Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Propelat di bawah dharsono

Bekas sekjen asean h.r. dharsono diangkat menjadi direktur utama pt. propelat, yang dikenal sebagai kontraktor terbesar di jawa barat. (eb)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU berhenti sebagai Sekjen Asean, Pebruari tahun lalu, EIR Dharsono (52 tahn) berkata tentang rencana masa depannya: "Saya akan lapor dulu ke Deplu kalau-kalau mereka memerlukan saya. Kalau tidak, ya saya kembali ke Hankam." Ternyata ia tidak lama di Hankam. Bahkan jarang tampak di Jakarta. Ke mana dia? Bekas Pangdam Siliwangi dan Dubes untuk Kamboja dan Muangthai ini sekarang menetap di Bandung. Sejak Oktober 1978 ia menjabat Direktur-Utama PT Propelat, yang dikenal sebagai kontraktor terbesar di Jawa Barat. "Selesai serah terima jabatan Sekjen Asean itu saya nganggur. Kemudian Mayjen Himawan Sutanto -- waktu itu Pangdam VI/Siliwangi -- meminta saya untuk memimpin Propelat " katanya kepada Hasan Syukur, pembantu TEMPO di Bandung. Tawaran itu diterimanya. Padahal Propelat diketahui sedang "sakit parah". Mengapa ia mau? "Sebagai anggota Korps Siliwangi jangan cuma berani nebeng masa jayanya saja, dalam keadaan prihatin harus juga berani memperbaiki," jawabnya. PT Propelat yang didirikan tahun 1967 -- waktu itu Dharsono menjabat Pangdam Siliwangi -- mempunyai 9 anak perusahaan dan 3 usaha patungan. Perusahaan ini dianggap milik Kodam Siliwangi walau "saham Siliwangi lewat Yayasan Kartika Siliwangi hanya 40%." Semula, di zaman Jenderal Ibrahim Adjie namanya "Propelad" (Proyek Perhotelan Angkatan Darat) dan usahanya membaneun wisma dan asrama Angkatan Darat guna menampung perwira AD yang tinggal di hotel. Nama ini kemudian dirubah menjadi "Propelat" dan berbentuk PT biasa karena ada peraturan yang melarang AD ikut langsung dalam perusahaan swasta. Di tahun 1970 PT Propelat kebagian banyak order dari Pertamina. Dan krisis Pertamina 1973/1974 menghantam banyak kontraktornya termasuk Propelat. Banyak proyek yang terpaksa dibatalkan atau dihentikan, hingga jumlah karyawan dikurangi. Langkah penyederhanaan dilakukan. Rapat pemegang saham 10 Desember lalu misalnya memutuskan jumlah direksi dikurangi dari lima menjadi tiga. Dewan Komisaris lama dibubarkan dan Letjen (Purn.) R. A. Kosasih diangkat sebagai Presiden Komisaris. Kesulitan lain bagi Propelat: kredit bank susah diperoleh karena perusahaan ini juga anak perusahaannya dianggap tidak bonafid lagi. Dharsono bertekad membenahi semua ini hingga "Januari ini Propelat bisa take-off lagi," kata Dharsono. Salah satu caranya: membentuk konsorsium dengan perusahaan lain. Sikap yang akan diambil juga lebih realistis: yang akan digarap adalah proyek yang sesuai dengan kemampuan anggaran perusahaan yang tidak begitu besar. Dharsono mengakui banyak lika-liku dunia bisnis yang harus dipelajarinya. Tapi ia optimis Propelat suatu ketika akan kembali jaya. Dunia barunya dianggap menggairahkan. "Di sini terpadu antara pengendalian idealisme dan pengejaran keuntungan," katanya. Tidak semua orang sependapat Dharsono akan berhasil. "Dari segi kepemimpinan militer dan politik, pak Ton mungkin bisa dikatakan berhasil. Tapi dunia bisnis lain. Kecuali kalau ia di dampingi orang yang ahli di bidang itukata seorang usahawan Bandung. Berhasil atau tidaknya memang masih harus ditunggu. Tapi munculnya Dharsono yang biasa dipanggil pak Ton sebagai pimpinan Propelat tampaknya disambut gembira para karyawannya. "Pak Ton tak segan turun ke bawah memeriksa proyek yang tengah dilaksanakan," kata seorang karyawan. Dan jenderal yang berambut putih serta bercambang itu tampak tetap langsing dan gembira. Terlantar Barangkali sikap Dharsono yang mau menengok ke bawah itulah yang menimbulkan harapan baru. Sebab banyak juga proyeknya yang terlantar setelah benturan krisis Pertamina itu. Salah satu yang terpaksa ditinggalkan Propelat adalah proyek pelebaran jalan Denpasar-Gilimanuk sepanjang 125 km. 60% dari biaya Rp 4,8 milyar berasal dari bantuan Bank Dunia. Propelat membagi proyek ini menjadi dua bagian. Pelebaran jalan Denpasar-Antasari (40 km) rencananya makan waktu 2 tahun sedang Antasari-Gilimanuk (85 km) 3 tahun. Sudah 2 tahun berlalu. Mustinya pelebaran jalan Denpasar-Antasari selesai 83,48%, tapi yang tercapai hanya 18%. Sedang antara Antasari-Gilimanuk yang seharusnya tercapai 50,58% hanya selesai 13%. "Itu berarti terlambat 40% dari rencana semula," kata Rudi Buntarman, pimpinan Proyek Peningkatan Jalan Denpasar-Gilimanuk pada I Nengah Wedja dari TEMPO. Upaya untuk melanjutkan proyek pelebaran jalan di Bali itu bukan tidak dilakukan. Bulan lalu Ditjen Bina Marga memutuskan sebagian tanggungjawab proyek ini akan dipindahkan pada pemborong lain. Ada selentingan sebuah perusahaan Filipina berminat dan sudah melakukan pembicaraan mendalam dengan PT Promix, anak perusahaan Propelat yang ditugaskan melanjutkan penyelesaian proyek terlantar itu. Tapi sebuah sumber TEMPO yang mengetahui merasa skeptis proyek itu akan jalan. "Setelah Kenop-15 ini kontraktor mana pun merasa susah," katanya. "Buat Propelat lebih-lebih lagi, karena pinjaman dari Bank Dunia itu sudah habis waktu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus