Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memutuskan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan. Kenaikan PPN tersebut merupakan amandat langsung dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak sedikit masyarakat yang terkejut mendengar kabar PPN 12 persen tersebut. Mirip dengan “Peringatan Darurat” beberapa bulan lalu, belakangan tagar Tolak PPN 12 Persen juga ramai menjadi kata kunci yang banyak diperbincangkan di media sosial X. Bahkan, tagar tersebut masih terus menjadi tren hingga hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk hasil analisis dari Drone Emprit yang dipublikasi di akun X mereka, sentimen netizen di media sosial terhadap kenaikan PPN luar biasa negatif. Tercatat, 79 persen dari respon masyarakat memberikan sentimen yang negatif terhadap isu ini.
Bahkan, menurut Drone Emprit, muncul potensi ataupun ajakan boikot dari masyarakat untuk tidak membayar pajak. Selain itu, muncul juga banyak ajakan untuk mengetatkan pengeluaran dan menurunkan tingkat konsumsi sehari-hari. Hal yang dikhawatirkan oleh para ekonom sebagai fenomena underconsumption.
Gerakan Tolak PPN 12 Persen di X pertama kali digaungkan oleh akun @BudiBukanIntel. Dalam sebuah desain gambar yang ia publikasi di akunnya, ia mengatakan bahwa menarik pajak tanpa timbal balik untuk rakyat adalah sebuah kejahatan. Kalimat tersebut diadaptasi dari slogan “taxation without representation is a crime” yang sering terdengar di belahan bumi barat.
Tidak hanya di dunia digital, penolakan juga disuarakan oleh rakyat secara langsung, salah satunya adalah golongan pekerja. Partai Buruh, sebagai satu-satunya partai politik yang digerakkan oleh kelas pekerja, menolak dengan tegas wacana PPN 12 persen dan mengancam akan mogok massal bila kenaikan PPN tidak segera dibatalkan.
“Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa yang semakin mahal. Di sisi lain, kenaikan upah minimum yang mungkin hanya berkisar 1 persen hingga 3 persen tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat,” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (Ditejen Pajak), Kementerian Keuangan Dwi Astuti sebelumnya menyatakan pendapatan dari implementasi PPN 12 persen akan turut dirasakan masyarakat.
Penerapan tarif pajak pertambahan nilai, kata dia, seharusnya tidak melulu dilihat dari kenaikannya. “Hasil dari kebijakan penyesuaian tarif PPN akan kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 22 November 2024.
Dwi memaparkan, penerimaan negara dari tarif PPN baru yang berlaku pada 2025 bakal kembali ke masyarakat melalui beberapa program. Di antaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. “Juga subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk” kata dia.
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.