Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketegangan terasa di ruang rapat Gubernur, Gedung Utama Balai Kota Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Senin siang pekan lalu. Belasan anggota Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) Jakarta yang berseragam kemeja abu-abu terlihat gelisah ketika menunggu Gubernur Fauzi Bowo. Mereka akan membicarakan peraturan daerah terbaru yang mengatur pungutan pajak warung Tegal, biasa disingkat warteg.
Menurut Sekretaris Jenderal Kowar teg Imam Sofyan, anggota koperasi —semuanya pengusaha warung Tegal—resah lantaran ada isu pemerintah Jakarta akan memaksakan kehendak dalam rapat tersebut. ”Saya sempat terpikir untuk mengerahkan massa,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Tepat pukul 11.30, Fauzi Bowo datang dan langsung memulai pertemuan. Pria berkumis yang akrab disapa Foke itu langsung menyitir Undang-Undang Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi. Payung hukum itu menjadi dasar bagi peraturan daerah yang mengatur pemungutan pajak atas rumah makan, termasuk warteg. Anggota koperasi berbondong-bondong mengajukan keberatan.
Setelah hampir dua jam berdialog, pemerintah DKI Jakarta mengendur. Fauzi memutuskan menunda pemberlakuan pungutan pajak bagi warteg ini. ”Pungutan pajak ditunda karena bisa berefek ke penjualan,” katanya. Pertemuan berakhir lancar dan damai.
Sebulan terakhir ini pengusaha gerai makanan di Jakarta, terutama pemilik warteg, cemas. Pemerintah Jakarta berencana memungut pajak 10 persen dari total penjualan warung makan pinggir jalan itu. Pungutan pajak itu tertuang dalam rancangan peraturan daerah yang akan berlaku pada 1 Januari 2011. Menurut aturan itu, war teg masuk kategori restoran alias rumah makan.
Para pengusaha warteg gelisah karena kriteria warung makan yang bisa dipungut pajak sangat ketat. Dalam rancangan peraturan tadi disebutkan, pada pasal 3 dan 4, pungutan pajak akan dikenakan kepada rumah makan, termasuk warteg, beromzet Rp 60 juta setahun atau sekitar Rp 165 ribu per hari. Dengan kriteria itu, kata Imam, banyak warung kelas kambing terkena pungutan pajak.
Fauzi Bowo berdalih bahwa kriteria warung Tegal sebagai obyek pajak restoran berlaku secara nasional. Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi yang disahkan tahun lalu. ”Ini amanat undang-undang, makanya peraturan daerah itu dibuat,” ujar Foke.
Aturan pajak restoran bukan barang baru. Di Jakarta, sejak 2003 sudah ada peraturan daerah yang mengatur pu ngutan pajak rumah makan. Bahkan kriteria rumah makan yang bisa dikenai pajak lebih gawat, minimal beromzet Rp 30 juta setahun. Cuma, waktu itu peraturan ini belum menyentuh warung Tegal, karena belum dianggap restoran atau rumah makan.
Benih kecemburuan muncul. Sumber Tempo membisikkan para pemilik restoran keberatan karena ternyata banyak warteg yang omzetnya bisa me nembus Rp 2 juta sehari tapi tak dipungut pajak. Padahal angka penjualan ini menyamai restoran kelas menengah. ”Banyak laporan masuk ke anggota legislatif dan pemerintah,” ujarnya. Akhirnya warung Tegal pun menjadi sasaran obyek pajak (lihat ”Berkah Warteg Warmo”).
Kepala Dinas Pelayanan Pajak Jakarta Iwan Setiawandi tak menampik cerita ini. Menurut dia, pengenaan pajak kepada warteg demi rasa ke adilan. ”Selama ini restoran dikenai pajak, sedangkan warteg yang omzetnya sama atau lebih besar malah lolos,” kata Iwan kepada wartawan pekan lalu.
Potensi pajak dari warteg sudah di hitung. Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak Jakarta Arif Susilo mengatakan sedikitnya ada 2.000 warung makan, termasuk warteg, yang omzetnya di atas Rp 60 juta setahun. ”Penerimaan pajaknya sekitar Rp 50 miliar.” ujarnya.
Digodok sejak awal tahun, rancangan peraturan daerah ini mampir di meja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta pada Maret lalu. Ketua Badan Legislatif DPRD Jakarta Triwisaksana mengatakan saat itu Dewan dan pemerintah tarik ulur soal kriteria omzet warteg yang bisa kena pajak. Pemerintah mengusulkan omzet minimal Rp 50 juta, sedangkan Dewan Rp 60 juta. ”Kami ajukan angka dengan mengacu pada tawaran pemerintah.” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Sumber Tempo di kalangan legislatif mengatakan Dewan sebenarnya mengajukan batas omzet yang lebih tinggi, tapi ditentang karena memicu masalah baru. Pemerintah bisa kehilang an potensi penerimaan dari restoran yang sebelumnya sudah membayar pajak. ”Kerugiannya cukup besar dan berpengaruh pada pendapatan daerah,” ujarnya. Pemerintah Jakarta memang tengah menggenjot penerimaan pajak restoran hingga Rp 800 miliar tahun ini.
Triwisaksana mengakui hal terse but. ”Ada pertimbangan memperluas obyek pajak,” katanya. Tapi ada yang luput dari pertimbangan. Ia melihat selama ini sosialisasi belum terlaksana dengan maksimal. Indikasinya, reaksi masyarakat yang muncul begitu kencang justru ketika aturan akan diberlakukan.
Prakteknyapun tak mudah. Apalagi pembukuan dan bukti transaksi sebagai acuan tagihan pajak ternyata belum siap. Dengan begitu, menurut Ketua Kowarteg Jakarta Aji Sastoro, secara teknis, pungutan pajak warteg akan sangat sulit. ”Warteg dikelola secara tradisional, hampir tak ada yang pakai bukti transaksi, lalu bagaimana cara menghitung pajaknya?”
Fery Firmansyah, Renny Fitria Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo