Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Usahawan anak bapak

Munas hipmi di bali membahas tantangan berat yang dihadapi. hipmi tidak boleh terlalu berharap pada proyek-proyek pemerintah yang sudah banyak menciut. harus dialihkan pada bidang lain di luar pemerintah.(eb)

26 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMAKIN hari, kontraktor semakin banyak, sementara pekerjaan yang dibagikan pemerintah makin menciut. Resesi, kan? "Oleh sebab itu, sudah saatnya pengusaha mencari bidang lain di luar pemerintah," kata Menmud UP3DN, Ginandjar Kartasasmita, pada acara penutupan Munas Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Bali, Rabu pekan lalu. Ginandjar pun menegaskan, pengusaha kini tidak boleh terlalu berharap banyak, "Karena pemerintah pun sekarang melakukan efisiensi secara menyeluruh." Memang, selama ini, para pengusaha muda yang tergabung dalam Hipmi sangat bergantung pada proyek-proyek pemerintah. Seperti yang dikemukakan ketua umum terpilih, Sharif Sutardjo, "Hampir 80% proyek yang kami peroleh itu dari pemerintah." Sharif, yang pernah mendapat proyek mengangkut alat-alat pengilangan mmyak Cilacap, mengakui bahwa kemudahan memperoleh disebabkan sebagian besar anggota Hipmi adalah anak-anak pejabat atau pengusaha yang sudah punya nama. Pengusaha pemilik Ariobimo Group, yang bergerak di bidang perdagangan komoditi perkebunan dan lembaga keuangan nonbank, ini pun menyadari bahwa "satu-satunya jalan keluar hanya dengan diversifikasi usaha." Katanya, beberapa peluang masih tampak, terutama pada sektor-sektor industri pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sayangnya, meskipun pemerintah banyak melakukan efisiensi, perizinan masih merupakan kendala bagi mereka. Untuk itu, dalam pidato penutupannya, Ginandjar yang juga Ketua BKPM itu menjanjikan akan mempermudah perizinan bagi mereka yang hendak melakukan diversifikasi di luar proyek-proyek pemerintah. Selain perizinan, peluang pasar, permodalan, dan manajemen pun tampaknya masih menjadi hambatan. Payahnya, Hipmi, yang sebagai sarana kaderisasi pengusaha, akhlr-akhir ini malah lebih cenderung pada kegiatan politik. Seperti yang dikemukakan Chris Kanter, pengusaha yang bergerak sebagai pemasok alat-alat pengeboran minyak, "Hipmi lari ke politik, karena bisnis sedang lesu." Chris, yang juga pemilik Limousine Service (taksi hotel), ini pun mengakui bahwa selama ini pengusaha Hipmi gampang dapat proyek karena mereka kebanyakan anak orang terkenal. "Nama, bagi saya, merupakan salah satu aset bisnis," ujarnya, terus terang. Hanya saja, dl saat resesi seperti sekarang, "modal nama" tidak lagi menjadi utama. Sebab dengan menciutnya proyek, mitra usaha sekarang lebih melihat bonafiditas daripada sekadar nama. Gunarijah Kartasasmita juga mengiyakan hal ini, "Dapat atau tidaknya proyek pemerintah, sekarang ditentukan tingkat pro fesionalisme kami sendiri." Itulah sebabnya, katanya, kini sudah saatnya Hipmi memperdalam pengetahuan tentang manajemen bisnis. Pengusaha bidang konstruksi dan rekayasa ini pun menyadari, dengan berkurangnya order pemerintah, pengusaha dituntut mencari bidang lain. "Misalnya bidang pariwisata, yang mulai saya tekuni sekarang, masih menarik dan tidak terkena resesi," katanya. Atau Aburizal Bakrie, pengusaha muda yang merasa dibesarkan Hipmi dan sekarang sedang getol memasuki usaha perkebunan, yakin dengan memanfaatkan fasilitas perbankan secara penuh, pengusaha bisa mencari bidang usaha lain yang menarik. "Yang penting, jangan hanya melihat alternatif usaha yang besar-besar saja," ujarnya. Aburizal, yang pada waktu lalu gagal membeli perkebunan kelapa sawit milik pemerintah di Tor Gamba, rupanya yakin sekali sektor perkebunan merupakan bisnis yangenguntungkan. "Bisnis kedelai, misalnya,ltu bisnis menarik yang terlewatkan," ujarnya. Memang, selama ini, sebagian besar pengusaha Hipmi terlalu mengincar bidang konstruksi. Sehingga menciutnya anggaran pembangunan, "Menyebabkan lebih dari 50% proyek menghilang," kata Aswir Dainy Tara, Direktur Utama PT Suma Jaya Group. Tapi bukan hanya bidang konstruksi saja, ternyata, juga efisiensi yang terjadi di kalangan ABRI. Dan ini menyebabkan Aswir menjadi kekurangan proyek. Menurut dia, memang perkebunan merupakan sektor menarik yang masih lowong, tapi untuk mengubah pandangan pengusaha tidak mudah - namanya juga mengubah mental. Kesimpulannya, pengusaha kini dituntut berusaha tanpa backing, tentunya. B.K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus