Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Reformasi Perpajakan, Sri Mulyani Ingin Turunkan Kesenjangan Pajak

Sri Mulyani Indrawati melihat reformasi perpajakan berpotensi mengurangi tax gap ke level normal atau relatif comparable secara global

28 Juni 2021 | 13.30 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Juni 2021. Rapat tersebut membahas pagu indikatif Kementerian Keuangan dalam RAPBN 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Juni 2021. Rapat tersebut membahas pagu indikatif Kementerian Keuangan dalam RAPBN 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melihat reformasi perpajakan berpotensi mengurangi kesenjangan pajak atau tax gap ke level normal atau relatif comparable secara global. Dia ingin tax gap di Indonesia bisa kurang dari posisi saat ini yang sebesar 9,5 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Selalu ada yang disebut tax gap. Namun bencmark internasional terutama bagi negara di OECD dan negara-negara emerging adalah sekitar 3,6 persen yang disebut normal tax gap," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat yang disiarkan secara virtual, Senin, 28 Juni 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menuturkan apabila rezim perpajakan dipatuhi 100 persen, perlakuan pajak untuk semua sektor adalah sama dan tidak terdapat exemption, threshold atau PTKP. Di berbagai negara maju, jumlah atau kemampuan untuk mengumpulkan pajak, memang tidak akan pernah 100 persen.

"Di Indonesia dari sisi kemampuan untuk meng-collect perpajakan yang 9,76 persen dan adanya tax gap sebesar 9,5 persen dan normal tax gap yang terjadi di negara-negara lain adalah 3,6 persen, maka untuk Indonesia sebetulnya terdapat potensi tax gap harus kita kurangi sebesar mendekati 5 persen dari GDP," kata dia.

Tujuan ini, kata dia, akan menjadi pondasi reformasi perpajakan.

Dia menuturkan reformasi perpajakan terdiri dari reformasi di bidang kebijakan dan reformasi di bidang administrasi. Dari sisi kebijakan pemerintah harus melihat basis pajak dan juga daya saing, baik dalam perekonomian maupun antar negara.

Pemberian insentif, kata dia, harus secara terukur, efisien, dan adaptif dengan melihat dinamika perpajakan global.

"Mengurangi distorsi dan exemption yang menimbulkan loophole dan memperbaiki azas progresivitas atau keadilan," ujar dia,

Karena, dia melihat masih ada masyarakat yang masih belum mampu dan juga ada masyarakat yang sudah mampu atau bahkan dalam posisi yang sangat mampu.

Dari sisi administrasi, kata Sri Mulyani, reformasi akan terefleksikan dari sisi administrasi yang akan semakin dibuat simple, mudah, dan efisien.

"Ini tentu akan berbanding lurus dengan complaint, semakin mudah dan semakin sederhana akan mudah dipahami masyarakat luas," kata dia,

Karena, dia melihat kelompok menengah ingin berkontribusi, tapi tidak ingin berhadapan dengan sistem admisitrasi pajak yang begitu rumit. Begitu juga dengan dunia usaha.

"Kita juga perlu mereform administrasi untuk memberikan kepastian hukum, dan memanfaatkan data dan informasi dalam rangka untuk menciptakan keadilan dan enforcement yang targeted, adaptasi terhadap struktur ekonomi kita yang terutama sekarang masuk era digital mengikuti tren dan best practice dari perpajakan global," kata Sri Mulyani.

BACA: Rapat dengan DPR, Sri Mulyani Beberkan Alasan Mereformasi Perpajakan

HENDARTYO HANGGI

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus