Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamis pekan lalu menjadi hari penting bagi PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Perusahaan yang dipimpin Honggo Wendratno itu resmi mendapatkan kontrak pembelian solar dari PT PLN. Hari itu juga direksi perusahaan setrum milik negara meneken perjanjian jual-beli minyak diesel 500 ribu kiloliter per tahun, selama empat tahun mulai 2011.
Prosesnya berlangsung cukup lama. Menurut Direktur Energi Pri mer PLN Nur Pamudji, Trans Pacific telah ditetapkan sebagai salah satu pemenang tender pengadaan bahan bakar minyak solar sejak Oktober lalu. ”Berkas jalan dari meja ke meja sampai ke Direktur Utama,” kata Nur Pamudji, Rabu pekan lalu.
Trans Pacific telah lama mengharapkan perjanjian pembelian jangka me nengah atau jangka panjang atas produk kilangnya. Sebab, sejak ber operasi kembali akhir tahun lalu, produsen petrokimia itu tak mengan tongi kontrak lagi. Menurut Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries, perusahaan induk Trans Pacific, Amir Sambodo, produk middle distillate (solar dan minyak tanah) yang seharusnya diambil Pertamina nganggur.
Apa pasal? Perusahaan minyak dan gas pelat merah itu menolak gara-gara Trans Pacific belum menyelesaikan tunggakan utang kakapnya. ”Pertamina maunya utang bayar dulu, baru kerja sama lagi,” kata Amir kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Trans Pacific Petrochemical memang punya setumpuk utang kepada Perta mina. Perusahaan minyak milik negara ini mencatat per Maret 2010 total utang Trans Pacific US$ 546,2 juta (Rp 4,95 triliun). Utangnya antara lain berupa instrumen pengiriman produk (product delivery instrument) dan utang delayed payment note. Itu konsekuensi atas program pertukaran produk untuk melanjutkan pembangunan kilang Trans Pacific pada 2001. Status utang sudah default alias gagal bayar.
Kewajiban itu belum termasuk utang PT Polytama Propindo, perusahaan afiliasi, senilai US$ 43 juta. Ada pula utang ke pemerintah dalam bentuk surat utang: multiyear bond (tenor hingga 2014) dan mandatory convertible bond atau utang yang wajib dikonversi menjadi saham senilai Rp 3,266 triliun (lihat ”Utang Kakap Proyek Tuban”).
Trans Pacific mestinya memberikan product delivery instrument. Itu imbalan bagi Pertamina yang telah me ngirimkan produk low sulfur wax residu—residu lilin berkadar belerang rendah ke Mitsui untuk membayar utang Trans Pacific kepada perbankan Jepang. Pertamina berhak mendapatkan middle distillate products, yakni solar dan minyak tanah. Bila gagal, Trans Pacific wajib membayar tunai atau menerbitkan surat utang berjangka enam bulan senilai US$ 50 juta, disebut delayed payment note.
Pada awal kilang beroperasi, 2006-2007, barter produk berjalan mulus. Eh, tahun berikutnya, situasi berubah total. Februari 2008, Trans Pacific menyatakan telah terjadi force majeure. Penyebabnya, terjadi ombak besar yang merusakkan alat pemecah gelombang di pelabuhan perusahaan. Pelabuhan ditutup dan pabrik berhenti beroperasi.
Ada lagi hambatan lainnya. Amir Sambodo mengatakan lonjakan harga minyak dunia ke level US$ 147 per barel juga membuat kinerja Trans Pacific ngos-ngosan. Harga minyak yang lari kencang tak diikuti kenaikan harga produk petrokimia secara signifikan. Manajemen memutuskan Trans Pacific berhenti beroperasi. ”Kalau nekat jalan terus, marginnya bisa negatif,” kata Amir.
Kewajiban Trans Pacific terhadap Pertamina jalan terus. Pada Desember 2008, mereka gagal mengirimkan solar dan minyak tanah. Mereka juga tak mampu membayar tunai atas product delivery instrument. Padahal, setiap akhir Juni dan Desember, utang Trans Pacific bertambah US$ 50 juta. Khawatir piutangnya membengkak, Pertamina lantas menyetop suplai kondensat, bahan baku kilang Tuban. Tapi pasokan residu lilin belerang kepada Mitsui tetap berlanjut.
Pertamina memasok kondensat dari lapangan Senipah ke Trans Pacific. Hampir setahun kilang Tuban mati suri. Hingga akhirnya, Oktober 2009, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas memasok kondensat langsung ke Trans Pacific—tanpa melalui Pertamina—40 ribu barel per hari. Keputusan ini diambil Menteri Ke uangan Sri Mulyani Indrawati agar pabrik beroperasi kembali dan mampu membayar utang.
Amir Sambodo melobi habis-habisan supaya Lapangan Banteng kantor pusat Kementerian Keuangan setuju dengan skema bantuan ala BP Migas ini. Syaratnya, Trans Pacific akan melunasi utang kepada pemerintah dan Pertamina. Nyatanya, janji itu belum terealisasi. Negosiasi restrukturisasi utang dengan Pertamina yang dibicarakan sejak Feb ruari 2009 pun belum ada titik temu.
Direktur Pengembangan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Frederick Siahaan, dalam rapat dengan Komisi Energi dan Sumber Daya Mi neral di Dewan Perwakilan Rakyat, dua pekan lalu mengatakan Pertamina telah melayangkan surat sebagai solusi terakhir bagi Trans Pacific. Intinya, Pertamina bersedia membeli minyak dari Trans Pacific, asal perusahaan itu membayar utang yang jatuh tempo.
Isi surat juga menyebutkan bahwa Trans Pacific diberi tenggat dua bulan, hingga Februari tahun depan. ”Kami tidak ingin mengambil alih paksa TPPI. Tujuan utama, kewajiban kepada Pertamina dibayar lunas,” ujar Frederick.
PLN membutuhkan tambahan 1,25 juta kiloliter solar tahun depan. Per usahaan ini pun membuka tender peng adaan solar yang akan dipergunakan untuk lima pembangkit listrik tenaga gas uap Muara Tawar, Muara Karang, Grati, Tambak Lorok, dan Belawan.
Pertamina merupakan penawar terendah di Muara Tawar dan Grati. Adapun PT Shell Indonesia memberikan harga terendah di Tambak Lorok, Belawan, dan Muara Karang. Tapi PLN memberikan kesempatan right to match di tiga lokasi yang dimenangi Shell kepada pemain lokal. Right to match adalah hak menyamakan harga dengan penawar terendah. Pertamina mendapat hak itu di pembangkit Muara Karang, sedangkan Trans Pacific di Tambak Lorok dan Belawan. Menurut Nur Pamudji, Pertamina nantinya akan memasok solar ke Muara Tawar (Bekasi), Grati (Pasuruan), dan Muara Karang (Jakarta). Adapun Trans Pacific akan memasok ke Tambak Lorok (Semarang) dan Belawan (Medan). ”Semuanya dengan harga terbaik,” ujarnya.
Keikutsertaan dan kemenangan Trans Pacific memicu kemarahan Pertamina. Juru bicara Pertamina, Mo chammad Harun, mengatakan produk Trans Pacific seharusnya diberikan ke Pertamina sebagai kompensasi karena Pertamina terus mengirimkan residu lilin belerang kepada Mitsui. Pertamina telah melayangkan surat protes kepada PLN.
Pada masa sanggahan, Pertamina tak tinggal diam. Menurut Nur Pamudji, setelah pengumuman pemenang tender, Pertamina mempertanyakan kemampuan Trans Pacific memproduksi solar dengan spesifikasi yang ditentukan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, termasuk kelangsungan suplainya. Namun, menurut konsultan PLN, Sucofindo, spesifikasi bisa dipenuhi Trans Pacific.
Adapun ihwal utang Trans Pacific di Pertamina, ”Persoalan lain,” kata Nur Pamudji. ”Kami ini berurusan dengan penjual solar. Ada barang murah, kami beli,” ujarnya. Trans Pacific memang sedang dalam proses restrukturisasi utang. Tapi, ujar Nur, ”Itu kan (berurusan dengan) pemiliknya, bukan pabriknya. Pabriknya tetap jalan terus.”
MENTERI Keuangan Agus Marto wardojo mengumpulkan komisaris Tuban Petro, dua pekan lalu. Menurut sumber Tempo, di antara komisaris itu, ada Hadiyanto dan Mulia Nasution. Menteri Agus memberi tenggat dua bulan kepada Tuban Petro buat membayar utang. Honggo Wendratno penjamin utang diminta meneken surat pernyataan bahwa bila dalam tempo dua bulan restrukturisasi utang tak beres, Honggo tidak boleh melakukan perlawanan hukum. ”Agus kesal lantaran proses penyelesaian utang Tuban Petro berlarut-larut,” bisik sumber Tempo.
Bila nanti Trans Pacific dinyatakan bangkrut, semua aset dilego, Honggo juga tak boleh memprotes valuasi aset yang dilakukan pemerintah. Pemerintah nantinya bisa mengambil alih Trans Pacific, Polytama Propindo, dan PT Pe tro-Oxo Nusantara. Adapun Pertamina cuma dapat Trans Pacific.
Sumber lain mengatakan Honggo sengaja mengulur waktu hingga 2014. Sebab, berdasarkan perjanjian, pemerintah hanya akan memiliki Tuban Petro hingga 2014. Setelah itu, pemilik lama diizinkan mengambil alih kembali.
Niat Honggo menguasai kembali Tuban Petro telah lama terdengar. Dua tahun lalu, ia mengajukan proposal penawaran pembelian 50 persen saham Tuban Petro ke Perusahaan Pengelola Aset senilai Rp 3,3 triliun. Tapi rencana itu batal.
Benarkah? Agus Martowardojo me nolak memberikan konfirmasi. ”Saya belum bisa berkomentar,” katanya. Honggo belum bisa dimintai konfirmasi. ”Sedang ke Tuban, mungkin bertapa,” kata Amir bercanda.
Tapi, kata Amir, Honggo telah melayangkan surat kepada Menteri Keuangan, 2 Desember lalu. Intinya, ia berkomitmen melunasi utang tepat waktu. Ia juga menyampaikan usul restrukturisasi dengan dukungan US$ 600 juta dari bank internasional. Syaratnya, Honggo meminta jaminan pasokan kondensat dari BP Migas, kontrak pembelian produk oleh Pertamina dan PLN selama 10 tahun.
Retno Sulistyowati
*Ket: Struktur lihat gambar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo