NERAKA, katanya, adalah "dipenjara seraya tahu bahwa kita tak bersalah". Yang mengatakan itu Gerry Conlon, bukan Mutiari. Tapi tak mustahil wanita yang dituduh berkomplot membunuh Marsinah itu akan mengucapkan hal yang sama. Sebab kasus "The Guildford Four" di Inggris di tahun 1975, yang menyebabkan Gerry dan ayahnya dijatuhi hukuman maksimum meskipun mereka tak bersalah, menunjukkan bahwa di pengadilan memang bisa terjadi ketidakadilan. Hanya Conlon beruntung, meskipun setelah 15 tahun menderita. Pers bebas mengungkapkan peradilan yang sesat itu, dan lembaga judikatif Inggris mau memperbaiki kesalahannya sendiri. Pintu terbuka lagi buat Conlon. Di tahun 1989, ia dibebaskan. Di tahun 1990, ia menuliskan pengalamannya itu dalam sebuah buku, Proved Innocent. Film In the Name of the Father mencoba mengungkapkannya kembali. Tak mudah. Film ini berpesan tajam tentang kesewenang-wenangan, dan untuk itu berusaha tampil tegas dan meyakinkan, sementara sulit sekali untuk berpesan tegas tanpa jadi membosankan. Apalagi para penonton dengan mudah sudah bisa menebak bagaimana kisah ini akan berakhir. Maka Sutradara Jim Sheridan mengetengahkan peran pengacara wanita yang dibawakan oleh Emma Thomson dan menyusupkan sebuah alur-bawah: hubungan rawan antara Gerry dan ayahnya, yang dimainkan dengan intens oleh Daniel Day-Lewis dan Pete Postlethwaite. Dengan begitu Sheridan menciptakan sebuah karya hibrida: di satu pihak mempertahankan klaim realismenya, di lain pihak mengelak dari klaim itu. Ia menarik, meskipun tak sepenuhnya berhasil menghidupkan kembali. Ceritanya sederhana. Gerry adalah pemuda bandel dari lingkungan Katolik melarat di Belfast Barat, Irlandia. Ia hidup di tengah benturan teror yang brutal antara gerilyawan IRA, "Tentara Republik Irlandia", dan aparat keamanan Inggris. Gerry bukan simpatisan IRA. Tapi seperti diucapkan oleh seorang pentolan IRA di penjara dalam film ini, sebuah perang sering mengorbankan orang yang tak bersalah. Itulah yang terjadi pada Gerry. Ia pergi ke London, melarikan diri dari Belfast yang rusuh, mencari nafkah di Inggris, dan di kapal ia bertemu dengan teman lamanya, Paul Hill. Di London mereka bergabung dengan sekelompok pemuda yang hidup seperti hippies, ngegelek dan bokek. Ketika suatu hari Gerry dan Paul beroleh uang dalam jumlah besar (yang mereka curi dari seorang pelacur), laporan masuk ke polisi: kelakuan mereka berdua mencurigakan. Di malam ketika mereka mencuri dompet itu, sebuah kedai minum di Guildford, wilayah Surrey, meledak oleh bom. Lima orang mati. Gerry dan Paul segera ditangkap sepulang mereka ke Belfast Barat. Mereka dituduh sebagai orang IRA yang melakukan pemboman di Guildford. Mereka disiksa oleh polisi Inggris, agar mengaku. Film ini memperlihatkan bagaimana penyiksaan itu dilakukan. Meskipun tak seseram yang kita dengar dari kasus Marsinah -- dalam film ini tak ada kemaluan yang disetrum listrik, misalnya -- inilah awal dari ketakadilan besar itu, terutama karena hakim tak mengacuhkannya. Akhirnya Paul dan Gerry terjebak. Semua anggota keluarga pamannya tempat ia pernah tinggal selama di London digerebek. Kemudian ayahnya yang datang menengok pun diciduk. Dalam sebuah proses yang beberapa buktinya disembunyikan polisi, "The Guildford Four", atau "Guildford Berempat", itu dihukum berat. Selama di penjara 15 tahun (meskipun dalam film masa panjang itu tak terasa), Gerry kembali menghargai ayahnya, yang dengan diam tapi teguh menegaskan kembali bahwa beda antara "bersalah" dan "tak bersalah" tetap penting, juga dalam situasi yang tak manusiawi. Ketika si ayah yang sakit-sakitan itu mati di dalam selnya yang senyap, si anak bertekad kembali menegaskan ketidakbersalahan itu. Ia berhasil, berkat bantuan seorang pengacara wanita yang berwajah tenang tapi gigih. Film berakhir dengan sebuah catatan faktual tentang apa yang terjadi misalnya bahwa anggota korps kepolisian Inggris yang salah tangkap dan menyiksa itu tetap tak ditindak. Catatan itu mungkin buat mempertajam kesadaran kita bahwa happy ending dalam film ini tak berarti punahnya ketidakadilan (dan di Indonesia kita sadar betul tentang itu). Tapi di sini pula sifat hibrida dari film ini bisa melemahkan daya desaknya. Sheridan, yang kuat benar dalam realisme -- adegan rumah tangga dalam film ini, seperti dalam My Left Foot, memperlihatkan kekuatan itu -- mungkin akan lebih terasa jujur seandainya ia berani untuk mengorbankan efek dramatik yang dalam film ini terasa jadi bumbu, meskipun bumbu yang diharapkan penonton. Namun apa mau dikata: ini resep Hollywood. Walhasil, film ini bukan sebuah karya besar, meskipun baik ditonton untuk Mutiari dan siapa saja yang tak diberi keadilan justru oleh lembaga yang disebut pengadilan.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini