Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

PHRI: Biaya Sertifikasi Halal Mahal dan Ribet, Sanksi Sebaiknya Tidak Diterapkan

Pemerintah perlu memperhatikan kemampuan pelaku usaha terkait biaya sertifikasi halal yang terbilang mahal.

31 Oktober 2024 | 07.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengkritisi kebijakan pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menetapkan sanksi bagi para pelaku usaha yang tidak memenuhi sertifikasi halal per 18 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pemerintah sebaiknya tidak menerapkan sanksi dengan banyaknya permasalahan dalam mendapatkan sertifikasi halal,” tutur Hariyadi kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Senin, 29 Oktober 2024. Ia menyatakan industri hotel dan restoran tidak siap dalam menjalankan kewajiban sertifikasi halal pada tanggal 17 Oktober 2024

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurutnya, pemerintah perlu memperhatikan kemampuan pelaku usaha terkait biaya sertifikasi yang terbilang mahal. “Bagaimanapun sertifikasi berbiaya mahal seharusnya tidak dapat dipaksakan untuk dijalankan oleh dunia usaha mengingat kondisi usaha tidak semua mampu,” tuturnya. 

Dilansir dari laman kemenag.go.id, tertulis komponen biaya permohonan sertifikat halal untuk barang dan jasa yang dikategorikan menurut jenis usahanya. Untuk usaha mikro dan kecil harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 300 ribu, sebesar Rp 5 juta untuk usaha jenis usaha menengah, dan Rp12,5 juta untuk usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri.

Sedangkan, biaya untuk permohonan perpanjangannya dibedakan. Untuk usaha mikro dan kecil harus mengeluarkan biaya sebesar Rp200 ribu, sebesar Rp2,4 juta untuk usaha jenis usaha menengah, dan Rp 5 juta untuk usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri.

Selain itu, kriteria usaha untuk mendapatkan sertifikasi halal, kata dia, juga cukup rumit untuk dipenuhi. “Sehingga harus banyak penyesuaian yang tidak mudah dilakukan,” kata dia.

Ia memberikan contoh penjualan minuman alkohol yang juga masih dilakukan hotel. Selain itu, ada pula restoran yang menggunakan bahan baku dari luar negeri melalui jalur impor.

Selanjutnya baca: Pembatasan menu dan bahan dinilai menghambat inovasi bisnis kuliner

Dia melanjutkan, pembatasan jumlah menu dan jumlah bahan seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) juga dinilai mampu menghambat inovasi dalam bisnis kuliner. “Belum lagi penamaan makanan yang juga harus sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam mendapatkan sertifikasi halal,” ujarnya.

Lebih jauh, Hariyadi menyampaikan bahwa tidak sedikit hotel dan restoran yang bekerja sama dengan UMKM guna memenuhi pasokan makanan maupun minuman dalam operasionalnya. “UMKM yang masih banyak belum memiliki sertifikat halal juga menyulitkan bisnis hotel dan restoran dalam mengikuti syarat sertifikasi halal,” tutur Hariyadi.

Sehingga, kata dia, terhambatnya hotel dan restoran dalam mendapatkan sertifikasi halal juga dapat disebabkan oleh ekosistem yang menjadi rantai pasok makanan dan minuman yang belum memiliki sertifikasi halal.

Ia juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan banyaknya tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya dari bisnis hotel dan restoran. Ia berpandangan bahwa ada risiko yang harus ditanggung dari kendala operasional hingga usaha-usaha yang gulung tikar jika sanksi tersebut diberlakukan.

Sehingga, dengan kata lain, pemerintah sudah seharusnya menjadikan kondisi ekonomi saat ini sebagai bahan pertimbangan. “Jangan memaksa pelaku usaha melaksanakan perizinan berusaha yang berbiaya mahal,” katanya. 

Sebelumnya, Kepala BPJPH Haikal Hassan mengatakan terdapat sanksi yang dapat diberikan kepada pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikasi halal per 18 Oktober 2024. Sanksi tersebut berupa sanksi administratif dalam bentuk peringatan tertulis dan/atau penarikan produk dari peredaran termasuk penutupan usaha bagi produk yang disajikan secara langsung seperti restoran, dapur hotel, rumah makan, dan kafe untuk skala usaha menengah dan besar.

PHRI kemudian mengirimkan surat yang menyatakan ketidaksiapan atas kebijakan tersebut melalui surat kepada Menteri Agama dengan tembusan Kepala BPJPH pada 3 Oktober 2024 lalu.

Dikutip dari laman bpjph.halal.go.id, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah dalam melaksanakan pengawasan JPH dapat dilakukan setelah berkoordinasi dan bekerja sama dengan BPJPH. Hal ini sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal yang menggantikan Peraturan PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Ananda Ridho Sulistya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus