PUTU Ary Suta menutup hari terakhirnya di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan kejutan istimewa. Senin pekan lalu, usai menyerahterimakan jabatannya pada ketua yang baru, Syafruddin Temenggung, ia menggelar perpisahan dengan karyawan lembaga pengelola Rp 500 triliun aset negara itu. Ketika itulah ia melansir pengumuman: bonus sebesar dua bulan gaji akan dibagikan kepada segenap pemimpin dan staf BPPN, yang mencapai 3.000-an. Jumlahnya fantastis, jauh melebihi bantuan Presiden Megawati untuk perbaikan asrama militer yang "cuma" Rp 30 miliar dan diributkan parlemen itu. Ditotal jenderal, menurut seorang sumber di BPPN yang enggan disebut jati dirinya, hadiah dari Putu itu bernilai Rp 48 miliar.
Berupaya mewariskan kesan baik pada penghujung jabatannya, Putu meninggalkan badan yang selama 10 bulan dipimpinnya itu dengan banyak cerita. Meski sukses menggenapi target setoran BPPN tahun lalu ke kas negara senilai Rp 27 triliun lebih, kinerja lelaki Bali ini sarat kontroversi. Usulannya memolorkan tenggat penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS), serta berbagai kejanggalan yang meruap pada penjualan Indomobil dan Sugar Group—yang kini berbuntut sengketa—adalah sekian contoh yang bisa disebut. Dan kini, setelah ia digeser dari kursi panas itu, ia meninggalkan satu kejutan lain yang menimbulkan tanda tanya besar.
Ternyata, selama beberapa bulan terakhir ini Putu punya jabatan lain: agen intelijen. Berdasarkan dokumen yang diperoleh mingguan ini, diam-diam ia telah ditahbiskan sebagai mata-mata melalui sepucuk surat keputusan yang diteken Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono per 28 Januari lalu. Tertera di situ, atas pertimbangan "untuk menunjang kelancaran tugas-tugas kedinasan Kepala BIN", Putu diangkat sebagai Agen Utama Intelijen Negara RI. Ini adalah pangkat tertinggi di jajaran agen fungsional—intel di luar struktur organisasi BIN yang direkrut dari berbagai kalangan. Selain petikannya disampaikan ke Putu, keputusan ditembuskan pula ke Presiden Megawati dan semua pejabat BIN, mulai dari wakil ketua, sekretaris utama, sampai para direktur.
Putu sendiri menyangkal ihwal pengangkatannya itu. "Ndak betul itu. Saya bukan agen BIN, barangkali agen koran," katanya. Namun konfirmasi justru datang dari Pejaten, markas BIN. Seorang petinggi BIN yang juga menerima tembusan keputusan itu berkata, "Memang ia pernah diangkat jadi agen. Ini kan menyangkut pengamanan aset negara. Tapi itu cuma untuk kurun waktu tertentu." Adapun Muchyar Yara, pengacara sekaligus juru bicara Hendropriyono, juga membenarkannya. Berbicara atas nama kliennya, menurut dia, keputusan itu wajar-wajar saja dan dilakukan semata-mata demi kepentingan intelijen untuk menjaring informasi akurat di lembaga yang amat strategis seperti BPPN. Dan jangan salah, Putu bukan satu-satunya pejabat yang merangkap jabatan sebagai agen intelijen. Ia cuma satu dari ribuan agen fungsional yang "ditanam" di banyak lembaga pemerintah serta partikelir. "Jangankan Putu, menteri juga ada," kata Muchyar.
Wajar? Pengangkatan Putu—juga banyak pejabat lain sebagai agen—mungkin memang sesuatu yang normal dan sah-sah saja. Tapi, sebelum kesimpulan itu diambil, agaknya ada beberapa soal yang mesti dijelaskan. Masalahnya, perpaduan intelijen dan pos Ketua BPPN yang mengurusi para pengusaha—yang punya utang segunung tetapi berdompet tebal—bisa menimbulkan syak wasangka dan bahkan mungkin membahayakan publik. Apalagi, selama kepemimpinannya, Putu menelurkan beberapa keputusan kontroversial.
Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, nama lembaga ini sebelum jadi BIN) Z.A. Maulani termasuk yang menyatakan ketidaksetujuannya atas pengangkatan Putu. Di matanya, dwifungsi itu penuh konflik kepentingan. Menurut Maulani, Ketua BPPN justru target yang mesti ketat diintai intelijen supaya tak membahayakan kepentingan negara. "Jangan-jangan BIN malah tidak menerima laporan yang obyektif," katanya kepada Martua Manullang dari Tempo News Room. Seorang jenderal lain yang malang-melintang di dunia spionase pun tak habis pikir. "Di mana pun agen itu harus dirahasiakan jati dirinya. Karena itulah tak pernah ada SK-nya," katanya tertawa.
Dalam kasus Putu, bukan cuma penerbitan SK itu yang mengherankan. Tanggal pengangkatannya sebagai agen pun menjadi tanda tanya sendiri. Kenapa Putu, yang telah menakhodai BPPN sejak Juni tahun lalu, baru 28 Januari di-jadikan spion?
Farid Prawiranegara, karib Prabowo yang juga mengaku kenal dekat dengan Putu, punya dugaan menarik. Menurut dia, pengangkatan itu erat terkait dengan posisi Putu yang lagi genting di sekitar bulan-bulan itu. Salah satunya buntut dari geger dokumen "kembar" BIN tentang rencana perpanjangan PKPS yang diledakkan Menteri Perencanaan Pembangunan Kwik Kian Gie beberapa waktu lalu. Alkisah, pada Desember 2001 terbit laporan analisis BIN yang keberatan terhadap rencana pemerintah untuk memperpanjang PKPS karena dikhawatirkan bisa menggoyahkan keamanan. Rencana perpanjangan PKPS yang memberi konglomerat pengutang kelonggaran waktu pelunasan itu memang keras ditentang banyak kalangan. "Manuver keji," begitu ekonom Faisal Basri pernah mengomentari usul ini.
Putu tampaknya terjepit—karena dialah pemilik gagasan perpanjangan PKPS. Entah apa yang kemudian terjadi, tak lama kemudian muncullah laporan BIN versi lain. Laporan ini, tak seperti yang terdahulu, tak ada tanda paraf dari Kepala BIN yang menandakan keotentikannya. Isinya pun berputar 180 derajat: berbalik mendukung perpanjangan PKPS. Dokumen itu beredar di sidang kabinet 7 Januari 2002—hanya tiga minggu sebelum Putu diangkat sebagai agen.
Kursi Putu bergoyang hebat setelah perpanjangan PKPS akhirnya dianulir pemerintah. Apalagi setelah itu meletup kasus penjualan Indomobil—aset eks Salim yang dikuasai BPPN—yang diduga tidak beres dan sampai kini masih berbuntut panjang. Perseteruannya dengan Menteri Laksamana Sukardi, atasannya sendiri, pun memuncak dalam penjualan BCA.
Secara terbuka Putu menyatakan penentangannya terhadap niat Laksamana mengambil alih keputusan final pemenang tender. Awal Maret, sebulan setelah Putu jadi spion, kabar rencana pencopotannya sebagai Ketua BPPN telah meruap ke mana-mana. Toh, hampir dua bulan Putu berhasil bertahan. Menurut sumber TEMPO yang keberatan namanya disebut, itu tak lepas dari kuatnya lobi Putu ke Istana melalui jalur Pejaten.
Jadi, posisi sebagai agen justru menguntungkan Putu? Sinyalemen semacam itu tegas-tegas disanggah Muchyar Yara. "Pengangkatan Putu sama sekali tak terkait dengan isu perpanjangan PKPS, pergantian Ketua BPPN, maupun yang lainnya. Itu semata-mata untuk kepentingan BIN," katanya.
Beres? Belum. Masih ada fakta lain yang mengganjal dan mengundang tanya. Hanya sehari setelah Putu diangkat, 29 Januari, ada seorang agen lain yang ikut dinobatkan. Juga seorang putra Bali. Dia adalah I Nyoman Damantra. Dengan teken Hendropriyono, Damantra diangkat sebagai agen madya (satu jenjang di bawah agen utama).
Damantra tak lain dan tak bukan adalah sobat Putu. Ia dikenal sebagai pemilik PT Indocev, sebuah perusahaan penukaran uang (money changer) yang berkantor di Hotel Wisata, Jakarta. Saat ini Damantra tercatat sebagai Ketua Yayasan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Di lembaga ini pula Putu telah lebih dulu menjabat Ketua Badan Pengawas Keuangan.
Di kalangan BPPN nama Damantra sudah tak asing lagi. Saat hari mulai berangkat malam, ia kerap terlihat keluar-masuk kantor Putu di lantai 30 Wisma Danamon. Disebut-sebut banyak menangguk rezeki di BPPN, Damantra juga dikenal luas sebagai salah satu "pintu masuk utama" bagi setiap kepentingan yang ingin menjangkau Putu. Sayang, berulang kali didatangi ke kantornya, ia tak kunjung dapat ditemui. Telepon genggamnya pun tak pernah menjawab permohonan wawancara dari TEMPO.
Semua urusan mata-mata ini memang perlu buru-buru diluruskan untuk mencegah apa yang dikhawatirkan Maulani: "Jangan-jangan ada yang jadi polisi rahasia untuk kepentingannya sendiri."
Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, dan Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini