Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERAI penjualan saham PT Krakatau Steel di kantor cabang Bank Mandiri Jalan Abdul Muis, Jakarta, tutup sudah, Kamis sore pekan lalu. Tapi Anderson, pembeli retail dari Ciputat, Tangerang, tak bergegas pergi. ”Masak, harus membayar tunai, enggak boleh transfer,” kata pria 60 tahun itu kepada Tempo. Alhasil, ia cuma mendapat satu lot alias lima ratus lembar saham senilai Rp 425 ribu, sesuai dengan isi dompet. Padahal, berbekal pesangon pensiun di rekening, mantan karyawan PT Garuda Indonesia itu berniat belanja seratus lot.
Selama tiga hari masa penawaran saham, 2-4 November, investor retail membeludak. Saham Krakatau memang diincar banyak orang. Selain harganya murah, kinerja produsen baja nasional itu tergolong bagus. Per September tahun ini, perusahaan pelat merah itu membukukan laba bersih Rp 1,05 triliun, naik tajam dari perolehan setahun lalu, yang cuma Rp 494,67 miliar.
Dalam penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) ini, Krakatau akan melego 3,155 miliar lembar saham baru, dengan harga Rp 850 per lembar. Perseroan akan mencatatkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia, 10 November. Targetnya, Rp 3-4 triliun dana masyarakat bisa dihimpun untuk mengembangkan perusahaan.
Perseroan membutuhkan dana besar untuk berekspansi. Sebab, lebih dari tiga dekade berdiri, produksi Krakatau tak beranjak dari 2,5 juta ton per tahun. Itu pun bahan bakunya diimpor, mencapai dua juta ton bijih besi per tahun. Manajemen bertekad meningkatkan kapasitas pabrik menjadi lima juta ton pada 2015. Karena itu, sebelum 2015, harus ada kepastian sumber pendanaan.
Nah, untuk memenuhi kebutuhan dana itu, pemerintah merestui penjualan saham alias privatisasi. Pilihannya: menghimpun dana melalui pasar modal atau menggandeng mitra strategis yang bisa menyuntik modal besar. Krakatau telah mengantongi restu Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjual saham ke lantai bursa maksimal 30 persen pada akhir 2008.
Namun rencana itu terhambat. Krisis finansial dari Amerika Serikat merembet ke Eropa dan menular ke seluruh penjuru dunia. Pasar modal dunia—termasuk Indonesia—rontok. Permintaan baja di seluruh dunia anjlok, harga baja terjun bebas. Rencana privatisasi pun urung. Belakangan, setelah kondisi pasar modal membaik, rencana mendaftar menjadi emiten di bursa dilanjutkan.
NIAT go public sebetulnya sudah lama terpendam. Pada medio Juni 2008, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara—saat itu Sofyan Djalil—akhirnya memilih pasar modal sebagai jalur privatisasi. Pemerintah mengambil kebijakan itu setelah berdebat dengan Dewan selama sebulan penuh. Sebagian anggota Dewan sepakat Krakatau melantai. Tapi anggota lain meminta perusahaan ini mencari dana dengan pola penjualan strategis—alias strategic sale.
Kebetulan, raksasa baja dunia, ArcelorMittal, berminat meminang Krakatau. Produsen baja asal India itu memang telah mengincar Krakatau sejak 2007. Mereka menyodorkan beberapa opsi kerja sama—salah satunya sebagai mitra strategis.
Keinginan serupa pernah disampaikan Chief Executive Officer ArcelorMittal, Lakshmi Niwas Mittal, kepada Menteri BUMN Tanri Abeng pada 1999. Malah ketika itu sempat ditandatangani nota kesepahaman sebagai bagian dari rencana penjualan saham Krakatau. Lakshmi siap memasok sedikitnya US$ 500 juta. Tapi rencana itu ditolak Dewan.
Lakshmi tergolong rajin bersafari. Pada pertengahan April 2008, ia sowan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah bertemu dengan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Perdagangan Mari Pangestu, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro. Dari Menteri Purnomo, Lakshmi memperoleh peta pertambangan Indonesia. Ia mendapat informasi tentang situasi industri baja nasional ketika berbincang dengan Fahmi. Dengan Mari, ia berbicara mengenai ekspor-impor bahan baku dan produk baja.
BlueScope International juga berniat melamar Krakatau dengan membeli 30 persen saham. Perusahaan baja asal Australia itu tergiur oleh potensi pasar Indonesia yang subur. Krakatau menguasai 50 persen pangsa pasar baja canai panas dan dingin. BlueScope, yang telah seabad berbisnis baja, memiliki 114 pabrik yang tersebar di 17 negara. Tiga pabrik terbesarnya ada di Australia (5,1 juta ton), Selandia Baru (625 ribu ton), dan Amerika Serikat (1,7 juta ton). Pabrik kecilnya tersebar antara lain di Cilegon, Banten.
Pelamar lain adalah The Pohang Iron and Steel Company—lebih dikenal sebagai Posco—dari Korea Selatan. Awalnya, Posco diundang berinvestasi di Indonesia ketika Jusuf Kalla, saat itu wakil presiden, berkunjung ke Korea Selatan, pada awal 2008. Posco, yang pada 1970-an berguru ke Krakatau, kini memproduksi 30,5 juta ton baja per tahun.
Para pelamar juga sowan ke Kementerian BUMN. Sofyan, yang saat itu menjabat Menteri BUMN, menegaskan tidak ada lobi-lobi. ”Bagi saya, yang penting Krakatau mendapat uang,” kata Sofyan kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Direktur Utama Krakatau Steel Fazwar Bujang tampaknya lebih condong ke Posco ketimbang ArcelorMittal atau BlueScope. Perusahaan ini, katanya, tak sekadar menaruh duit. Posco menjadi lokomotif industri manufaktur di Korea Selatan. Produk bajanya beragam dan memiliki teknologi pengolahan.
Dua tahun berunding, Krakatau-Posco sepakat mendirikan perusahaan patungan dengan kepemilikan 70 persen Posco dan 30 persen Krakatau (bisa bertambah hingga 45 persen). Mereka membangun pabrik baru senilai US$ 6 miliar atau sekitar Rp 56 triliun. Peletakan batu pertama proyek itu dilakukan pada akhir Oktober lalu. Pada tahap pertama, dibangun pabrik berkapasitas 3 juta ton senilai US$ 2,5-3 miliar, yang akan rampung pada 2013. Tahap berikutnya, dengan kapasitas 3 juta ton, akan selesai dua tahun kemudian.
Nama-nama besar perusahaan yang melamar rupanya tidak membuat manajemen Krakatau silau. Fazwar menegaskan, penawaran saham kepada publik tetap menjadi pilihan terbaik. Mittal dipersilakan membeli saham Krakatau dari pasar.
Menurut Fazwar, penawaran saham kepada publik tidak akan menggusur peran kontrol negara sebagai pemegang saham mayoritas. Artinya, bila pemerintah ingin produksi baja memenuhi kebutuhan domestik, keran ekspor bisa ditutup. Demikian pula sebaliknya. Ini berbeda dengan pola penjualan strategis, yang tidak bisa dikontrol penuh oleh pemerintah, karena terikat perjanjian jual-beli. ”Makanya, sejak 2008, kami minta IPO,” kata Fazwar kepada Tempo.
Pemerintah juga menengok sukses beberapa perusahaan pelat merah yang memilih pasar modal sebagai tempat menghimpun dana, seperti PT Telkom Tbk., PT Bank Mandiri Tbk., PT Bank BRI Tbk., dan PT Aneka Tambang Tbk. Menurut Said Didu—yang pada 2008 menjabat Sekretaris Menteri BUMN—melepas saham ke bursa jauh lebih bagus. Investor domestik bisa membeli. Sebaliknya, pola penjualan strategis, seperti yang dilakukan di PT Indosat Tbk., PT Semen Gresik Tbk., dan PT Jakarta International Container Terminal, menimbulkan masalah. ”Jatuhnya ke asing semua.”
Retno Sulistyowati, Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo