Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani merespons pembebasan bea masuk untuk impor susu. Sebelumnya peternak sapi perah lokal menduga kebijakan tersebut sebagai salah satu penyebab susu lokal tidak terserap industri pengolahan susu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu mengatakan kebijakan pembebasan bea masuk memang sudah diatur dalam perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA). “Itu terkait FTA, trade agreement antara biasanya dengan ASEAN, dengan Australia, dengan New Zealand, jadi itu yang kita jalanin juga,” kata Askolani di kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta Timur, Kamis, 14 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ditanya apakah akan merevisi aturan tersebut, Askolani enggan menanggapi secara detail. Menurut dia, hal tersebut perlu dikaji di internal Kementerian Keuangan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166 Tahun 2011 diatur Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Dalam Rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA). Beleid tersebut mengatur pembebasan bea masuk impor dari Australia dan Selandia Baru, adalah satunya untuk produk susu.
Sebelumnya, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan 80 persen pasokan susu untuk memenuhi kebutuhan domestik merupakan susu impor. Menurut dia, hal itu disebabkan produksi susu dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan susu domestik.
Untuk menutupi kebutuhan itu, pemerintah mengimpor susu dari luar negeri. Importir terbesar di Indonesia saat ini adalah Selandia Baru dengan produksi susu sebesar 21,3 juta ton. Bersama Australia, Selandia Baru, pemerintah memanfaatkan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan Indonesia.
Sedangkan, kata Budi, susu yang diimpor pelaku industri pengolahan lokal bukan susu segar, melainkan susu skim. Hal ini mengakibatkan harga susu segar menjadi lebih murah dan peternak sapi perah mengalami kerugian.
Han Revanda Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini