Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Soekarno-Hatta Urung Berlayar

Pertamina terpaksa menjual dua supertankernya. Menjaga stabilitas keuangan; DPR berencana memanggil direksi.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH beroperasi lebih dari 30 tahun, baru sekarang Pertamina merasakan sulitnya mencari uang. Keinginan perusahaan minyak milik negara ini punya kapal tanker raksasa kandas di tengah jalan. Gara-gara kocek mengkerut, Pertamina terpaksa melego dua supertankernya. Sedianya, dua kapal yang sedang digarap Hyundai Heavy Industry, Korea Selatan, itu diberi nama Soekarno-Hatta dan Pertamina I.

Proyek pengadaan kapal yang diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri pada September tahun lalu itu ternyata cuma seumur jagung. Pertamina agaknya tak punya banyak pilihan. Kondisi keuangan Pertamina memang sangat berbeda dibandingkan dengan sebelum menjadi perseroan terbatas, 17 September tahun lalu. Sebelumnya, Pertamina masih bisa menikmati upah (fee) retensi kegiatan pengawasan kontraktor bagi hasil (contractor production sharing) senilai Rp 7 triliun per tahun. Kini dana itu pindah ke Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas), karena pengawasan terhadap kontraktor minyak asing berada di tangan lembaga tersebut.

Pendapatan Pertamina dari bisnis penjualan bahan bakar minyak (BBM) yang bersubsidi juga tidak dibayar langsung oleh pemerintah. Pertamina harus menalangi dulu, karena pemerintah baru membayar jika hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan rampung. "Penjualan tanker itu untuk menjaga stabilitas keuangan perusahaan dan kepentingan perusahaan secara menyeluruh," kata Ariffi Nawawi, Direktur Utama Pertamina, Rabu pekan lalu.

Ariffi menegaskan, penjualan dua kapal tanker berbobot 260 ribu ton ini lebih menguntungkan perusahaannya ketimbang jika dimiliki sendiri. Dalam kondisi sekarang, Ariffi memperkirakan Pertamina bakal meraup keuntungan 40 persen dari total biaya produksi kedua kapal tanker tersebut, senilai US$ 130 juta. "Harga baja di pasar internasional naik dan kita yakin penjualan tanker ini akan menguntungkan," katanya. Pembangunan kedua kapal ini diperkirakan selesai pada Juli 2004, dan diserahkan ke Pertamina pada September nanti.

Dalam jangka panjang, penjualan ini juga akan mengurangi beban biaya Pertamina. Dalam hitung-hitungan, biaya operasi kapal tanker ini mencapai US$ 40 ribu per hari. Belum lagi biaya pengelolaan kapal yang mencapai US$ 1,5 juta, yang harus dikeluarkan Pertamina karena belum bisa mengoperasikan sendiri. Sementara itu, biaya sewa tanker sekelas itu cuma US$ 20 ribu per hari.

Kendati dibilang menguntungkan, toh tak semua pihak sependapat dengan Pertamina. Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI), misalnya, terkejut mendengar rencana tersebut. Maka mereka segera mengirim surat somasi dan meminta Ariffi Nawawi mundur. Surat tertanggal 10 Mei itu menilai keputusan menjual dua supertanker itu merugikan negara.

SPPSI merujuk hasil kajian konsultan independen, Japan Marine, yang ditunjuk sendiri oleh Pertamina. Dalam hasil kajian terungkap, dua tanker itu akan menguntungkan Pertamina US$ 7.000 per hari. Jika dijual, keuntungan Pertamina hanya sekitar US$ 1.100. Kalau dijual sebagian, atau maksimal 50 persen, Pertamina akan mengeduk keuntungan US$ 4.760 per hari. Japan Marine merekomendasikan, Pertamina harus mempertahankan dua supertanker itu kendati belum bisa mengoperasikannya sendiri. Perhitungan ini tidak memasukkan asumsi kesulitan keuangan yang dialami Pertamina.

Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI, Emir Moeis, juga mempertanyakan kebijakan baru Pertamina karena harga sewa tanker yang cenderung kian mahal di masa mendatang. "Kalau biaya produksi BBM makin mahal, subsidi pemerintah pasti tambah. Ini bisa mengganggu keuangan negara," kata Emir. Anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral, Djusril Djusan, pun melihat hal yang sama. "Dengan punya tanker, Pertamina tidak lagi terus bergantung pada pihak ketiga yang mempermainkan harga seenaknya," katanya. Komisi ini berencana memanggil Direksi Pertamina untuk menjelaskan masalah tersebut.

Sumber TEMPO di pemerintahan mengungkapkan, penjualan kapal tanker ini layak diwaspadai. Juni nanti, katanya, masa sewa salah satu kapal tanker Pertamina akan habis. Dengan begitu, siapa pun yang menang tender tanker ini bakal punya pasar yang jelas, yakni Pertamina sendiri. Itu sebabnya proses penjualan kapal tanker ini begitu cepat. Tapi dugaan ini ditepis Laksamana Sukardi, Menteri Negara BUMN yang juga Komisaris Utama Pertamina. "Selain soal keuangan, kita memang ingin Pertamina lebih fokus pada urusan minyak dan gas, bukannya malah membesarkan divisi perkapalannya," katanya.

Ketika masih dipimpin Baihaki Hakim, Pertamina memang merencanakan pembelian 12 kapal tanker. Pada saat itu ketergantungan perusahaan minyak terbesar di Indonesia ini terhadap kapal tanker sewa sangat tinggi. Dari 150-an kapal tanker yang dipakai Pertamina, mereka cuma punya 32, sisanya disewa dari pihak ketiga. Karena itu Pertamina membuat perencanaan pembelian 38 kapal tanker dalam kurun 2003-2008. Untuk tahap pertama, Pertamina bakal membeli 12 kapal.

Bekas Direktur Keuangan Pertamina, Ainun Na'im, mengungkapkan bahwa pasar tanker di Indonesia hanya dikuasai beberapa perusahaan (oligopolistik). Pertamina ingin melawan kartel itu supaya bisa lebih bebas menentukan harga sewa. Menurut staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini, kalau Pertamina punya kapal sendiri, jelas lebih murah. Lagi pula, katanya, pemerintah cuma mengatur harga BBM, tidak termasuk transportasinya. "Transportasi BBM ini bisnis yang menguntungkan. Nah, kalau ini diserahkan ke orang lain, kita sama saja memberikan keuntungan ke pihak lain," kata Ainun.

Rencana tersebut kemudian dibatalkan direksi baru pada November silam, dua bulan setelah Ariffi naik. Dari rencana 12 kapal, Pertamina memutuskan hanya akan membeli setengahnya. Empat kapal dibuat di galangan dalam negeri, sisanya dibangun di galangan kapal Hyundai. Rencana ini pun akhirnya direvisi lagi. Dalam rapat umum pemegang saham pertama PT Pertamina sebagai persero, Februari lalu, soal ini sudah disinggung. Tapi kepastian penjualan kedua tanker itu ditetapkan sebelum rapat pimpinan Pertamina, pertengahan Maret lalu.

Kini Pertamina tinggal menunggu calon pembeli. Dari 60 perusahaan yang semula berminat, kini hanya tinggal separuhnya. Pertamina sendiri menjamin proses tender berjalan transparan dan tidak akan merugikan perusahaan tersebut. Deputi Direktur Hilir Pertamina Bidang Perkapalan, Dedeng Wahyu Edi, mengatakan persyaratan mengikuti tender memang tidak mudah. Salah satunya adalah aset perusahaan peserta tender minimal US$ 100 juta atau sekitar Rp 880 miliar. Pertamina juga sudah memberi tahu peserta tender, perusahaan itu tidak memberikan jaminan akan menyewa kapal yang sudah dijual. Yang pasti, kapal supertanker Soekarno-Hatta urung berlayar.

M. Syakur Usman, Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus