Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Berbagai kejanggalan muncul dalam revisi Tata Tertib DPR.
Sejumlah pejabat negara diduga akan dicopot dengan revisi Tata Tertib DPR.
Para mantan hakim MK marah akibat revisi Tata Tertib DPR.
DENGAN nada kesal, Firman Soebagyo meminta Ketua Badan Legislasi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Bob Hasan mengundang anggota Majelis Kehormatan Dewan (MKD) pada Senin siang, 3 Februari 2025. Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Golkar itu ingin mendengar langsung penjelasan MKD yang meminta revisi Tata Tertib DPR. Namun tak ada satu pun perwakilan MKD yang hadir.
Menurut Firman, hari itu MKD—lembaga yang bertugas menjaga etik semua anggota Dewan—diwakili oleh Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR yang bertugas membantu menyisir perubahan Tata Tertib DPR. “Kalau tidak ada penjelasan dari MKD, bahaya. Setiap saat peraturan bisa dibatalkan,” kata Firman kepada Tempo, Rabu, 12 Februari 2025.
Tak ada angin tiada hujan, Badan Legislasi DPR menggelar rapat untuk membahas revisi Tata Tertib DPR. Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, baru menerima undangan rapat pagi hari lewat pesan WhatsApp. Keningnya langsung berkerut karena tak pernah ada pembahasan soal rencana revisi. “Perubahan Tata Tertib tidak urgen,” ujar Benny.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu sekitar pukul 10, pimpinan Majelis Kehormatan DPR baru mengirimkan surat kepada pimpinan Dewan. Isinya mengusulkan revisi atas Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Pimpinan DPR lantas menginstruksikan Badan Legislasi agar segera membahas revisi. Perubahan Tata Tertib DPR ditargetkan selesai hari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat Badan Legislasi, pembahasan revisi hanya menambahkan dua ayat di pasal 228. Isinya mengatur evaluasi berkala komisi di DPR terhadap calon pejabat yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna. Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi kepada pimpinan DPR. Pimpinan menindaklanjutinya sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Benny Harman menjelaskan, penambahan dua ayat itu membuat DPR bisa mencopot pejabat negara yang telah disetujui di berbagai komisi. Misalnya hakim Mahkamah Konstitusi, hakim Mahkamah Agung, dan Kepala Kepolisian RI. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu menilai penambahan kewenangan DPR tersebut rentan disalahgunakan untuk menyingkirkan pejabat tertentu.
Anggota Badan Legislasi DPR Benny Kabur Harman (di layar monitor) di ruang Badan Legislasi, Kompleks Parleman Jakarta, 22 Januari 2025. Tempo/Amston Probel
Adapun Firman Soebagyo tak sepakat dengan perubahan tersebut. Ia memilih keluar dari ruang rapat alias walkout. “Revisi Tata Tertib DPR membuat DPR jadi superbody,” katanya.
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Darmadi Durianto, juga mempersoalkan evaluasi terhadap pejabat pilihan DPR. Padahal mekanisme pemilihan pejabat negara di DPR telah melalui proses panjang, seperti fit and proper test dan melewati lobi-lobi politik. Ia mencurigai ada motif politik tertentu.
Ketua Badan Legislasi Bob Hasan menanggapi santai protes dari sejumlah koleganya. Di dalam rapat, politikus Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa ia telah berkoordinasi dengan Majelis Kehormatan Dewan. Ia mengklaim MKD telah menggelar rapat internal dan semua fraksi telah bersepakat merevisi Tata Tertib DPR.
Bob pun meminta para anggota Badan Legislasi tak berburuk sangka menyikapi revisi Tata Tertib. “Kita harus sama-sama terbuka dan jangan berpikir tergesa-gesa,” ujarnya.
Delapan anggota DPR yang mengetahui proses perubahan Tata Tertib bercerita, pembahasan rencana revisi di MKD berjalan cepat dan tertutup. Berbeda dengan penjelasan Bob Hasan, mereka menyebutkan bahwa pembahasan itu tidak menyertakan politikus partai banteng. PDIP menjadi satu-satunya partai di parlemen yang belum bergabung dengan koalisi pemerintah.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad (kedua kanan) memimpin rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 23 Januari 2025. Tempo/Amston Probel
Wakil Ketua MKD dari PDIP, Tubagus Hasanuddin, enggan menanggapi informasi yang diperoleh Tempo. “Nanti saja, ya,” ucapnya melalui pesan WhatsApp pada Jumat, 14 Februari 2025. Anggota MKD dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, juga enggan berkomentar. Badan Legislasi akhirnya menyetujui revisi. Esoknya, revisi disahkan dalam rapat paripurna.
Sejumlah anggota Dewan mengatakan revisi Tata Tertib berjalan mulus karena ada peran Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Menurut mereka, Dasco menugasi Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam untuk mengusulkan revisi Tata Tertib DPR. Narasumber yang sama juga menyatakan Dasco mengirim instruksi yang sama ke Badan Legislasi.
Dasco membantah bila disebut mengorkestrasi revisi Tata Tertib DPR. “Saya tak pernah meminta Ketua Baleg merevisi Tata Tertib, itu inisiatif MKD,” tutur Ketua Harian Partai Gerindra itu kepada Tempo, Jumat, 14 Februari 2025. Namun Dasco mengaku pernah mendapat informasi bahwa MKD ingin merevisi Tata Tertib DPR untuk mengevaluasi penyelenggara negara secara berkala.
•••
EVALUASI terhadap pejabat negara pernah terjadi pada masa Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024. Pada akhir September 2022, rapat paripurna DPR menyetujui pemecatan hakim Mahkamah Konstitusi, Aswanto. Usulan pemberhentian Aswanto digaungkan oleh Komisi III DPR yang membidangi hukum. Aswanto adalah satu dari tiga hakim yang dipilih oleh DPR.
Ketua Komisi III DPR saat itu, Bambang Wuryanto, mengatakan Aswanto diberhentikan karena kerap membatalkan produk hukum bikinan DPR. Misalnya ia menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. “Dia wakil dari DPR tapi menganulir produk-produk DPR,” kata Bambang saat itu. Aswanto digantikan oleh Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah.
Pencopotan Aswanto menimbulkan kontroversi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengatakan pencopotan itu melanggar Undang-Undang MK. Sebab, permintaan pemberhentian hakim hanya bisa diajukan oleh Ketua MK. Lembaga pengusul, yaitu DPR, presiden, dan Mahkamah Agung, tak berhak mengusulkan pemberhentian.
Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 3 Desember 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Sejumlah anggota DPR mengaku mendapat informasi bahwa revisi Tata Tertib DPR yang memberi kewenangan evaluasi dan pencopotan pejabat negara juga menyasar sejumlah hakim MK. Pangkal persoalannya, para hakim MK dianggap mbalelo atau melawan keinginan DPR dan pemerintah. Salah satunya soal Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
Pada Agustus 2024, MK menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan MK itu membuat sejumlah partai politik bisa mengajukan sendiri calon kepala daerah tanpa harus berkoalisi. PDI Perjuangan, misalnya, bisa mengajukan Pramono Anung-Rano Karno dalam pemilihan kepala daerah Jakarta. Putusan MK membuat koalisi partai pendukung pemerintah di sejumlah daerah buyar.
Alih-alih menuruti putusan MK, pemerintah dan DPR malah ngebut merevisi Undang-Undang Pilkada. Sejumlah politikus di Koalisi Indonesia Maju, gabungan partai pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mengatakan revisi itu ditengarai untuk memuluskan jalan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, menjadi calon kepala daerah.
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 27 Mei 2024. Antara/Nadia Putri Rahmani
Rencana pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada menuai kecaman. Demonstrasi merebak di mana-mana. Di Jakarta, mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil mengepung gedung DPR. Tekanan publik membuat presiden terpilih Prabowo Subianto menginstruksikan pembatalan pengesahan revisi.
Perubahan Tata Tertib DPR juga mengusik para hakim MK. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengaku mendapat pertanyaan dari sejumlah koleganya soal dampak revisi Tata Tertib DPR. Menurut Palguna, mereka menilai evaluasi DPR terhadap pejabat negara bisa mengganggu independensi hakim konstitusi.
“Mereka menggerundel,” ujarnya saat wawancara via Zoom dengan Tempo, Selasa, 11 Februari 2025. Ia menilai revisi Tata Tertib DPR menjadi peluru untuk mencopot hakim MK seperti yang terjadi pada Aswanto. Guru besar Universitas Udayana, Bali, itu berkata pencopotan bisa terjadi dalam waktu dekat atau saat MK membuat putusan yang tak sesuai dengan keinginan pemerintah dan DPR.
Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, juga mengatakan Tata Tertib DPR terbaru bisa merusak independensi hakim. Jimly dan sejumlah mantan hakim MK pun sudah berdiskusi soal revisi Tata Tertib DPR yang seharusnya diberlakukan untuk kalangan internal Dewan dan bukan untuk penyelenggara negara lain. “Intinya, pada marah semua dengan revisi Tata Tertib,” tuturnya.
Juru bicara MK, Enny Nurbaningsih, mengatakan lembaganya tak mau mencampuri urusan internal DPR. Ia meminta semua lembaga saling menghormati. “MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman dijamin independensinya oleh Undang-Undang Dasar,” kata hakim konstitusi itu melalui WhatsApp pada Jumat, 14 Februari 2025.
Sejumlah petinggi Koalisi Indonesia Maju dan orang dekat Presiden Prabowo Subianto bercerita, pejabat lain yang bakal dicopot adalah Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Perry dianggap tak kooperatif soal burden sharing atau kerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi. Hingga Jumat, 14 Februari 2025, Perry tak merespons panggilan telepon dan pesan Tempo.
Satu pekan setelah Tata Tertib DPR baru disahkan, atau pada Selasa, 11 Februari 2025, Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri menggelar rapat dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketua Komisi bidang Pemerintahan DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menuturkan, rapat itu digelar karena DKPP belum transparan soal sidang etik.
DKPP merupakan lembaga yang menyidangkan kasus pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu tingkat pusat hingga daerah. Seorang anggota Komisi bidang Pemerintahan DPR bercerita, dalam rapat tertutup itu muncul evaluasi terhadap putusan DKPP di beberapa wilayah.
Salah satunya putusan DKPP yang memecat tiga komisioner KPU Kota Palopo, Sulawesi Selatan. DKPP menilai mereka melanggar etik karena meloloskan Trisal Tahir sebagai calon Wali Kota Palopo. Trisal, politikus Partai Gerindra, diduga menggunakan ijazah palsu sebagai syarat untuk mendaftar ke KPU. Trisal memenangi pilkada yang digelar pada 27 November 2024.
Rifqinizamy enggan menjelaskan isi rapat bersama DKPP. Namun ia meminta DKPP tidak membuat putusan yang berkaitan dengan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Sebab, putusan DKPP bisa menjadi bahan penguat dalam proses pembuktian MK. “Ini sangat fatal karena peradilan etik dan MK dua hal yang berbeda,” ucap politikus Partai NasDem itu.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito di Gedung DKPP, Jakarta, 23 Oktober 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Ketua DKPP Heddy Lukito menuturkan, lembaganya memproses perkara etik penyelenggara pemilu sesuai dengan urutan. DKPP masih menangani 167 perkara yang berasal dari tahapan pemilihan presiden, pilkada, dan non-tahapan.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membantah jika revisi Tata Tertib DPR disebut bertujuan mengganti sejumlah penyelenggara negara, seperti hakim MK, Gubernur Bank Indonesia, dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. “Tidak ada rencana itu,” katanya.
Ia mengklaim revisi Tata Tertib DPR bertujuan mendorong komisi-komisi untuk mengevaluasi kinerja pejabat negara. Nantinya, evaluasi DPR hanya bersifat rekomendasi kepada institusi negara. “Bukan untuk mengganti pejabat negara. Tata Tertib pun hanya berlaku di DPR,” ujarnya. ●
Francisca Christy Rosana dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam tulisan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Revisi Kilat Mencopot Pejabat".