Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Prospek Deregulasi dan Uang Panas

Buku ekonomi politik Sjahrir dibahas dalam "seminar kebijaksanaan negara: prospek deregulasi". RI bisa diselamatkan oleh ekspor produk manufaktur. Penamaan sistem ekonomi dan BUMN dibicarakan.

3 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COBA bandingkan dengan negara berkembang lain, yang punya persoalan ekonomi sama, bukankah negeri kita jauh lebih baik keadaannya? "Good boy," begitu istilah seorang pengamat ekonomi CSIS, Dr. Mari Pangestu, ketika menyeminarkan buku Dr. Sjahrir di Hotel Borobudur, Jakarta, pekan lalu. Mari membandingkan Indonesia dengan Nigeria dan Meksiko, dua negara pengekspor minyak yang dianggap lupa daratan, menelantarkan kesuburan tanah dan sektor industri lantaran mabuk minyak. Kini, saat harga minyak surut, utang makin melilit sampai mencekik leher. Sementara itu, ekspor nonmigas macet. Indonesia beberapa setrip lebih sehat dari dua negeri itu. Ekspor produk manufakturnya, dalam periode 1980-1986, melesat lima kali lipat. Dari setengah milyar dolar per tahun menjadi dua setengah milyar dolar lebih. Sedangkan tahun ini, dalam kuartal pertama saja sudah berhasil menggaet 994 juta dolar, atau 40% dari seluruh hasil yang dicapai tahun lalu. "Sektor manufaktur harus ditingkatkan," ujar Mari, di depan peserta "Seminar Kebijaksanaan Negara: Prospek Deregulasi" itu (lihat Buku: Ekonomi Politik Sjahrir). Sayangnya, basis pertumbuhan yang pesat itu masih tampak kelewat sempit. Lihat saja, dari 2 milyar dolar yang diperoleh lewat ekspor produk manufaktur pada 1985, hampir 1,5 milyar berasal dari kayu lapis dan tekstil. Pertumbuhan itu pun jadi tampak teramat kecil bila dibanding keseluruhan nilai ekspor produk manufaktur dunia. Di situ porsi Indonesia baru 0,14%. atau 1% dari keseluruhan ekspor produk manufaktur negara-negara sedang berkembang. Tiga kebijaksanaan ekonomi, yaitu larangan ekspor kayu gelondongan, devaluasi, dan sertifikat ekspor -- yang sejak bulan Juni tahun lalu terpaksa dihapus lantaran protes AS -- yang dianggap Mari sebagai motor penggerak pertumbuhan itu. Jadi, bukan akibat deregulasi. Katanya, "Peraturan pemerintah selalu ada di mana pun. Yang penting jenis peraturannya." Dari sudut yang lain Priasmoro Prawiroardjo, Presiden Direktur Bank Perkembangan Asia, menyatakan tidak perlunya mempersoalkan penamaan sistem ekonomi di Indonesia. Yang penting, katanya, kelincahan dalam memperbesar kemampuan ekonomi untuk menghadapi pasar internasional yang tak menentu. Dia khawatir, keterikatan pada nama tertentu dalam sistem ekonomi jangan-jangan hanya akan melahirkan berbagai norma baku, yang justru akan melemahkan daya tempur. Pengamat ekonomi ini tidak setuju swastanisasi perusahaan negara dengan alasan efisiensi. Soal efektivitas dianggapnya lebih penting. BUMN ternyata memiliki potensi dana yang sangat berpengaruh pada masyarakat. Hal itu terbukti dengan adanya "Gebrakan Sumarlin": begitu BUMN menarik dananya, para bankir terseret dalam perang bunga, yang dibuka oleh bank-bank pemerintah. Para bankir swasta memang sulit berkelit dari berbagai serbuan yang dilancarkan bank-bank pemerintah. Bayangkan, hampir 80% bisnis perbankan berada di tangan BUMN yang hanya berjumlah lima buah itu. Runyamnya lagi, bank-bank pemerintah itu juga salah mengartikan peranannya sebagai "agen pembangunan". "Operasinya tidak jauh berbeda dengan kantor kas negara," kata Anwar Nasution, pengamat ekonomi dari UI, mengacu pada buku Sahrir yang menyatakan masih besarnya kredit yang mengalir ke proyek-proyek BUMN. Sementara itu, deregulasi perbankan empat tahun silam, meski berhasil mengeruk dana masyarakat melalui deposito berjangka, diragukan keampuhannya. "Dana itu rapuh, karena dapat dengan cepat lari lagi," ujar Willem A. van den Wall Bake, kepala perwakilan sebuah lembaga keuangan multinasional AS, Morgan Guaranty Trust Co. Penyebabnya, menurut hasil pengamatannya yang dilakukan selama bulan Mei-Juni, antara lain karena banyaknya uang panas yang ikut masuk dan meningkatnya jumlah proyek macet. Padahal, jenis deposito itu, yang nilainya mencapai 9 milyar rupiah di bulan Maret tahun silam, mengambil porsi 60% dari seluruh pertanggungan dalam negeri para bankir. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus