Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBULAN lebih Murtini, 34 tahun, dan puluhan ibu rumah tangga menginap di tenda keprihatinan di gerbang pabrik PT Semen Indonesia Tbk di Rembang, Jawa Tengah. Debu yang berhamburan setiap kali truk proyek melintas tak membuat mereka jeri. Warga Dusun Timbrangan dan Tegaldowo itu memprotes rencana pendirian pabrik semen.
Saat peresmian pembangunan pabrik pada 16 Juni lalu, mereka melakukan aksi duduk-duduk di tengah jalan, memblokade akses utama menuju pabrik. Polisi membubarkan aksi tersebut dengan cara menggendong paksa ke pinggir jalan. Ibu-ibu malah "melawan" dengan melakukan aksi telanjang dada. "Tidak ada cara lain. Cuma itu senjata kami biar pak polisi minggir," kata Murtini kepada Tempo, akhir Juli lalu.
Semen Indonesia—induk perusahaan semen milik negara—menggagas proyek Rembang ini sejak 2005. Rencananya pabrik berkapasitas 3 juta ton per tahun dibangun dengan biaya sekitar Rp 3 triliun. Di lokasi tersebut diperkirakan tersimpan cadangan bahan baku untuk beroperasi selama 130 tahun. Targetnya kilang rampung pada 2016.
Bila pabrik itu terbangun, total kapasitas Semen Indonesia akan memimpin industri nasional, yakni menembus 30 juta ton setahun. Saat ini kemampuan produksi perusahaan 29,5 juta ton atau 41,2 persen dari kapasitas terpasang nasional sebesar 71,5 juta ton.
Industri semen memang tengah giat berekspansi. Pemain besar yang lain, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, juga berencana membangun pabrik greenfield di Pati, Jawa Tengah, pada 2016 dan di Langkat, Sumatera Utara, dua tahun kemudian. Perusahaan itu juga sedang merampungkan pabrik brownfield di Citeureup, Jawa Barat, yang akan beroperasi pada 2015. Dengan tambahan tiga kilang baru, kapasitas produksi Indocement akan meningkat dari saat ini 20,5 juta ton menjadi 27,9-29,9 juta ton per tahun.
Meski tingkat pertumbuhan permintaan saat ini stagnan sebesar 5,5 persen per tahun, industri mengantisipasi pertumbuhan permintaan pada masa mendatang. Karena itu, mereka tetap melanjutkan ekspansi.
Namun rencana Semen Indonesia di Rembang terhambat masalah sumber air. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan Semarang Caver Association menyebutkan di Pegunungan Watuputih—area penambangan Semen Indonesia—terdapat 109 mata air, 49 gua, dan 4 sungai bawah tanah yang masih aktif dengan debit air yang bagus. Terdapat pula bermacam fosil di dinding gua di kawasan tersebut. Temuan itu berbeda dengan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) Semen Indonesia, yang menyebutkan jumlah mata air "hanya" 20.
Jika pabrik itu jadi didirikan, kata koordinator JMPPK Ming Ming Lukiarti, warga khawatir proses penambangan akan merusak sumber air di sekitar Pegunungan Kendeng. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Rembang dan Lasem mengambil bahan baku air dari kawasan Pegunungan Watuputih.
TELEPON seluler Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono berdering, sekitar Februari 2014. Dari seberang terdengar suara perempuan. "Saya dihubungi Ming. Dia mempertanyakan sikap Kepala Badan Geologi atas pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang," ujarnya kepada Tempo, akhir Juli lalu.
Surono, yang saat itu baru menjabat Kepala Badan Geologi, tak langsung menjawab. Ia meminta waktu untuk mempelajari lebih dulu. Apalagi, kata dia, kasus tersebut belum banyak diwartakan media. "Saya malah baru tahu dari teman-teman aktivis."
Pada Juni 2014, Surono mengirimkan dua orang untuk melakukan observasi di lokasi pembangunan pabrik. Tim kecil itu bertugas mengecek data yang dilaporkan para aktivis. Hasil pengecekan itulah yang menjadi awal "petaka" atas rencana ekspansi Semen Indonesia. Pada 1 Juli lalu, Badan Geologi melayangkan surat rekomendasi kepada Gubernur Jawa Tengah, ditembuskan ke Bupati Rembang dan Bupati Blora.
Dalam surat bernomor 3131/05/BGL/2014 itu, Surono menyatakan area yang akan menjadi lokasi penambangan dan pembangunan pabrik Semen Indonesia termasuk dalam cekungan air tanah Watuputih. Badan Geologi menggunakan rujukan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011 tentang penetapan cekungan air tanah.
Badan Geologi juga menyebutkan lokasi penambangan tersebut masuk wilayah imbuhan air tanah. Area ini, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang air tanah, adalah daerah resapan air yang mampu menambah air secara alamiah pada cekungan air tanah.
Daerah imbuhan air tanah dilindungi dalam pasal 40 ayat 2, bahwa menjaga daya dukung imbuhan air tanah dilakukan dengan cara mengendalikan kegiatan yang dapat mengganggu sistem imbuhan air tanah. "Jadi yang dilarang penambangan di area imbuhan air tanah, bukan di cekungan air tanah," Surono menjelaskan.
Manajemen Semen Indonesia mempersepsikan aturan itu tidak melarang penambangan di daerah imbuhan. Tapi mengatur atau mengendalikan kegiatan di daerah resapan air tanah. "Bukan melarang, tapi mengendalikan," kata Budi Sulistijo, koordinator peneliti dari PT Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung, yang ditunjuk menjadi konsultan Semen Indonesia. Karena itu, menurut Budi, pengendalian tersebut bergantung pada desain tambang yang ramah lingkungan.
Apalagi, Budi menambahkan, area yang akan menjadi lokasi penambangan bukan daerah resapan air yang ideal. "Daerah resapan air ideal semestinya banyak pohon besar yang akarnya bisa menahan air. Sedangkan di area itu bisa dikatakan sudah tak ada pohon."
Semen Indonesia mempertanyakan penolakan yang muncul belakangan. Padahal perusahaan pelat merah ini telah mengantongi perizinan, termasuk amdal. "Sebagai perusahaan BUMN, kami tak mungkin menabrak aturan," kata sekretaris perusahaan Semen Indonesia, Agung Wiharto.
Ia mengatakan telah berdialog dengan kelompok penentang pendirian pabrik. "Beberapa kali kami berdiskusi. Tapi, buat mereka, ya pokoknya tidak boleh. Padahal dari segi legalitas dan formalitas sudah selesai," kata Agung.
Agung menambahkan, sebelum Semen Indonesia datang, di area itu telah ada kegiatan penambangan batu gamping yang legal. Mereka juga sudah memiliki izin amdal karena bisa beroperasi hingga sekarang. "Rekomendasi Badan Geologi terasa diskriminatif. Kenapa mereka boleh, sedangkan kita tidak."
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kaget atas perselisihan yang belakangan muncul. Menurut dia, kalau ada masalah dengan izin amdal, seharusnya digugat sejak perizinan terbit pada 2012. "Bukannya baru dua tahun kemudian dipermasalahkan."
Toh, Ganjar tetap membuka pintu bagi kelompok penentang untuk menggugat izin amdal yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ke Pengadilan Tata Usaha Negara. "Kalau memang perizinannya salah, silakan digugat saja," katanya.
Ganjar justru curiga kemungkinan adanya motif persaingan di balik konflik ini. "Saya selalu bertanya-tanya, adakah ini persaingan antar-kelompok masyarakat, persaingan antar-penambang, antar-perusahaan semen, atau antar-aktivis."
Surono malah menuding Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah yang semestinya paham mengenai aturan air tanah. Sebab, dasar hukumnya jelas. "Saya tak habis pikir, kenapa Dinas Energi Jawa Tengah bisa mengeluarkan izin. Apalagi Dinas Energi telah memiliki peta zona dan pemanfaatan air tanah."
Meski menolak, Surono tak akan melakukan tindakan lanjutan. "Surat rekomendasi saya hanya menunjukkan aturan yang sudah ada. Selanjutnya silakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berwenang."
Sebaliknya, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng bertekad menggugat perizinan yang telah diterbitkan Provinsi Jawa Tengah.
Semen Indonesia pun berkukuh melanjutkan proyek Rembang. Manajemen berprinsip, selama belum ada aturan hukum yang menyatakan perusahaan harus berhenti, kegiatan akan berjalan terus.
Amir Tejo (Jakarta), Farah Fuadona (Rembang), Rofiudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo