Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pilih Kuda atawa Pion

Bupati Kapuas Hulu mendeklarasikan wilayahnya kawasan konservasi. Tanpa kompensasi memadai, bisa berantakan.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH kuda Abang Tambul Husin sungguh brilian, tapi riskan. Tengoklah apa yang dilakukan Bupati Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, itu dua pekan lalu. Abang memproklamasikan daerahnya sebagai wilayah konservasi. Pernyataan itu otomatis menutup pintu pemerintah Kapuas Hulu memanfaatkan kekayaan hutan di wilayahnya—yang nilainya triliunan rupiah—padahal kabupaten ini tergolong miskin.

Abang bukannya tak punya hitung-hitungan. Dia melihat peluang daerahnya mendapatkan kompensasi dari pemerintah pusat dan dunia internasional lumayan besar. Dari pusat, Abang mengharapkan dana yang berasal dari pertukaran utang dengan konservasi alam (debt for nature swap). Dalam skema ini, utang pemerintah kepada negara kreditor akan dihapus. Sebagai gantinya, pemerintah mengalihkan duit yang sedianya untuk membayar utang tersebut guna membiayai konservasi alam.

Pemerintah Jerman pernah menawarkan skema ini kepada Indonesia, senilai DM 50 juta (US$ 29,9 juta), pada 2002. Sayangnya, Indonesia tak bisa memanfaatkan tawaran tersebut. Selain Jerman, pemerintah Amerika Serikat juga selalu memberikan peluang kepada negara tropis mengajukan program pertukaran utang ini melalui The Tropical Forest Conservation Act. Negara yang memanfaatkan skema ini akan mendapat potongan utang sampai 40 persen.

Selain itu, Kapuas Hulu bisa mendapatkan kompensasi dari perdagangan karbon. Setiap satu ton karbon yang diserap hutan tropis di Amerika Latin, misalnya, dihargai 5-10 euro. Biasanya, setiap hektare hutan bisa menyerap 3-5 ton karbon per tahun. Bila ukuran yang sama diterapkan di Kalimantan, Kabupaten Kapuas Hulu paling tidak bisa menangguk 240 juta euro atau Rp 2,4 triliun, setiap tahun.

Kebetulan, kabupaten yang terletak di perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia, ini memang layak menjadi daerah konservasi. Di sana ada dua taman nasional: Betung Kerihun dan Danau Sentarum. Betung Kerihun dalam proses dinyatakan sebagai World Heritage Site oleh UNESCO, organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan. Sentarum malah lebih dulu dinyatakan sebagai Ramsar Site—kawasan konservasi lahan basah—pada 1994.

Seluruhnya ada sekitar 1,6 juta hektare lahan (55 persen dari luas Kapuas Hulu) yang akan menjadi daerah konservasi. Tanpa perlindungan, kawasan hutan di Kapuas Hulu, yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, terancam musnah. Menurut Badan Pertanahan setempat, luas hutan Kapuas Hulu pada 2001 masih 1,97 juta hektare, tapi setahun kemudian tinggal 1,2 juta hektare.

Ikan arwana merah di Danau Sentarum pun telah terkuras. "Habis diambil dari habitat aslinya," kata Fajar Ruyanto, aktivis Yayasan Konservasi Borneo. Tapi kebijakan Abang bisa membahayakan Kapuas Hulu sendiri, karena kabupaten ini tergolong miskin. Tahun lalu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kapuas Hulu cuma Rp 260 miliar, dengan pendapatan asli daerah cuma satu persen.

Kondisi alam yang tidak terlalu bersahabat kian menyulitkan warga Kapuas Hulu, terutama jika Sungai Kapuas menyusut. Sungai ini ibarat jalan raya bagi masyarakat di Jawa. Kalau airnya susut, transportasi akan terganggu dan harga bakal membubung. Karena itu, jika angan-angan Abang terpenuhi, Kapuas Hulu memang bisa menyelesaikan banyak masalah sekaligus, mulai dari perekonomian lokal sampai konservasi alam.

Tapi, kalau gagal mendapat kompensasi, program Kapuas Hulu bisa berantakan. Bila yang terakhir ini terjadi, Bupati Abang agaknya tak punya pilihan lain kecuali membiayai pembangunan dengan membabat hutan. "Harga kayu kami bisa mencapai Rp 80 triliun," katanya. Dan yang dilakukannya bukan langkah kuda, tapi cuma langkah pion: sekali maju tak bisa mundur.

Nugroho Dewanto, I G.G. Maha Adi, Harry Daya (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus