningkatkan pelayanan. "Saya pribadi sudah tidak nyaman. Terbang dari Jakarta harus menunggu hampir sejam di dalam pesawat karena antre untuk takeoff," ujar Wakil Menteri. "Itu sebabnya, pemerintah berniat mengeluarkan bisnis pengelolaan bandara dari daftar negatif investasi asing."
Penyerahan pengelolaan bandara kepada swasta selain Angkasa Pura sebenarnya amat terbuka dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Di situ disebutkan pelayanan jasa kebandarudaraan diselenggarakan badan usaha bandar udara tanpa secara khusus menyebut badan usaha milik negara. "Makanya kami coba tawarkan ke swasta lain," kata Bambang Tjahjono.
Untuk mewujudkannya, pekan ini pemerintah mulai mengadakan konsultasi pasar. Dalam tahapan ini, perusahaan swasta atau BUMN lain dan investor asing yang sudah menyatakan minatnya akan diundang. Pemerintah akan melihat keseriusan mereka. Jika memang sungguh berminat, mereka segera diminta membuat proposal, baru kemudian masuk tahap berikut dengan mengumumkannya.
Sejauh ini ada beberapa perusahaan swasta atau milik negara selain Angkasa Pura yang menyatakan hendak ikut melamar jadi pengelola bandara. Salah satunya PT Garuda Indonesia Tbk. "Kami sudah mengajukan surat," ucap Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar.
Wakil Direktur Komunikasi Garuda Pujobroto mengatakan keinginan perusahaannya melebarkan sayap ke bisnis baru itu dimaksudkan untuk mengintegrasikan pengelolaan bandara dan operasional penerbangan. "Karena keduanya sebenarnya merupakan satu kesatuan," katanya. Saat ini mereka masih mempelajari mana saja di antara sepuluh bandara itu yang akan dipilih. "Nantinya kami akan bekerja sama dengan pihak ketiga."
Maskapai Lion Air juga dikabarkan menyatakan ketertarikannya. Tapi sejauh ini mereka masih menunggu detail penawaran yang akan disampaikan pemerintah. "Kami belum melihat ketentuannya seperti apa," ujar Direktur Umum Lion Air Edward Sirait. Ada pula nama Bakrie Indo Infrastructure, unit usaha di bawah Bakrie & Brothers, yang masuk daftar peminat.
Menurut Bambang Tjahjono, pengelolaan bandara oleh maskapai penerbangan sudah lazim di banyak negara. "Apakah mereka ingin mengelola keseluruhan bandara atau hanya sebagian saja, misalnya hanya terminalnya," katanya.
Dari luar negeri, beberapa calon investor juga mulai mendekat. Mereka berasal dari Singapura, Malaysia, Australia, Jepang, Korea Selatan, India, juga beberapa perusahaan dari Spanyol dan Jerman. Beberapa di antaranya sudah menjalin kerja sama dengan Angkasa Pura, seperti GVK dari India, yang terlibat dalam pengelolaan Bandara Ngurah Rai di Bali. Juga ada Incheon International Airport Company asal Korea, yang sudah terlibat di Terminal 2 Bandara Juanda, Surabaya. Nama Singapore Airport Terminal Service dan Temasek juga ada dalam daftar.
Namun, Bambang Tjahjono mewanti-wanti, pemerintah tidak mau kasus pengembangan bandara di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terulang. Ketika itu, kencang dikabarkan bahwa Emaar Properties, investor asal Timur Tengah, akan membangun berbagai fasilitas di kawasan Mandalika dekat Bandara Internasional Lombok. Nyatanya, hasilnya nihil dan tak lebih dari isapan jempol belaka.
Pemerintah juga tidak akan memberikan hak pengelolaan bandara kepada pihak asing 100 persen. Berdasarkan Undang-Undang Penerbangan, pemilik modal nasional harus tetap diberi porsi lebih besar dari pemegang modal asing. "Asing hanya boleh maksimal 49 persen dan bukan sebagai pemegang saham mayoritas," Bambang Tjahjono menjelaskan.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Mahendra Siregar pun sudah bertemu dengan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono untuk membahas hal tersebut, Selasa pekan lalu. Semula Mahendra sempat melontarkan usul agar asing bisa 100 persen mengelola bandar udara. Tapi akhirnya mereka semua sepakat angkanya tak bisa menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Penerbangan.
Besarnya nilai kerja sama di setiap bandara itu nantinya akan dihitung bersama Kementerian Keuangan. Setelah itu, pemerintah menyusun skema tarif yang diharapkan membuat investor tertarik. "Kami juga akan memberi jaminan terhadap risiko politik," ucap Bambang Brodjonegoro.
Beberapa ketentuan lain dijelaskan oleh Bambang Tjahjono. Menurut dia, perjanjian konsesi juga akan mencantumkan klausul tertentu. Misalnya, bila jumlah penumpang sudah mencapai 70 persen dari kapasitas maksimal, pengelola bandara harus menambah luas terminal. Juga apabila kapasitas landasan sudah 80 persen, pengelola diwajibkan membuat landasan baru. Dengan demikian, level pelayanan bisa dipertahankan pada tingkat tertentu.
Sebaliknya, pemerintah juga punya tanggung jawab segera menuntaskan persoalan yang masih tersisa di beberapa bandara. Misalnya terkait dengan ancaman penutupan Bandara Sentani di Papua oleh empat suku, yakni Palo, Taime, Yoku, dan Kopeo. Suku-suku ini menuntut ganti rugi hak ulayat atas tanah adat yang terkena proyek perluasan bandara, yang menurut mereka belum dibayarkan hingga sekarang. "Ada enam hektare tanah adat yang terkena, tapi belum ada pembayaran dari pihak Bandara Sentani," kata Thobias Palo, kepala suku Palo.
Demikian pula yang terjadi di Bandara Sultan Babullah. Pemerintah Provinsi Maluku Utara berkeras mengelola bandara tersebut. Sebab, terminal modern yang baru saja selesai dibangun senilai Rp 90 miliar itu diongkosi dari anggaran provinsi. "Kami sudah mengusulkan agar Kementerian Perhubungan menyerahkan hak pengelolaan terminal bandara kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ini penting dilakukan untuk kemajuan daerah," ujar Taufik Madjid, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Maluku Utara.
Sengketa inilah yang dikhawatirkan akan menjadi ganjalan. Sebab, pemerintah pusat juga tak kalah ngotot. Bambang Tjahjono mengklaim, karena berada di bawah unit pelaksana teknis, bandara-bandara tersebut jelas milik pemerintah melalui Kementerian Perhubungan. "Termasuk tanahnya tidak ada masalah. Itu yang kami tawarkan."
Iqbal Muhtarom, Cunding Levi (Papua), Budhy Nurgianto (Ternate)
Investor yang Berminat
Singapura:
-Singapore Airport Terminal Service
-Temasek
Dubai:
-Grup Al-Jumeirah
Malaysia:
-Aghniyak Builders
-Aiwanna Management
-Triden
Australia:
-Macquarie Infrastructure
Selandia Baru
-New Zealand Trade and Enterprise
Jepang
-Ithochu
Korea Selatan:
-Incheon International Airport Company (IIAC)
-Samsung
India:
-GVK
-Mumbai Group
Prancis:
-Vinci Airports
Jerman:
-Hochtief Group
Spanyol:
-ACS
Jumlah penumpang pesawat di Indonesia
2008 | 37.405.437 |
2009 | 43.808.033 |
2010 | 51.775.656 |
2011 | 60.197.306 |
2012 | 71.421.464 |
Jumlah penumpang penerbangan berjadwal internasional 2012
Afrika | 69,8 juta |
Timur Tengah | 144,1 juta |
Amerika Latin | 226,5 juta |
Eropa | 780,6 juta |
Asia Pasifik | 947,9 juta |
Amerika Utara | 808,1 juta |
Jumlah penumpang per bandara (10 yang ditawarkan pemerintah)
Fatmawati Soekarno Bengkulu
Radin Inten Lampung
Hanandjoeddin Tanjung Pandan Bangka-Belitung
Tjilik Riwut Palangkaraya
Juwata Tarakan
Komodo Labuhan Bajo Flores
Mutiara Palu
Sultan Babullah Ternate
Sentani Jayapura
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo