DARI para pelajar, tukang rokok, sampai perusahaan agen mobil Mercedes, semua cukup mengenal BPD Jaya (Bank Pembangunan Daerah Jakarta Raya). Namun, tak banyak yang tahu bahwa bank yang memiliki 7.000 nasabah serta agen karcis bis pelajar di DKI ini ber"pesta perak", bulan ini. BPD Jaya, yang berkantor pusat di Jalan Juanda III serta memiliki belasan cabang di pusat-pusat pertokoan di Ibu Kota ini, semula hanya menumpang di ruangan 4 X 7 m gedung Bapindo Pusat, Menteng. Idenya muncul dari pemerintah daerah, yang merasa uangnya hanya tersimpan di kas lebih baik diputarkan untuk membantu masyarakat kecil. Bank ini didirikan, dua puluh lima tahun lalu, ketika orang harus antre beli beras dan sandang. BPD memang dimanfaatkan pedagang kecil. Toko-toko sandang pangan bisa minta kredit untuk beli bahan, utangnya ditebus bila bahan sudah terjual, paling lama dua bulan. "Tak heran kalau BPD Jaya disebut bank pedagang kecil atau retailer bank," tutur Hasly Katamsi, Direktur I BPD Jaya. Namun, kini, menurut Direktur Utama Zein Djamaluddin, mereka memiliki nasabah perusahaan-perusahaan sebesar PT Gunung Agung, PT Pembangunan Jaya, atau NV Mass (agen dan bengkel mobil Mercedes). Tapi nasabah terbanyak, 5.000, tetap sekelas penerima KIK/ KMKP. Kredit yang disalurkan BPD Jaya, seperti umumnya BPD-BPD di provinsi lain, umumnya "di bawah kemampuan" - sehingga bisa dianggap terlalu likuid. Lihat saja neraca BPD Jaya per 31 Desember 1985. Bank beraset Rp 164 milyar itu mencatat modal, cadangan, serta simpanan pihak ketiga yang berjumlah Rp 150 milyar. Sedangkan kredit yang disalurkannya hanya Rp 50 milyar (33,3%). Sedangkan bank-bank swasta, umumnya, "terpaksa" memberikan pinjaman dengan harus meminjam dari Bank Indonesia atau dari bank lain. BPD Jaya, sejauh ini oleh BI masih dikategorikan bank swasta, meski dimiliki pemerintah daerah. Karena itu, dana-dana besar milik instansi atau badan usaha milik pemerintah pusat belum diperkenankan ditaruh di BPD. "Kami sedang berjuang agar BPD diakui penuh sebagai bank pemerintah," tutur Dirut BPD Jaya Zein Djamaluddin, yang ingin menarik instansi dan BUMN membuka rekening di banknya. Penyimpan terbesar di IPD Jaya, sejauh ini, masih pemerintah daerah. Dana ini sewaktu-waktu bisa ditarik. Karena itulah, direksi tak "berani" menyalurkannya sebagai Diniaman. kecuali dalam bentuk pinjaman antarbank, atau menanamkannya dalam sertifikat BI. Secara keseluruhan, BPD-BPD di 27 provinsi kelihatan sebagai bank yang kuat dananya: asetnya berjumlah Rp 1,1 trilyun - hampir sama dengan Bapindo atau BTN. Namun, belum semua BPD dianggap sehat. BPD Jaya, misalnya, tahun silam pernah dihebohkan. Dikabarkan, 1984, sampai 79 kali melanggar kewajiban menutup rekening nasabah yang telah menarik cek atau bilyet giro kosong. Ada lagi perusahaan, CV RS, yang diberi kredit, setahun kemudian macet. CV itu lalu ganti nama PT YP. dan menerima kredit lagi - lebih besar - yang ternyata juga macet. "Kedua perusahaan" itu menunggak Rp 100 juta dan Rp 311,7 juta. Pengelolaan BPD sering pula dicampuri secara paksa oleh pemda. Peristiwa yang masih segar, terjadi tahun silam, di Ujungpandang. Karena merasa mulai diperintah Gubernur, Dirut BPD Sulawesi Selatan Burhamzah, November 1985, kemudian mengundurkan diri. Padahal, Burhamzah, dosen senior Unhas, ditarik sejak 1983 untuk mengobati bank yang sakit itu, setelah pengelola sebelumnya diduga korupsi Rp 4,7 milyar. MW. Laporan Yusroni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini