Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan menyebut pemerintah mesti melakukan pembenahan infrsatruktur pergaraman nasional Indonesia seiring dengan cita-cita menyetop impor garam pada 2024. Menurutnya, ada anggaran besar yang harus disiapkan, terutama untuk infrastruktir meningkatkan NaCl pada garam.
Baca juga : Menakar Penghentian Impor Garam
“Kalau berkaca pada kondisi pergaraman kondisi pergaraman saat ini, rasanya masih berat dan harus kerja keras didukung anggaran yang cukup besar,” kata Daniel kepada Tempo, Kamis, 12 Januari 2023.
Tak hanya itu, Daniel mengatakan bahwa untuk percepatan swasembada garam nasional, grand design harus terintegrasi dari hulu ke hilir. Tata niaga garam juga menjadi wajib untuk dibenahi. “Sehingga mendorong kestabilan harga dan petani garam maupun industri turunan garam juga diuntungkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, pemerintah perlu menetapkan standar kadar NaCl untuk kebutuhan garam indutri. Perhitungan keekonomian garam lokal untuk kebutuhan industri pun mesti betul-betul dimatangkan. “Jangan sampai ingin swasembada namun pembangunan infrastruktur dan industri menjadi terhambat. Sebab nanti ruginya bisa double,” pungkas Daniel.
Baca juga : Harga Garam Naik, Mendag Sebut RI Terlalu Banyak Impor
Rencana pemerintah untuk menutup keran impor garam ini ditetapkan dalam Perpres Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pergaraman Nasional, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada 27 Oktober 2022. Melalui Perpres tersebut, Jokowi menginstruksikan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan percepatan pembangunan pergaraman untuk memenuhi kebutuhan garam nasional.
Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP lantas mendorong hilirisasi dengan membangun pabrik pengolahaan garam. “Upaya ini akan terus dilakukan di sentra-sentra pergaraman nasional,” ujar Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi kepada Tempo, Rabu, 11 Januari 2023.
KKP memberikan bantuan geomembran HDPE. Harapannya agar para petani garam mampu meningkatkan produksi dan kualitasnya. Teknik produksi baru juga diperkenalkan kepada petani garam. Misalnya, sistem tunel atau evaporasi tertutup.
“Teknik ini cukup efisien untuk mengantisipai kondisi cuaca buruk,” kata Wahyu.
Namun, tantangan produksi garam nasional bukan sekadar cuaca buruk. Kemapanan infrastruktur juga masih menjadi pekerjaan rumah atau PR tesendiri bagi pemerintah. Wahyu berujar, di sentra pergaraman umumnya, jalan produksi dan saluran air belum cukup memadai. “Hal ini sangat berpengaruh pada biaya produksi garam.”
Petani Siap, Pengusaha Ragu
Petani garam menyambut positif rencana pemerintah menghentikan impor garam. Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin mengaku siap untuk meningkatkan produktivitas. Namun, pihaknya butuh campur tangan pemerintah.
Jakfar berujar petani butuh jaminan harga dan pasar dari pemerintah, sehingga semangat memproduksi. Di samping itu juga butuh bantuan modal melalui pinjaman tanpa bunga. “Karena kalau hibah menurut saya tidak mendidik. Petani harus dirangsang agar termotivasi memproduksi lebih banyak untuk mengembalikan modal,” ujar Jakfar kepada Tempo, Rabu, 11 Januari 2023.
Baca juga : Alasan Masyarakat Pesisir Menolak Kebijakan Impor Garam 3,7 Ton
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adi S. Lukman mengaku belum yakin jika tahun 2024 konsumsi garam industri sepenuhnya berasal dari dalam negeri. “Kualitas dan kuantitasnya belum dapat,” kata Adhi ketika dihubungi Tempo melalui sambungan telepon, Kamis, 12 Januari 2023.
Adhi mengatakan, secara umum garam yang diinginkan industri adalah garam dengan kadar NaCl di atas 97 persen. Kemudian untuk produk-produk bumbu bubuk, juga menghendaki kadar air maksimal 0,5 persen dan CaMg lebih rendah dari standar umumnya.
Jika dihitung dari beberapa perusahaan dalam Gappmi yang menggunakan garam industri, setidaknya dibutuhkan 600 ribu hingga 650 ribu ton per tahun. Sedangkan sepengalaman Adhi, garam lokal yang berkualitas bagus dan bisa diserap baru sekitar 100 ribu ton. Itu pun tergantung faktor cuaca yang mempengaruhi produktivitas di kalangan petani.
“Kami mendukung langkah pemerintah. Tapi perjalanan ini masih panjang. Tantangannya masih banyak,” ujar Adhi.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini