Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Dua perusahaan milik negara bidang konstruksi PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan anak usahanya PT Wijaya Karya Industri & Konstruksi (WIKON) digugat perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Para penggugat itu ialah usaha kontraktor yang bermarkas di Pekanbaru PT Wiradjaja Prima Kencana dengan nomor perkara 329/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN Niaga Jkt.Pst dan perusahaan tenaga surya di Jakarta Selatan PT Infinite Berkah Energi (IBE) dengan nomor perkara 318/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN Niaga Jkt.Pst.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT WIKA belum memberi tanggapan atas gugatan PT Wiradjaja Prima Kencana pada Jumat, 1 November 2024 itu. Namun, WIKA membenarkan kalau anak usahanya digugat PT Infinite Berkah Energi pada 25 Oktober 2024. “WIKON memiliki sisa pembayaran kepada PT Infinite Berkah Energy atas tagihan suplai energi untuk proyek yang dikerjakan,” kata Sekretaris Perusahaan Mahendra Vijaya dalam keterbukaan informasi di situs Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Sabtu, 2 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski demikian, Mahendra mengatakan WIKA belum menerima nilai gugatan dari perkara itu. Dia menyebut WIKA menghormati proses hukum ini. “WIKON tetap membuka jalur komunikasi kepada IBE sebagai salah satu upaya dalam penyelesaian kewajiban,” kata dia.
Sidang dari perkara PT WIKA dan PT Wiradjaja Prima Kencana akan digelar perdana pada Senin, 11 November 2024. Sementara, perkara WIKON dan IBE akan disidang perdana pada Senin, 4 November 2024.
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) berupaya meningkatkan efisiensi dan profitabilitas di tengah berbagai tantangan sektor infrastruktur mulai membuahkan hasil. Dalam laporan keuangan kuartal III-2024 atau hingga 30 September 2024, WIKA membukukan pendapatan sebesar Rp 12,55 triliun, dengan kapasitas tingkat produksi (burn rate) sebesar 34,3 persen dari kontrak berjalan Perseroan.
“Manajemen percaya dengan meningkatkan tata kelola, perkuatan manajemen risiko, keunggulan eksekusi proyek, fokus terhadap likuiditas serta pengelolaan struktur modal kerja yang baik, Perseroan akan mampu menjaga nilai kompetitifnya di masa mendatang”, ujar Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito (BW), seperti dikutip Antara pada Jumat, 1 November 2024.
Kontribusi utama pendapatan WIKA itu berasal dari segmen infrastruktur dan gedung, industri, EPC dan realti properti. WIKA juga membukukan laba kotor sebesar Rp1,06 triliun, dengan Gross Profit Margin (GPM) sebesar 8,4 persen, meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 8,1 persen.
“Hal ini menunjukkan kemampuan eksekusi proyek WIKA yang semakin excellence, terutama pada lini bisnis utama yang menjadi core operasi Perseroan, seperti infrastruktur dan gedung serta EPCC yang naik rata-rata 0,6 persen dari tahun sebelumnya,” kata Agung.
Selain membukukan peningkatan margin laba kotor, WIKA juga mencatatkan peningkatan laba usaha sebesar Rp 839,75 miliar atau meningkat 55,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan demikian Operating Profit Margin (OPM) Perseroan berhasil meningkat dengan peningkatan yang sama secara year on year.
Sejalan dengan langkah Perseroan untuk terus mempercepat upaya penyehatan keuangan, dari sisi neraca WIKA memperbaiki kolektibilitas piutang hingga 30,4 persen menjadi sebesar Rp6,61 triliun dari Rp 9,50 triliun per September 2023. “Selain itu WIKA juga terus berupaya maksimal untuk melakukan pembayaran kepada mitra kerja, sehingga utang usaha Perseroan tercatat menurun hingga 50,7 persen di periode yang sama tahun sebelumnya,” kata Agung.
Sementara itu, arus kas atas aktivitas operasi Perseroan juga menunjukkan perbaikan hingga 86,9 persen dari minus Rp1,67 triliun menjadi minus Rp218,94 miliar di kuartal III-2024. “Perbaikan ini merupakan hasil dari upaya transformasi Perseroan yang fokus dalam peningkatan likuiditas sebagai upaya penyehatan keuangan,” kata dia.
Kondisi likuiditas yang semakin baik ini tercermin dari current ratio Perseroan yang telah meningkat menjadi 191,8 persen dengan rasio solvabilitas seperti rasio utang berbunga terhadap ekuitas (gearing ratio) dan Debt to Equity Ratio (DER) yang juga kini telah menurun menjadi 2,18 kali dan 3,12 kali dari posisi sebelumnya 3,10 kali dan 5,07 kali.