BRIGADIR Kepala Yudi sudah tiga tahun bertugas di Aceh. Sebagai anggota Brigade Mobil Polri di kawasan yang berdarah itu, hampir tak pernah dia lupa menyandang senapan berat kesayangannya ketika berpatroli, Senapan Serbu 1 atau lebih dikenal dengan SS-1. "Mudah digunakan dan sudah terbiasa memakainya," kata Yudi. Dengan senjata itu pula Yudi mengaku menembak mati seorang anggota Gerakan Aceh Merdeka yang menghadang truk pasukannya di Desa Lamtamot, Aceh besar, dua pekan lalu.
Namun, pada masa-masa mendatang, Yudi dan personel Brimob lain harus menanggalkan senapan itu. November lalu, Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar menyatakan siap menarik senjata tempur itu dari Aceh dan mengembalikan Brimob?satuan elite Polri?ke fungsi kepolisian. Keputusan itu merupakan salah satu konsekuensi perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan GAM, yang telah mencapai kata sepakat dalam sebuah upacara di Jenewa 9 Desember lalu.
Penandatanganan yang dilakukan ketua negosiator Indonesia, Wiryono Sastrohandoyo dan Zaini Abdullah dari GAM ini, diharap dapat mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 26 tahun di tanah Rencong itu. "Dengan penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan antara pemerintah dan GAM ini, kemenangan telah tercapai," kata Wiryono seperti dikutip AFP.
Kelak Brimob hanya akan menjadi polisi biasa, bersenjata pistol, bukan senapan serbu. Operasi kepolisian di Aceh juga akan sama dengan operasi di tempat-tempat lain, penjaga keamanan dan ketertiban yang lebih banyak mengurusi kriminalitas, bukan beraksi menumpas kelompok separatis.
Selama ini, keberadaan satuan tempur polisi di Aceh memang menjadi salah satu penghalang penandatanganan perjanjian damai. Para personel Brimob membawa senjata yang sekelas dengan milik TNI, padahal polisi semestinya bukanlah tentara. Brimob juga bukan rahasia lagi sering bekerja sama dengan satuan-satuan militer yang belum lama ini justru diperkuat di Aceh.
Soal Brimob, kehadiran militer, dan penggudangan senjata, baik di kalangan Indonesia maupun GAM, sempat menjadi isu yang keras diperdebatkan.
Sampai pekan lalu, seperti dikemukakan Zaini Abdullah, GAM belum bisa menyepakati penyerahan senjata Teuntara Neugara Acheh (TNA) untuk digu-dangkan.
Tapi toh perjanjian ditandatangani juga. Teuku Kamaruzzaman, salah seorang juru runding GAM rekan Zaini, mengatakan setelah perjanjian tercapai, tak ada alasan lagi bagi GAM hingga ke tingkat terbawah untuk tidak melaksa-nakan gencatan dan penarikan senjata. "Bagi kami, setiap keputusan yang telah kita sepakati dan kita tandatangani, itu adalah undang-undang yang wajib kita patuhi," ujarnya.
Jika ada anak buah di lapangan yang menolak penerapan perjanjian, kata Kamaruzzaman, akan ada sanksi terhadap mereka. Meski keputusan itu dibuat di tingkat pimpinan GAM di Swedia, menurut Kamaruzzaman, GAM terikat dalam satu komando, TNA tidak akan mensabotase kebijakan apa pun yang datang dari atas. "Militer hanya alat. Dia akan tunduk pada apa yang diputuskan oleh pimpinan sipil," kata Kamaruzzaman.
Diperkirakan saat ini GAM memiliki hampir 2.000 pucuk senjata api dari berbagai jenis: mulai dari senapan hasil rampasan dari aparat seperti pistol, senapan SS-1, M-16, AK-47, hingga pelontar mortir. Selain merampas, menurut sumber kepolisian Indonesia, GAM juga memperoleh senjata selundupan dari Thailand dan pemasok dalam negeri.
Ketika merebut markas GAM di Cot Trieng beberapa pekan lalu, misalnya, aparat Indonesia mengaku menemukan dua buku catatan keuangan GAM. Buku milik anggota GAM bernama Saridin itu memuat aliran dana mereka, termasuk pengeluaran untuk pembelian senjata berikut nama pemasoknya. Seorang pemasok bernama Alex, menurut TNI, pada 19 Oktober lalu menjual kepada GAM tiga pucuk senapan M-16, satu pistol FN, dan belasan ribu butir amunisinya?seluruhnya senilai Rp 510 juta. Transaksi itu tampaknya bukan yang pertama. Buku itu juga menunjukkan aliran dana yang masuk ke kas milik Saridin mencapai Rp 1,18 miliar.
Dari lokasi yang sama, aparat juga mengaku menemukan satu tabung granat lontar, puluhan lembar foto anggota GAM lengkap dengan senjata otomatis di tangan, serta disket berisi permintaan sumbangan. Yang menarik, juga ditemukan sejumlah rekaman gambar pemeriksaan terhadap gadis-gadis sekitar Cot Trieng yang pernah berhubungan dengan prajurit TNI.
Posisi anggota GAM di Cot Trieng memang kian terjepit. Pengepungan yang dilakukan TNI makin rapat. Dari sembi-lan kilometer persegi wilayah yang dikuasai GAM, kini tinggal empat kilometer persegi saja. Itu pun lebih banyak berupa rawa gambut yang ditumbuhi gelagah. Praktis TNI kini sudah menguasai bekas markas GAM dan lebih dari separuh luas rawa-rawa yang sebelumnya ditempati kelompok separatis bersenjata itu. Aparat berniat terus merangsek masuk dengan taktik bergerak sambil menembak untuk mengusir GAM.
Seluruh personel TNI boleh dikata siap menerobos masuk. Bahkan di bagian selatan dekat Desa Keutapang, Nisam, jarak antara TNI dan kelompok GAM hanya 300 meter, terpisah rawa yang lumayan dalam. Meski sudah dekat, sulit untuk mendeteksi di mana anggota GAM itu bersembunyi karena pandangan terhalang rumpun gelagah yang tingginya hampir empat meter dari permuka-an air. Yang terlihat hanya hijaunya tumbuhan itu.
"Jadi, bisa saja antara prajurit GAM dan TNI hanya terpisah jarak 10 meter tapi tidak saling mengetahui," kata Bam-bang. "Saking lebatnya semak, peluru senapan M-16 atau SS-1 yang ditembakkan pada jarak 50 meter pun akan melenceng dari sasarannya," katanya. Itu sebabnya TNI mengerahkan senjata berat seperti tank-tank marinir untuk mendukung rencana penyerbuan.
Namun dengan ditekennya perjanjian penghentian permusuhan, niat meng-gempur pun batal. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menyatakan terhitung sejak 9 Desember petang, kegiatan TNI di lapangan dihentikan.
Keputusan ini diambil Panglima TNI yang tengah berada di Lhokseumawe, setelah menelepon Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono di Jenewa.
"Mereka sudah bukan lagi musuh kita dan keberadaan pasukan di sana akan direposisi dalam waktu dekat. Itu masih perlu waktu," kata Endriartono.
Diakuinya, pengiriman 2900 personel TNI ke Aceh, Kamis pekan lalu sempat menjadi permasalahan di Jenewa. Tapi pemerintah menyakinkan pasukan itu adalah pasukan pengganti saja.
Di lain pihak, soal upacara peringatan ulang tahun GAM yang sempat diributkan ternyata juga tak mengganggu proses perundingan damai 9 Desember. Padahal Panglima TNI sempat mengancam akan menggunakan jalan kekerasan bila GAM tetap ngotot merayakannya.
GAM ternyata mempercepat sehari upacara peringatannya, pada tanggal 3 Desember, untuk mengecoh aparat. Acara yang diliput media itu pun berlang-sung tanpa gangguan.
"Sejak 1976 mereka sudah melangsungkannya, toh aman-aman saja," kata Teuku Kamaruzzaman. "Jadi, kita tetap merayakan ulang tahun kemerdekaan kita, seperti negara lain memperingati hari kemerdekaannya."
Pimpinan GAM di Swedia, Zaini Abdullah, merestui kegiatan itu. Tapi dia tidak menghendaki adanya pemogokan. Dan memang, tahun ini GAM tidak mengeluarkan perintah aksi mogok seperti tahun-tahun sebelumnya. GAM bahkan minta semua prajuritnya tidak melakukan razia di jalan raya terhadap mobil-mobil angkutan umum. Bahkan mereka juga dilarang menyerang kendaraan-kendaraan TNI yang lewat di jalan raya.
Hanya, Sofyan Daud, juru bicara sayap militer GAM, mengimbau warga Aceh tidak keluar rumah mulai pagi sampai pukul 14.00 pada hari peringatan itu. Alasannya untuk menghindari kemungkinan buruk. Kenyataannya imbauan ini hanya diikuti sampai pukul 10 saja.
Janji Teuku Kamaruzzaman bahwa TNA pasti memenuhi perjanjian Jenewa ternyata juga bermasalah. Panglima Operasi Komando Pusat TNA, Tengku Amri A. Wahab menyatakan menolak kesepakatan itu. "Kami sama sekali tak setuju," katanya kepada Wuragil dari TEMPO.
Pernyataan kontradiktif memang masih mewarnai kesepakatan Jenewa. Mengurai benang kusut konflik berdarah Aceh, yang berlangsung sejak 1976, tentu tidak mudah.
Syukurlah desakan dan dukungan masyarakat internasional terus mengalir kencang bagi perdamaian di Aceh. Kanada dan Australia sudah berjanji mengucurkan jutaan dolar. Jerman dan Jepang sudah menyatakan kesediaannya membangun Aceh. Menteri Luar Negeri Jepang Yoriko Kawaguchi mengatakan akan membantu perekonomian daerah kaya minyak dan gas bumi itu. Tentu saja, bantuan itu diberikan hanya setelah perjanjian damai diteken.
Masalahnya kini adalah perdamaian seperti apa dan untuk berapa lama? Soalnya perbedaan mendasar tak terjem-batani oleh perjanjian gencatan senjata di Jenewa. Indonesia ingin Aceh tetap berada dalam pangkuan Negara Kesa-tuan, sementara para pemimpin GAM tetap menginginkan "proses demokrasi bagi penentuan nasib sendiri bangsa Aceh". Apa boleh buat: jurang memang masih lebar menganga.
Tjandra Dewi, Zainal Bakri (Lhokseumawe), Yuswardi A. Suud (Banda Aceh), Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini