Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Digerogoti David

Pengaruh perkembangan perusahaan-perusahaan kecil/produsen lokal sangat terasa bagi perkembangan unilever. setelah kepergian yamani dewan direksi menghadapi banyak masalah berat. (eb)

18 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Unilever Indonesia kehilangan Yatnani Hasan, ketua dewan direksinya, yang meninggal minggu lalu, pada saat yang kurang menggembirakan. Dalam laporan tahunan 1983 disebutkan bahwa laba sesudah pajak pada 1983 berjumlah Rp 27,5 milyar. Ini Rp 260 juta lebih kecil dari laba tahun sebelumnya. Jumlah ini mungkin bukan merupakan kemerosotan yang terasa bagi satu perusahaan besar seperti Unilever, tapi kemerosotan laba ini merupakan hal pertama kali terjadi sejak Unilever dikembalikan lagi kepada pemiliknya pada 1967. Ketika Yamani Hasan mengambil alih tampuk pimpinan Unilever pada 1980, keadaan memang berubah. Resesi ekonomi yang terjadi pada tahun-tahun berikutnya mengakibatkan lambatnya pertumbuhan perusahaan. Lima tahun terakhir sampai 1980 Unilever masih mengalami tingkat pertumbuhan luar biasa, hingga dalam lima tahun, baik penjualan maupun keuntungannya, naik dua kali lipat. Untuk 1984 ini, Unilever tidak melihat prospek cerah untukinya. Dalam kata pengantarrya untuk Laporan Tahunan 1983, Yamani Hasan menulis: "Secara keseluruhan, kami memperkirakan bahwa keadaan ekonomi setidak-tidaknya akan sesulit tahun 1983. Untuk 1984, Perseroan harus membuat perencanaan atas dasar asumsi bahwa tidak akan ada perbaikan yang berarti dalam keadaan ekonomi." Apa yang dikhawatirkan Yamani memang akhirnya terjadi, dan mungkin lebih butuk daripada yang disangkanlya semula. Harga minyak sawit dan minyak kelapa, dua bahan mentah pokok yang dipeunakan Unilever, melonjak keras selama enam bulan terakhir. Ini merupakan beban yang berat bagi Unilever, karena Unilever tidak bisa menutup kenaikan biaya minyak ini dengan menaikkan harga produksinya. Seperti yang diakui Yamani Hasan dalam wawancaranya dengan TEMPO, sebulan sebelum dia meninggal "Kami tidak bisa sembarangan menaikkan harga." Akibatnya adalah seperti yang dikatakan sebuah sumber yang dekat dengan Unilever: "Tahun ini keuntungan Unilever mungkin merosot tajam." Sumber tadi juga mengamati bahwa Unilever dalam beberapa bulan terakhir ini terpaksa membeli minyak sawit dari pasar bebas dengan harga yang cukup tinggi, karena Jatah mmyak sawlt, yang diterimanya dari pemerintah dengan harga yang lebih rendah, ternyata tldak mencukupi. Kurang jelas apakah prospek keuntungan 1984 ini bakal mempengaruhi nilai saham, tapi, yang pasti, kurs saham Unilever terus merosot akhir-akhir ini. Yang terakhir kursnya tercatat Rp 1.785, dibanding Rp 1.910, tiga bulan yang lalu. Dapat dipastikan, Dewan Komisaris dan Direksi Unilever saat ini sibuk memikirkan calon pengganti Almarhum Yamani Hasan. Tapi siapa pun yang nantinya diangkat sebagai ketua Dewan Direksi PT Unilever Indonesia yang baru, dia akan menghadapi beberapa masalah berat: menghentikan kemerosotan penjualan dan mencari keuntungan. Ini akan merupakan tugas berat karena sejumlah produk baru yang merupakan saingan Unilever berkembang pesat akhir-akhir ini, terutama jenis sabun mandi, sabun cuci, dan margarine. Saingan Unilever, di samping mutunya cukup bagus, harganya juga murah, "Karena produsen lokal yang membikin produk tersebut tidak harus menanggung biaya yang tinggi," kata seorang staf Unilever. "Bayangkan, upah buruh harian kami rata-rata delapan kali lipat upah buruh harian perusahaan lain," katanya pula. Seorang staf lain yang sudah pensiun memberi komentar: "Pokoknya, keadaan sudah berubah. Unilever Indonesia sekarang bukan Unilever yang dulu lagi. Kalau tidak waspada, dia bisa menjadi Goliath yang menghadapi banyak David." Dan itulah yang tampaknya merupakan tugas utama pimpinan Unilever Indonesia yang sekarang: menghindarkan Unilever Indonesia menjadi perusahaan besar, tapi makin digerogo saingan-saingannya yang kecil-kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus