Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pesaing Baru Angkasa Pura

Pemerintah menawarkan pengelolaan sepuluh bandara komersial kepada swasta. Saat ini bandara itu dikelola Kementerian Perhubungan.

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desain bangunannya tampak futuristik, dengan bagian atap seluruhnya mengambil pola garis melengkung sedikit bergelombang. Sepintas modelnya menyerupai seekor kadal besar. Terminal baru Bandar Udara Komodo itu sepertinya hendak menampilkan gambaran binatang endemik yang menjadi ikon gugusan kepulauan di Nusa Tenggara Timur.

Ketika berlangsung acara akbar Sail Komodo, pertengahan September lalu, wajah anyar bandara itu sekaligus tampil perdana. Pesawat Boeing 737-800 Garuda Indonesia yang ditumpangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendarat di sana dengan mulus. "Landasannya sudah kami perpanjang," kata Bambang Tjahjono, Direktur Bandar Udara Kementerian Perhubungan, Rabu pekan lalu.

Sebelumnya, panjang landasan Bandara Komodo cuma 1.850 meter. Bandara itu hanya bisa didarati pesawat berbadan kecil, seperti ATR 72, Fokker 50, dan MA60. Kini landasan pacunya menjadi 2.150 meter dan mampu melayani pendaratan pesawat berbadan lebih lebar. Bandara yang terletak di Labuan Bajo, Flores, ini salah satu dari sepuluh lapangan terbang yang siap ditawarkan pemerintah kepada swasta dalam waktu dekat.

Sembilan lainnya adalah Bandara Sentani di Papua, Mutiara di Palu, Juwata di Tarakan, Matahora di Wakatobi, Sultan Babullah di Ternate, Tjilik Riwut di Palangkaraya, Hanandjoedin di Tanjung Pandan, Fatmawati Soekarno di Bengkulu, dan Bandara Raden Inten di Lampung. Sepuluh bandara itu dipilih karena jumlah penumpang melalui tiap bandara itu sudah di atas 500 ribu penumpang per tahun. Raden Inten bahkan sudah di atas 1 juta orang.

Khusus Bandara Komodo, nilai jualnya makin tinggi karena posisinya sebagai gerbang utama menuju kawasan Taman Nasional Komodo. Kawasan konservasi yang dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia itu tak hanya kondang di antara para pelancong, tapi juga mulai menarik banyak investor asing menanam modal di sana, dari hotel sampai sarana pendukung wisata lainnya. "Empat dari lima hotel yang ada adalah bintang lima," ujar Bambang.

Peningkatan jumlah penumpang angkutan udara ini merata di hampir semua bandar udara di Indonesia. Maskapai penerbangan dan pesawat yang menerbangi Indonesia pun meningkat signifikan. Dan itu juga bermakna bahwa bisnis penerbangan, termasuk pengelolaan bandaranya, akan semakin menarik secara ekonomi.

Pada masa lalu, pengelolaan setiap bandara yang dinilai punya peluang menguntungkan secara komersial akan diserahkan kepada badan usaha milik negara di sektor ini, yakni Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II.

Kedua perusahaan ini kini menguasai 26 bandar udara besar di seluruh Tanah Air. Ratusan bandara lain yang lebih kecil atau bahkan berskala perintis dikelola di bawah Unit Pelaksana Teknis Kementerian Perhubungan. Maka, jika ada kerugian atau berat di ongkos, pemerintah masih bisa menomboki dari kantongnya.

Pola itulah yang sekarang sedang dalam proses untuk ditinggalkan. Pemerintah sudah mengambil keputusan mengakhiri era monopoli pengelolaan bandara komersial oleh Angkasa Pura. "Pemerintah menginginkan adanya kompetisi," kata Bambang.

Peluang akan segera dibuka bagi swasta untuk bermain di lapangan yang sama. Sebab, pemerintah khawatir, bila Angkasa Pura hanya bermain sendiri tanpa ada pesaing, bandara di Indonesia menjadi tidak kompetitif dan kurang efisien. "Siapa tahu, kalau yang lain diberi kesempatan, bandaranya jadi lebih bagus, lebih bersih, AC-nya lebih dingin, restorannya lebih bagus," ucapnya.

Wakil Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengakui kapasitas bandara di Indonesia sudah dalam kondisi kritis karena tak seimbang lagi dengan laju pertumbuhan penumpang pesawat udara. "Di satu sisi kita punya BUMN Angkasa Pura yang spesialisasinya mengelola bandara. Tapi spesialisasi itu bercampur dengan monopoli, karena hanya ada AP I untuk wilayah timur dan AP II untuk wilayah barat," katanya.

Karena tak ada persaingan, kedua perusahaan itu dianggap kurang terpacu dalam meningkatkan pelayanan. "Saya pribadi sudah tidak nyaman. Terbang dari Jakarta harus menunggu hampir sejam di dalam pesawat karena antre untuk takeoff," ujar Wakil Menteri. "Itu sebabnya, pemerintah berniat mengeluarkan bisnis pengelolaan bandara dari daftar negatif investasi asing."

Penyerahan pengelolaan bandara kepada swasta selain Angkasa Pura sebenarnya amat terbuka dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Di situ disebutkan pelayanan jasa kebandarudaraan diselenggarakan badan usaha bandar udara tanpa secara khusus menyebut badan usaha milik negara. "Makanya kami coba tawarkan ke swasta lain," kata Bambang Tjahjono.

Untuk mewujudkannya, pekan ini pemerintah mulai mengadakan konsultasi pasar. Dalam tahapan ini, perusahaan swasta atau BUMN lain dan investor asing yang sudah menyatakan minatnya akan diundang. Pemerintah akan melihat keseriusan mereka. Jika memang sungguh berminat, mereka segera diminta membuat proposal, baru kemudian masuk tahap berikut dengan mengumumkannya.

Sejauh ini ada beberapa perusahaan swasta atau milik negara selain Angkasa Pura yang menyatakan hendak ikut melamar jadi pengelola bandara. Salah satunya PT Garuda Indonesia Tbk. "Kami sudah mengajukan surat," ucap Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar.

Wakil Direktur Komunikasi Garuda Pujobroto mengatakan keinginan perusahaannya melebarkan sayap ke bisnis baru itu dimaksudkan untuk mengintegrasikan pengelolaan bandara dan operasional penerbangan. "Karena keduanya sebenarnya merupakan satu kesatuan," katanya. Saat ini mereka masih mempelajari mana saja di antara sepuluh bandara itu yang akan dipilih. "Nantinya kami akan bekerja sama dengan pihak ketiga."

Maskapai Lion Air juga dikabarkan menyatakan ketertarikannya. Tapi sejauh ini mereka masih menunggu detail penawaran yang akan disampaikan pemerintah. "Kami belum melihat ketentuannya seperti apa," ujar Direktur Umum Lion Air Edward Sirait. Ada pula nama Bakrie Indo Infrastructure, unit usaha di bawah Bakrie & Brothers, yang masuk daftar peminat.

Menurut Bambang Tjahjono, pengelolaan bandara oleh maskapai penerbangan sudah lazim di banyak negara. "Apakah mereka ingin mengelola keseluruhan bandara atau hanya sebagian saja, misalnya hanya terminalnya," katanya.

Dari luar negeri, beberapa calon investor juga mulai mendekat. Mereka berasal dari Singapura, Malaysia, Australia, Jepang, Korea Selatan, India, juga beberapa perusahaan dari Spanyol dan Jerman. Beberapa di antaranya sudah menjalin kerja sama dengan Angkasa Pura, seperti GVK dari India, yang terlibat dalam pengelolaan Bandara Ngurah Rai di Bali. Juga ada Incheon International Airport Company asal Korea, yang sudah terlibat di Terminal 2 Bandara Juanda, Surabaya. Nama Singapore Airport Terminal Service dan Temasek juga ada dalam daftar.

Namun, Bambang Tjahjono mewanti-wanti, pemerintah tidak mau kasus pengembangan bandara di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terulang. Ketika itu, kencang dikabarkan bahwa Emaar Properties, investor asal Timur Tengah, akan membangun berbagai fasilitas di kawasan Mandalika dekat Bandara Internasional Lombok. Nyatanya, hasilnya nihil dan tak lebih dari isapan jempol belaka.

Pemerintah juga tidak akan memberikan hak pengelolaan bandara kepada pihak asing 100 persen. Berdasarkan Undang-Undang Penerbangan, pemilik modal nasional harus tetap diberi porsi lebih besar dari pemegang modal asing. "Asing hanya boleh maksimal 49 persen dan bukan sebagai pemegang saham mayoritas," Bambang Tjahjono menjelaskan.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Mahendra Siregar pun sudah bertemu dengan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono untuk membahas hal tersebut, Selasa pekan lalu. Semula Mahendra sempat melontarkan usul agar asing bisa 100 persen mengelola bandar udara. Tapi akhirnya mereka semua sepakat angkanya tak bisa menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Penerbangan.

Besarnya nilai kerja sama di setiap bandara itu nantinya akan dihitung bersama Kementerian Keuangan. Setelah itu, pemerintah menyusun skema tarif yang diharapkan membuat investor tertarik. "Kami juga akan memberi jaminan terhadap risiko politik," ucap Bambang Brodjonegoro.

Beberapa ketentuan lain dijelaskan oleh Bambang Tjahjono. Menurut dia, perjanjian konsesi juga akan mencantumkan klausul tertentu. Misalnya, bila jumlah penumpang sudah mencapai 70 persen dari kapasitas maksimal, pengelola bandara harus menambah luas terminal. Juga apabila kapasitas landasan sudah 80 persen, pengelola diwajibkan membuat landasan baru. Dengan demikian, level pelayanan bisa dipertahankan pada tingkat tertentu.

Sebaliknya, pemerintah juga punya tanggung jawab segera menuntaskan persoalan yang masih tersisa di beberapa bandara. Misalnya terkait dengan ancaman penutupan Bandara Sentani di Papua oleh empat suku, yakni Palo, Taime, Yoku, dan Kopeo. Suku-suku ini menuntut ganti rugi hak ulayat atas tanah adat yang terkena proyek perluasan bandara, yang menurut mereka belum dibayarkan hingga sekarang. "Ada enam hektare tanah adat yang terkena, tapi belum ada pembayaran dari pihak Bandara Sentani," kata Thobias Palo, kepala suku Palo.

Demikian pula yang terjadi di Bandara Sultan Babullah. Pemerintah Provinsi Maluku Utara berkeras mengelola bandara tersebut. Sebab, terminal modern yang baru saja selesai dibangun senilai Rp 90 miliar itu diongkosi dari anggaran provinsi. "Kami sudah mengusulkan agar Kementerian Perhubungan menyerahkan hak pengelolaan terminal bandara kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ini penting dilakukan untuk kemajuan daerah," ujar Taufik Madjid, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Maluku Utara.

Sengketa inilah yang dikhawatirkan akan menjadi ganjalan. Sebab, pemerintah pusat juga tak kalah ngotot. Bambang Tjahjono mengklaim, karena berada di bawah unit pelaksana teknis, bandara-bandara tersebut jelas milik pemerintah melalui Kementerian Perhubungan. "Termasuk tanahnya tidak ada masalah. Itu yang kami tawarkan."

Iqbal Muhtarom, Cunding Levi (Papua), Budhy Nurgianto (Ternate)


Investor yang Berminat

Singapura:
-Singapore Airport Terminal Service
-Temasek

Dubai:
-Grup Al-Jumeirah

Malaysia:
-Aghniyak Builders
-Aiwanna Management
-Triden

Australia:
-Macquarie Infrastructure

Selandia Baru
-New Zealand Trade and Enterprise

Jepang
-Ithochu

Korea Selatan:
-Incheon International Airport Company (IIAC)
-Samsung

India:
-GVK
-Mumbai Group

Prancis:
-Vinci Airports

Jerman:
-Hochtief Group

Spanyol:
-ACS

  • Jumlah bandara di Indonesia: 172
  • Bandar udara Angkasa Pura I: 13
  • Bandar udara Angkasa Pura II: 12
  • Jumlah maskapai : 18 maskapai
  • Sisanya dikelola Kementerian Perhubungan dan TNI

    Jumlah penumpang pesawat di Indonesia

    200837.405.437
    200943.808.033
    201051.775.656
    201160.197.306
    201271.421.464

    Jumlah penumpang penerbangan berjadwal internasional 2012

    Afrika69,8 juta
    Timur Tengah144,1 juta
    Amerika Latin226,5 juta
    Eropa780,6 juta
    Asia Pasifik947,9 juta
    Amerika Utara808,1 juta
    Sumber: Kementerian Perhubungan, IATA

    Jumlah penumpang per bandara (10 yang ditawarkan pemerintah)

    Fatmawati Soekarno Bengkulu

  • 2008: 562.741
  • 2009: 459.303
  • 2010: 542.204
  • 2011: 577.094
  • 2012: 604.468

    Radin Inten Lampung

  • 2008: 378.652
  • 2009: 552.713
  • 2010: 652.064
  • 2011: 1.034.050
  • 2012: 1.206.108

    Hanandjoeddin Tanjung Pandan Bangka-Belitung

  • 2008: 191.585
  • 2009: 243.798
  • 2010: 330.582
  • 2011: 391.000
  • 2012: 479.222

    Tjilik Riwut Palangkaraya

  • 2008: 168.494
  • 2009: 327.112
  • 2010: 461.459
  • 2011: 606.047
  • 2012: 462.532

    Juwata Tarakan

  • 2008: 200.398
  • 2009: 349.539
  • 2010: 680.148
  • 2011: 770.232
  • 2012: 715.088

    Komodo Labuhan Bajo Flores

  • 2008: 52.260
  • 2009: 69.046
  • 2010: 93.541
  • 2011: 112.220
  • 2012: 102.250

    Mutiara Palu

  • 2008: 437.957
  • 2009: 497.284
  • 2010: 644.108
  • 2011: 782.654
  • 2012: 809.506

    Sultan Babullah Ternate

  • 2008: 223.176
  • 2009: 292.054
  • 2010: 428.813
  • 2011: 477.171
  • 2012: 519.240

    Sentani Jayapura

  • 2008: 850.945
  • 2009: 792.449
  • 2010: 1.030.263
  • 2011: 1.123.797
  • 2012: 1.333.806
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus