Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ramalan

Sarwar Hobohm dari Inggris meramalkan Indonesia sampai th 1991 masuk jajaran the big five negeri pengutang. Ramalan tersebut berdasarkan harga minyak US$ 18/barel. Reformasi struktural harus berjalan.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANG enak tidak enak kalau soal utang dibicarakan orang lain. Diranking dan diterka-terka bisa membayar atau tidak. Tapi, suka tidak suka, dengan utang sekitar US$ 40 milyar, Indonesia masih masuk jajaran The Big Five di antara negeri pengutang. Bahkan diramal oleh Sanwar Hobohm dari sebuah lembaga di Inggris yang dianggap punya otoritas di bidangnya, The Economist Intelligence Unit, kita belum akan cabut dari jajaran itu sampai akhir tahun 1991. Menurut Hobohm, sampai akhir 1991 utang pemerintah kepada negeri seberang akan bertumpuk sampai 57,05 milyar dolar, belum termasuk utang yang langsung parkir di kantung pengusaha. "Kalau dijumlah, bisa sampai 63,8 milyar dolar," itulah bunyi ramalan selanjutnya, yang dipublikasikan dalam buku Indonesia to 1991: Can Momentum Be Regained ? Puncak kebutuhan utang itu akan tercapai pada 1989: sekitar 9 milyar dolar. Setelah itu mengendur lagi sampai mentok di 7,7 milyar dolar pada 1991. Apa boleh buat, cadangan devisa pemerintah sulit diajak kompromi. Selain jumlahnya yang kecil -- di akhir 1986 hanya US$ 3,9 milyar -- juga karena pemerintah tak ingin memancing spekulasi dengan mengobral devisanya. Jadi, jangan heran kalau banyak pengusaha swasta yang makin nekat mencari utang luar negeri jangka pendek. Apalagi sejak devaluasi tahun lalu, rupiah jadi mahal dan lebih betah nongkrong di bank. Maka, untuk mencicilnya saja, pemerintah harus rela menyisihkan sampai 7,7 milyar dolar per tahun, atau sekitar tiga perempat dari separuh penghasilan ekspor minyak pada 1991, yang mencapai US$ 11 milyar. Itu pun kalau harga minyak boleh dipatok di angka 18 dolar per barel. Sedangkan, kalau dibanding nilai ekspor keseluruhan, cicilan itu makan porsi 34,5%, kendati sudah terkatrol oleh membaiknya pasar ekspor. Masa tersuram terjadi pada 1989, yang mencapai 40%. Tapi, pemerintah tak akan minta penjadwalan kembali utang-utangnya, seperti banyak dilakukan negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Menurut sumber Hobohm pemerintah akan mengambil jalan rollover, utang yang sudah dilunasi langsung dicairkan lagi sebagai utang baru. Untungnya, Indonesia masih punya dua sumber dana yang bisa diandalkan. IGGI akan menaikkan komitmen piutangnya menjadi 2,9 milyar dolar pada 1991, dari sekitar 2,5 milyar dolar. Sementara itu, pemerintah diperkirakan mempunyai cadangan 15,1 milyar dolar di akhir 1985, dari sisa kesepakatan kredit yang belum sempat dilaksanakan. "Hantu" defisit dalam neraca transaksi berjalan terus membuntuti. Memang tak bisa dibandingkan dengan tahun lalu yang 5,8 mllyar dolar, lantaran amblesnya harga minyak sampai 42%. Di akhir 1990, diperkirakan hanya akan tercatat 4 milyar dolar. Tapi ingat, ramalan-ramalan itu tak dibuat berdasarkan harga minyak 18 dolar per barel, seperti telah disepakati para produsen tahun lalu. Hobohm menghitung berdasarkan harga yang dianggap lebih realistis: Dari 16,5 dolar pada 1987, lalu turun menjadi 14 dolar pada 1983, sebelum naik lagi secara bertahap menjadi 16,5 dolar pada 1991. Sebuah skenario disusun oleh Hobohm kalau kesepakatan itu dipertahankan. Kenaikan kuota minyak Indonesia akan berjalan lamban, sehingga di akhir 1991 paling banter cuma sampai 1,4 juta barel per hari. Amerika Serikat, yang defisit perdagangan luar negerinya masih 170 milyar dolar per tahun, juga tak bakal diam. Depresiasi dolarnya akan terus digenjot untuk mengimbangi harga minyak, sehingga makin memberatkan beban utang yang harus ditanggung Indonesia. Alasn Hobohm, karena besarnya komponen utang nondolar, yang nilainya justru menguat terhadap dolar. Keuntungan malah datang dari gas alam, yang harganya terkait dengan minyak. Menurut Hobohm, karena kontrak-kontrak pembelian yang sudah ditandatangani oleh Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang akan berjalan penuh pada 1990. Sedangkan LPG yang baru mendapat kontrak 10 tahun untuk memasok dua juta ton per tahun ke Jepang, menunjukkan harapan baru. Karena itulah penghasilan ekspor minyak dan gas bumi naik terus, dari 8,7 milyar dolar di tahun ini menjadi 11 milyar dolar di akhir 1991. Dibarengi pula segarnya pasar ekspor menjadi 21,5 milyar dolar dari 15,6 milyar dolar di tahun ini. Hanya saja, utang yang dibutuhkan per tahun juga kut membengkak, sampai rata-rata di atas 8,5 milyar dolar. Hobohm juga menyiapkan skenario lain, yang menyangkut reformasi struktural yang tengah dilakukan pemerintah, termasuk debirokratisasi dan deregulasi. Kalau usaha itu berantakan, hasil ekspor secara keseluruhan akan berhenti pada angka 19,5 milyar dolar -- dari minyak dan gas bumi 10,8 milyar dolar. Sedangkan cicilan utang yang harus dibayar nyaris separuhnya: 39%. Kalau resesi ekonomi terus berlangsung? Sebuah dilema serius harus dihadapi pemerintah: mempertahankan nilai rupiah terhadap dolar atau melakukan depresiasi. Kalau dipertahankan, otomatis penerimaan pemerintah akan menurun, apalagi kalau disertai menurunnya daya saing komoditi di pasar internasional. Sedangkan kalau ambil jalan depresiasi, porsi cicilan utang bakal membengkak terhadap hasil ekspor. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus