Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Industri gula di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang sejarah bangsa ini. Komoditas yang kini menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia ini ternyata telah diproduksi sejak lebih dari seribu tahun silam.
Dari tradisi petani kecil di masa lampau hingga menjadi sektor andalan ekspor pada masa kolonial, dan kini menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, gula telah mengalami pasang surut yang dramatis dalam lintasan sejarahnya.
Awal Perkembangan
Dalam artikel yang diterbitkan Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen pada 2016, produksi gula di Nusantara sudah tercatat sejak abad ke-10, saat petani-petani lokal mulai menanam tebu dan mengolahnya dengan teknik tradisional menjadi gula merah. Kala itu, proses produksi dilakukan dalam skala kecil, mengandalkan alat-alat sederhana yang diwariskan secara turun-temurun. Industri gula pada masa itu tidak hanya menjadi sumber mata pencaharian, tetapi juga bagian dari budaya agraris yang kuat di masyarakat pedesaan.
Namun, memasuki abad ke-17, arah industri ini berubah secara drastis. Perusahaan Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) melihat potensi ekonomi besar dari komoditas ini dan mulai mengambil alih kendali. VOC membangun perkebunan dan pabrik gula di sejumlah wilayah di Pulau Jawa, memperkenalkan teknologi produksi yang lebih modern dan memperluas skala usaha. Sejak saat itu, industri gula berubah menjadi sektor ekonomi yang terintegrasi dengan kepentingan kolonial.
Pada masa Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch, diterapkan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang mewajibkan desa-desa di Jawa menyisihkan 20 persen lahan pertaniannya untuk ditanami tanaman ekspor seperti tebu, kopi, dan teh. Wilayah seperti Surabaya, Pasuruan, dan Besuki menjadi pusat utama penanaman tebu, karena memiliki tanah subur dan kondisi geografis yang mendukung. Kota Jombang, yang masuk dalam Karesidenan Surabaya, bahkan mendirikan Pabrik Gula Tjoekir pada tahun 1884, menandai era industrialisasi dalam produksi gula.
Masa Kolonial
Menurut laman PTPN, Industri gula Indonesia mencapai puncak kejayaannya pada paruh pertama abad ke-20, khususnya pada tahun 1930-an. Pada masa itu, Indonesia menjadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia. Produksi gula mencapai angka yang luar biasa, yakni sekitar 3 juta ton dengan tingkat rendemen (perbandingan antara berat gula dan berat tebu yang digiling) sebesar 11 hingga 13,8 persen.
Ekspor gula bahkan mencapai 2,4 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama gula global.
Keberhasilan ini tidak lepas dari masifnya pembangunan pabrik-pabrik gula oleh pemerintah kolonial Belanda, terutama di Pulau Jawa. Modernisasi alat produksi dan sistem pertanian terintegrasi menjadi faktor utama dalam meningkatnya efisiensi dan kapasitas produksi. Gula pun tidak hanya menjadi produk ekspor, tetapi juga konsumsi utama dalam rumah tangga rakyat Indonesia.
Pasca Kolonial
Masa kejayaan tersebut tidak bertahan lama. Dunia dilanda Depresi Besar pada tahun 1930-an yang menyebabkan harga gula anjlok drastis. Kondisi semakin memburuk akibat pecahnya Perang Dunia II yang merusak infrastruktur industri, termasuk pabrik-pabrik gula di Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan resmi merdeka secara de jure pada tahun 1949, pemerintah Indonesia mengambil alih industri gula yang sebelumnya dikuasai pihak kolonial. Sejak saat itu, pemerintah berupaya untuk menghidupkan kembali industri gula ini.
Namun berbagai tantangan menghadang: mulai dari keterbatasan dana, peralatan usang, hingga lemahnya kebijakan industrialisasi di sektor pertanian. Meski demikian, semangat untuk membangun kembali kejayaan industri gula tak pernah padam.
Ironisnya, negara yang dahulu pernah menjadi eksportir gula terbesar kini berubah menjadi salah satu pengimpor gula terbesar di dunia. Data menunjukkan bahwa pada tahun 1994 Indonesia hanya mengimpor 4.400 ton gula. Namun, dalam kurun waktu sepuluh tahun, volume impor melonjak drastis menjadi 1,34 juta ton pada 2004.
Pada tahun 2015, produksi gula nasional hanya sekitar 2,49 juta ton, jauh di bawah kebutuhan nasional yang mencapai 5,7 juta ton. Artinya, Indonesia hanya mampu memenuhi setengah dari total kebutuhan gula domestik dan sisanya harus diimpor dari luar negeri.
Tak hanya dari sisi volume, rendemen tebu juga mengalami penurunan. Pada 2012, rendemen mencapai 8 persen dengan harga jual sekitar Rp10.000 per kilogram. Namun, pada 2013 rendemen menurun menjadi 7 persen dan harga gula turun ke angka Rp 8.500/kg. Penurunan ini sangat merugikan petani. Ketika rendemen rendah dan harga gula jatuh, pendapatan petani ikut menurun. Pada lahan seluas 50 hektar, seorang petani bisa kehilangan pendapatan hingga lebih dari Rp11 juta.
Dampak dari kerugian tersebut terasa sangat luas. Banyak petani kecil yang memilih berhenti menanam tebu. Akibatnya, pasokan bahan baku untuk pabrik gula juga menurun. Ini menyebabkan masa giling yang lebih singkat dan efisiensi pabrik menurun. Dengan produktivitas nasional yang melemah, impor gula pun semakin meningkat untuk menutupi kekurangan.
Rachel Caroline L. Toruan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Transformasi Pabrik Gula Banjaratma Jadi Rest Area Favorit di Jalan Tol Trans Jawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini