BAHAYA terbesar bagi suatu format politik ialah jika ia ditimpa anakronisme. Suatu solusi politik yang pada mu-lanya cemerlang kerap -- dengan berjalannya waktu -- menjadi bumerang yang memakan tuannya sendiri. Mengapa demikian? Jawabnya, zaman terus berubah dan gejala sosial tak matematis. Masyarakat bukanlah robot-robot. Ia selalu refleksif. Ia memiliki rasa keadilan yang senantiasa aktif menilai. Dengan itulah ia terus memberikan score atas pemerintah dan keadaan di sekelilingnya. Score ini kumulatif sifatnya. Kumulasi penilaian inilah yang menjadi dasar tindakan bersejarah, menjadi sumber perubahan besar. Masyarakat juga mempunyai kenangan dan cita-cita historis, yang berkaitan. Kenangan, cita-cita, dan refleksivitas yang inheren dalam interaksi masyarakat menuntut tiap pelaku politik membiasakan diri mendengarkan suara-suara. Terutama dalam kehidupan politiklah praktek angkuh yang menyepelekan rakyat harus dihindarkan. Di situlah kita dituntut agar peka membaca tanda-tanda zaman, memiliki daya dan kelenturan imajinatif, agar bangsa ini terhindar dari gejolak politik yang fatal. Anakronisme seperti digambarkan di atas telah menimpa Orde Baru. Format politik Orde Baru sangat tepat untuk mengatasi impase genting akibat tragedi ekonomi politik demokrasi terpimpin. Impase genting ini membuat pemerintah merumuskan suatu solusi politik baru untuk mengatasi keadaan. Inti solusi politik yang segera dikenal sebagai Orde Baru ini ialah menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi dengan jalan menetapkan aturan mekanisme politik sedemikian rupa sehingga pemerintah tak mungkin dijatuhkan. Asumsinya: pemerintah mustahil berbuat salah. Solusi politik ini menghasilkan prestasi besar. Fragmentasi politik yang membawa kita ke tubir perang saudara dapat diatasi. Begitu juga inflasi yang setahunnya melampaui 600%. Roda-roda perekonomian kembali digerakkan, didukung oleh boom minyak, yang disusul oleh arus modal asing. Kreativitas Orde Baru tak berhenti di situ. Ketika boom minyak berlalu, pemerintah segera memobilisasi sektor ekspor nonmigas sambil berusaha menekan pertumbuhan penduduk. Selain itu, ia pun menggalakkan produktivitas pertanian. Dua-duanya berhasil. Sejauh ini yang ada secara garis besar adalah cerita sukses. Tapi, setelah melewati tahun 1984, keadaan mulai berubah. Pemerintah dilanda berbagai korupsi dan penyelewengan yang frekuensi dan skalanya dari waktu ke waktu bertambah per deret ukur. Para ahli yang dulu begitu percaya dengan dampak kucuran rezeki pembangunan (trickle down effect) berangsur-angsur kehilangan kata berhadapan dengan kenyataan. Monopoli politik melahirkan monopoli ekonomi. Kolusi dan korupsi semakin memperbesar kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi antarkelompok masyarakat yang kebetulan mempunyai akar antagonisme dari masa lampau. Seluruh roda perekonomian serta dinamik sampingannya telah dibiarkan bergerak tanpa mekanisme kontrol yang efektif. Seiring dengan kian besarnya kesenjangan ekonomi dan skandal korupsi, praktek hukum pun sama sekali tak mengindahkan kerinduan rakyat akan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Apakah yang telah terjadi? Perlukah dibuka cerita lama tentang kesakten yang hilang pada raja? Tidak. Kita hanya perlu membuka mata bahwa format politik Orde Baru sesungguhnya bersifat darurat. Ia ditujukan terutama untuk mengatasi impase genting akibat tragedi demokrasi terpimpin. Ia bukan kebijakan politik berjangkauan jauh. Selain itu, ia, seperti ditulis di atas, tak memungkinkan pemerintah diganti, betapapun benar dan kuatnya alasan untuk itu. Lalu, di manakah anakronisme format politik Orde Baru? Anakronisme terletak pada kenyataan bahwa format darurat itu tetap saja diberlakukan ketika keadaan ekonomi politik genting yang menjadi dasar kelahirannya sudah belasan tahun teratasi. Format ini memang meniscayakan tak efektifnya kontrol atas pemerintahan. Maka, roda-roda ekonomi pun bergerak tanpa kontrol. Berlakulah anarki di situ. Anarki di bidang ekonomi tak mungkin diatasi dengan kebijakan tambal sulam juga di bidang ekonomi, seperti yang dilakukan selama ini. Ia harus diatasi melalui pembenahan politik sebab ia memang bersumber dari perangkat kebijakan politik. Jika perangkat kebijakan ini tak segera dikoreksi secara mendasar, anarki akan terumbar di bidang politik. Dan kita tak bisa membayangkan apa yang akan menimpa bangsa kita jika ini sampai terjadi. Kita memerlukan solusi rasional atas berbagai tantangan ekonomi politik kita kini. Solusi darurat atas format darurat yang ada tak akan menolong. Tak perlu Supersemar II. Langkah-langkah tegas dengan kearifan politik yang berjangkauan jauh dapat dilakukan secara bertahap, katakanlah dalam tempo lima tahun. Tapi perubahan nyata ke arah itu harus sudah dimulai. Penundaan berarti bermain-main dengan malapetaka politik. Di atas semuanya, kita perlu memurnikan kembali prinsip kedaulatan rakyat. Hanya rakyat yang murni terwakili di dalam lembaga-lembaga perwakilannya yang bisa melakukan kontrol efektif atas pemerintahnya. Ilmu politik elementer mengajari kita bahwa tanpa kontrol yang setara, kekuasaan akan menyuburkan praktek korupsi -- praktek yang akan menghancurkan kekuasaan itu sendiri. Mestinya, pemurnian kembali prinsip kedaulatan rakyat sudah kita lakukan sekitar sepuluh tahun lalu. Dalam anakronisme yang semakin gamblang, sia-sia terus menipu diri sendiri. Sekaranglah saatnya kita kembali beralih pada kreativitas politik bangsa kita. Tentu saja dengan iman dan keberanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini