Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Darwish/Palestina

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN ia secuil Palestina: sesuatu yang ada dalam puing. Suaranya seperti reruntukan yang diinjak kaki di tanah yang kini kosong dan diduduki para pemukim. Tiap puing mengandung sejumlah riwayat. Dalam diri Mahmoud Darwish, penyair kelahiran Galilea itu, puing itu kata-kata. "Tanah, seperti bahasa, adalah warisan," tulisnya dalam sajaknya, Tragedi Narsisus, Komedi Perak. Ketika bahasa itu direbut oleh kekuasaan, yang tersirat dari puisi Darwish adalah bayangan dari sesuatu yang kini punah: sebuah kisah hidup yang utuh, yang bak sebuah rumah keluarga, bersisi belakang, tengah, dan depan yang menatap ke hari esok. Ketika Darwish berumur enam tahun, rumah itu runtuh. Ia lahir pada tahun 1942 di Dusun Berweh di Galilea Atas, Palestina. Ketika pada tahun 1948 tentara Israel datang dan orang ditembaki, Darwish kecil dan orang tuanya lari ke Lebanon. Negara Israel pun berdiri, dan dusun itu hancur bersama lebih dari 417 dusun lain. Ketika Darwish kemudian termasyhur, seorang pembuat film ingin me-motret tempat masa kecil sang penyair. Para pemukim Yahudi menghalang-halanginya, bahkan mengancam. Si pembuat film itu pun, seorang perempuan Israel, memanggil polisi. Ia datang hanya ingin memotret puing-puing desa, katanya. "Puing yang mana?" tanya polisi, "Seluruh daerah ini penuh puing." Darwish menyusun kata seperti ia menata reruntukan: dengan hati yang terkadang berang, terkadang sedih, dalam sajak. Ia tahu, bila bahasa, seperti tanah, adalah warisan, warisan itu mungkin tak akan berlanjut. Telah kulihat semua yang ingin kulihat tentang perang Sesumber air Yang diperas moyang kita Dari batu hijau. Ayah kita mewarisinya Tapi tak memberikannya kepada kita Pada tahun 1949 Darwish dan keluarganya kembali masuk Palestina yang sudah berubah. Israel adalah sebuah negeri lain, yang modern, bersemangat, demokratik, tapi bukan untuk Darwish, bukan untuk orang seperti dia. Statusnya di negeri tempat ia lahir itu adalah "orang asing". Sampai tahun 1966, ia harus mendapat izin untuk bepergian ke dusun lain. Tak mengherankan bila riwayat kepenyairannya (dan ke-Palestina-annya) mulai dini sekali: pada tahun 1950. Ia diminta kepala sekolah untuk ikut merayakan ulang tahun Israel. Darwish pun, murid yang kurus, berdiri di muka mikrofon. Dengan bahasa lempang seorang anak berumur 8 tahun, ia bersajak tentang seorang bocah Arab yang berseru ke seorang bocah Yahudi, "Kau punya rumah, sedang aku tidak. Kau punya perayaan, sedang aku tidak. Kenapa kita tak bisa bermain bersama?" Esok harinya, Darwish dipanggil penguasa militer Israel. Dalam riwayat hidup ringkas untuk kumpulan puisinya versi Inggris, The Adam of Two Edens (yang diterbitkan Syracuse University Press pada tahun 2000), disebut bahwa petinggi itu mencercanya dan menghina bahasa Arabnya. Si bocah pulang, terguncang. "Saya menangis… tak paham kenapa sebuah sajak bisa membuat marah Gubernur Militer." Sejak itu ia beberapa kali dipenjarakan dengan alasan yang sama: membaca sajak atau bepergian tanpa surat izin. Beberapa tahun kemudian ia menulis, "Aku telah lihat apa yang ingin kulihat tentang penjara." Ia pasti telah melihat banyak hal: bui, kesunyian, pembuangan. Ia berpindah-pindah, ke Moskwa, Kairo, Beirut, Paris, dan tak tahu bisakah ia pulang. Jika ia membandingkan dusunnya, Berweh, dengan sebuah dusun orang Indian Amerika, Naconchtanke—dan merasa sebagai orang yang tanah kelahirannya direnggutkan—siapa yang akan kaget? Israel meluas dan Palestina terkubur. Seperti dikatakan Moshe Dayan, jagoan perang Israel itu, kepada wartawan Ha'Aretz, 4 April 1969, "Kita datang ke negeri ini yang telah dihuni oleh orang Arab…. Dusun-dusun Yahudi didirikan di lokasi desa Arab…. Tak ada satu tempat pun yang dibangun di negeri ini yang tak punya penduduk Arab sebelumnya." Dayan dengan jujur berbicara kepada generasi orang Israel yang tak tahu masa silam. Mungkin ia merasa perlu. Di negeri itu perang berkecamuk terus karena masa depan adalah masa lalu. Zionisme adalah nasionalisme yang berakar pada ingatan. Jika orang di Amerika, Prancis, India, Indonesia membangun sebuah bangsa dengan melupakan ikatan-ikatan primordial, di Israel justru tali primordial itu yang menentukan: ke-Yahudi-an. Nasionalisme Palestina juga nasionalisme yang mengingat, bukan tentang agama atau etnis leluhur, tapi tentang tanah kelahiran yang tak ada lagi. Jadilah engkau ingatan untukku Agar kutahu apa yang hilang daripadaku Sajak itu sepotong dari himpunan Sebelas Planet di Langit Terakhir Andalusia, sebuah elegi bagi eksodus orang Arab dari Spanyol setelah membangun kerajaan muslim yang megah di Andalusia pada abad ke-8. Tapi yang mempertautkan Darwish dengan Andalusia bukanlah ke-Arab-an itu. Ia malah menemui sebuah percampuran peradaban, yang diwakili penyair yang menulis tentang Cordoba dan Granada dengan indahnya: Federico Garcia Lorca. Akulah Adam dari dua Firdaus yang dua kali hilang Buanglah aku pelan-pelan. Bunuhlah aku pelan-pelan Dengan Garcia Lorca Di bawah zaitunku Betapa sederhana: puing Andalusia dan reruntukan Firdaus oleh Darwish tak dibentuk jadi benteng yang kompak, kaku, menakutkan, tapi sebuah mozaik seperti puisi Lorca: rindu, ramah, dan sayu, yang menjangkau siapa saja sebelum mati. Mungkin itu sebabnya kita tahu kini kenapa Palestina tak sedih untuk dirinya sendiri. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus