SEPANJANG bulan Ramadan, bukan cuma ceramah Aa Gym yang memenuhi halaman koran dan layar kaca. Di berbagai stasiun televisi, surat kabar, dan majalah, tiba-tiba juga muncul serentak iklan bertajuk "Sebuah Kisah Kehidupan Muslim di Amerika".
Salah satunya bercerita tentang pengalaman Devianti Faridz, mahasiswi Indonesia yang beragama Islam dan sedang mengambil program master di bidang jurnalisme siaran di University of Missouri, Columbia, Amerika Serikat. Difoto besar-besar di depan sebuah masjid megah di Columbia, plus gambarnya sedang khusuk salat, mojang asal Bandung ini berkisah tentang harmoni kehidupan beragama di negeri George Bush. "Semua mahasiswa Amerika yang saya temui menghormati keyakinan saya dalam beragama," begitu iklan itu, mengutip pernyataan Devi.
"Promosi" Devi bukan satu-satunya. Berbarengan dengannya, ada empat advertensi sejenis yang juga gencar dipampangkan?yaitu: cerita kehidupan guru muslimah asal Lebanon di Ohio, riwayat imigran penjual roti asal Libya, petugas paramedis di dinas pemadam kebakaran New York, maupun tentang seorang wakil dekan fakultas kedokteran, juga di University of Missouri.
Gebyar iklan itu merupakan bagian dari proyek kampanye besar-besaran yang tengah dilancarkan pemerintahan Bush untuk mencairkan ketegangan hubungan AS dengan negara-negara muslim setelah tragedi 11 September. Berada di balik pembuatan iklan berskala global ini adalah Lembaga Muslim Amerika untuk Persahabatan (CAMU), sebuah organisasi nonprofit yang didukung Departemen Luar Negeri AS.
"Kami ingin menghilangkan kesalahpahaman antara AS dan dunia Islam setelah peristiwa 11 September," kata juru bicara Kedutaan Amerika di Jakarta, Stanley Harsha. Caranya, menjelaskan melalui rangkaian iklan di atas bahwa rakyat AS bisa menerima warga muslim setara dengan komunitas lainnya. Dan umat Islam di negeri ini jelas merupakan salah satu segmen terpenting yang harus dijangkau. "Apalagi muslim Indonesia punya perasaan tidak enak terhadap kami, orang Amerika," Harsha berterus terang.
Di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kampanye itu memang dilakukan dengan amat gencar. Menurut seorang staf McKAN Erickson, biro iklan yang disewa untuk menangani proyek ini, advertensi "Kehidupan Muslim di Amerika" ditayangkan di hampir semua televisi swasta "terkecuali Indosiar, TV-7, dan Lativi". Di SCTV, misalnya, iklan ini disiarkan dua sampai tiga kali sehari. "Bagi kami, selama mereka mau beli air time, ya kami tayangkan," ujar Budi Darmawan, juru bicara SCTV.
Untuk media cetak, McKAN memasangnya di 20 harian dan empat majalah dari berbagai segmen, baik yang punya lingkup nasional maupun lokal, antara lain Kompas, Republika, Rakyat Merdeka, Jawa Pos, Serambi, termasuk di mingguan ini.
Yang menarik, untuk kategori majalah, termasuk yang dipilih adalah Sabili, majalah Islam yang dikenal berhaluan keras. Pada penerbitan akhir bulan Ramadan lalu, dengan sampul berjudul "Menguak Propaganda Amerika", di Sabili juga terpampang salah satu iklan jenis ini.
Biayanya tentu tak murah. Untuk iklan televisi, ada dua jenis durasi: 60 dan 120 detik, yang sekali tayang memakan biaya Rp 6-24 juta. Sedangkan di media cetak, total jenderal menghabiskan ongkos Rp 4 miliar.
Bujet yang disediakan memang tak main-main. Untuk membiayai proyek memoles citra Amerika ke banyak negeri muslim ini, kata Harsha, Departemen Luar Negeri AS mesti menyiapkan dana tak kurang dari US$ 15 juta atau sekitar Rp 135 miliar. Ini termasuk untuk biaya produksi iklan, pembuatan film dokumenter, situs di internet, sampai sejumlah acara dialog dengan komunitas muslim, baik di dalam maupun luar Amerika.
Lantas berhasilkah proyek mahal ini mencapai sasaran? Menurut pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Ade Armando, target iklan ini lebih diarahkan kepada kalangan moderat yang juga merasa gusar dengan tindakan Amerika akhir-akhir ini, semisal menyangkut rencana Bush menginvasi Irak.
Tapi ia yakin propaganda ini tak akan berarti apa-apa bagi kelompok Islam radikal. Penyebabnya, kata Ade lagi, "Karena sudah telanjur terbentuk persepsi bahwa Amerika adalah musuh mereka."
Ahmad Taufik, Rommy Fibri, Purwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini