SIAPA yang bakal menjadi pemilik pabrik olefin pertama di Indonesia tampaknya semakin jelas. Sampai saat ini konsorsium Chandra Asri masih unggul dari Petrochemical Industries of Indonesia (PII). Bahkan Chandra Asri sudah pasang ancangancang mulai berproduksi April 1994. Sedangkan PII masih berkutat dengan soalsoal dasar. Sebelumnya, proyek olefin Chandra Asri sempat terhambat oleh Tim Pengendalian Pinjaman Komersial Luar Negeri (TPPKLN). Kebijaksanaan uang ketat telah mendorong Pemerintah untuk menarik keterlibatan Bank Bumi Daya dari proyek yang pada awalnya bernilai US$ 2,25 milyar itu. Namun, setelah bos Chandra Asri, Prajogo Pangestu, menemukan investor baru dari Jepang -- dan mengurangi biaya pembangunan menjadi US$ 1,6 milyar -- Pemerintah memberi lampu hijau. Kini di areal seluas 150 hektare di Cilegon, Jawa Barat, sebagian mesin produksi sudah berdiri. Tapi, sebelumnya, kerikil sempat muncul ketika sebuah harian Jepang memberitakan para investor Negeri Sakura -- Marubeni, Showa Denko, Tosoh Corporation, Asahi Chemical Corporation, dan Asahi Glass -- mengajukan syarat pemberian kredit bahwa harus ada bank pemerintah Indonesia yang ikut dalam proyek Chandra Asri. Rupanya, berita itu hanya bagian dari persaingan bisnis. "Kalau Chandra Asri terhambat, tentu ada pihak lain yang senang," kata sebuah sumber TEMPO. Nyatanya mesin produksi sudah tiba di Cilegon. Kesiapan Chandra Asri itu ternyata tak membuat PII mundur. "Kami tetap berkeinginan meneruskan proyek olefin kami," kata seorang eksekutif perusahaan Jepang, C. Itoh, yang aktif dalam konsorsium PII. Sejak 1989, konsorsium PII, yang dimiliki Shell, C. Itoh, Mitsubishi, dan Bimantara, juga memegang izin untuk proyek yang sama di Cilacap. Izin yang hanya berlaku tiga tahun itu memang akan berakhir pada September depan. Tapi, PII sudah mengajukan perpanjangan izin ke BKPM. "Sekitar dua minggu lalu, permohonan itu kami ajukan," tambah eksekutif C. Itoh tersebut. Berbeda dengan Chandra Asri, PII sejak awal mengaku tak pernah mempunyai masalah dalam urusan pendanaan. Dari investasi US$ 1,7 milyar, sebesar US$ 1,05 milyar akan dipenuhi oleh International Finance Corporation, Daichi Bank, dan Bank of Tokyo. "Sampai saat ini bank-bank itu belum menarik komitmennya," ujarnya. Hanya saja, sampai pekan lalu, Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo belum menerima permohonan perpanjangan izin tersebut. "Izin yang lama itu harus diperpanjang. Kalau tidak, akan dicabut," katanya. Setelah hampir tiga tahun memegang izin, PII masih terhambat dalam pembebasan tanah. Yang menjadi soal pula adalah saham Bimantara sebanyak 12%. "Kami tidak tertarik lagi terhadap kepemilikan saham tersebut," kata sumber TEMPO di Bimantara. Soalnya, Bimantara juga pemegang saham di Chandra Asri. Di samping itu, masalah yang tak kalah penting bakal dihadapi PII adalah soal bahan baku nafta. "Produksi nafta Pertamina tidak cukup untuk menyuplai dua pabrik," kata Direktur Utama Pertamina, Faisal Abdaoe. Kelak, kalau pabrikpabrik itu sudah berproduksi, akan muncul pula soal bisnisnya. Kebutuhan Indonesia setiap tahun 450.000 ton olefin jelas akan dipenuhi Chandra Asri. Lantas, ke pasar mana produksi olefin PII, yang rencananya 300.000 ton per tahun itu, akan dilempar? "Pasar untuk olefin di Indonesia besar sekali," kata eksekutif C. Maka International Finance Corporation, lembaga keuangan di bawah Bank Dunia, mau mendukung proyek mereka. LPS, Sri Pudyastuti, Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini