Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Zaini Abdullah:

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan-pekan ini mungkin akan menjadi momen penting bagi masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Pada 9 Desember ini, rencananya, bakal dilakukan perundingan antara pemerintah Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss. Bagaimanapun, ini bukan yang pertama. Pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid, perundingan serupa telah terselenggara. Dan masih menjadi pertanyaan besar apakah kali ini bisa menyelesaikan tuntas masalah Aceh yang sudah menahun itu. Pemerintah Indonesia menginginkan perundingan itu dilanjutkan dengan penandatanganan kesepakatan damai. Tapi GAM masih ingin melihat apa yang ditawarkan Indonesia dalam kesepakatan itu. Dua pekan lalu, wartawan TEMPO Tjandra Dewi mewawancarai Zaini Abdullah, Menteri Luar Negeri GAM dan salah satu juru runding gerakan itu di Swedia, melalui saluran internasional. Petikannya: Apa sebenarnya makna perjanjian damai bagi GAM? Kami mau proses perdamaian. Artinya, menghilangkan kekerasan dan pembunuhan kepada bangsa Aceh yang tidak bersalah. Dan itu harus datang dari hati nurani yang suci, bukan dari janji kosong seperti sebelumnya. Dulu (dua tahun lalu) pemerintah juga sudah berjanji akan ada proses damai. Tapi implementasinya di lapangan nol. Itu semua karena tidak ada niat suci dari Indonesia, meski di atas meja perundingan terjadi kesepakatan. Seperti kami umumkan di Jenewa dulu, kami sendiri telah menunaikan gencatan senjata secara sepihak. Tapi lihat apa jawaban dari pemerintah Indonesia. Mereka masih juga melakukan penyerangan, seperti pengepungan di Cot Trieng. Mereka juga mengultimatum akan menarik pasukan sampai GAM menyerah. Itu kan lucu?. Apakah pihak Anda menilai pertemuan 9 Desember sekadar kelanjutan perundingan atau penandatanganan kesepakatan damai? Pertemuan itu bisa saja disertai penandatanganan, bila hasil yang tercantum dalam draf perjanjian cocok dengan kepentingan bangsa Aceh. Kalau belum sesuai, ya, tidak mungkin ditandatangani. Namun semuanya tergantung keadaannya nanti, sesuai atau tidak. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memberi batas waktu sampai 15 Desember untuk penandatanganan. Apa komentar Anda? Silakan tanya kepada Wirajuda sendiri berapa kali dia telah melontarkan ultimatumnya seperti itu. Sekarang pun keadaannya sudah perang. Mulai dari dulu mereka (pemerintah RI) sudah menyatakan perang di Aceh. Gertak sambal seperti itu sebenarnya bukan pada tempatnya. Mereka mau dan kami juga mau menyelesaikan konflik secara damai. Jadi, bukan dengan ultimatum ataupun dengan memaksa. Hingga saat ini TNI masih terus melakukan pengepungan di Cot Trieng. Apakah tidak ada instruksi dari pimpinan GAM agar anggotanya menyerah? He-he-he?. Macam mana bisa menyerah? Sejak 1976 GAM telah mempertahankan kepentingan bangsa Aceh, dan kami tidak mengenal istilah menyerah. Bagi GAM, pengepungan itu tidak ada artinya sama sekali. Indonesia akan menyerang jika GAM tidak menyerahkan senjata. Senjata itu yang menjadi pokok persoalan. Senjata itu milik bangsa Aceh yang mereka beli dengan uang. Jadi itu yang harus dijaga oleh TNA (Tentara Negara Aceh). Kunci rahasia GAM di situ: senjata. Kami tetap tak kan menyerah. Silakan tembak sajalah, nggak apa-apa. Kenapa harus menunggu-nunggu. Saya kira wajar kalau nanti pihak GAM membela diri karena dikepung. Jika begitu, apakah perjanjian damai bisa terwujud? Itu tergantung isi yang akan ditandatangani nanti. Jika isinya menyimpang, tidak cocok dengan kepentingan bangsa Aceh, kami tidak mungkin menandatanganinya. Dan GAM akan terus berjuang untuk merdeka? O, itu sudah pasti. Tapi yang kami mau sekarang adalah penyelesaian masalah politik. Masalah politik, saya kira, mesti dibicarakan sesudah terjadinya gencatan senjata yang betul-betul di lapangan. Bagaimana dengan bingkai negara kesatuan yang disyaratkan Indonesia? Kami tidak akan mundur dari apa yang telah disepakati kedua pihak dalam perjanjian Mei lalu. Saat itu tidak disebut-sebut apakah perundingan selanjutnya mesti dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang ada hanya pembicaraan otonomi khusus sebagai batu pijakan untuk dialog selanjutnya yang menyertakan seluruh unsur bangsa Aceh. Yang kita mau adalah proses demokrasi di Aceh. Biarkan orang Aceh menentukan sikap apa yang mereka mau, bukan dengan cara paksa seperti sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus