Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rugi itu fantastik, tapi nyata

Bank duta rugi rp 780 milyar akibat perdagangan valas. secara operasional kesalahan dilakukan oleh beberapa dealer di bawah pimpinan langsung dicky. tim pelacak dipimpin winarto mengungkap kasus tersebut.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Duta, yang pernah tercatat sebagai bank swasta nasional terkaya, rupa-rupanya "mengidap kanker". Hal ini dikemukakan oleh Winarto Soemarto, pejabat Direktur Utama Bank Duta. Dalam rapat umum pemegang saham luar biasa Kamis pekan lalu terungkap, Bank Duta menderita rugi US$$ 419,6 juta (sekitar Rp 780 milyar). Banyak pakar heran dan bertanya-tanya bagaimana mungkin bank raksasa itu merugi begitu dahsyat. Tapi Winarto Soemarto, yang satu bulan penuh melacak asal-muasal kerugian, sama sekali tidak heran. "Jika ada orang yang meragukan besarnya kerugian itu, saya justru meragukan apakah orang itu memang menguasai perdagangan valas," kata Winarto. Pada bukan Oktober 1989 saja, seperti diungkapkan bekas Wakil Dirut Bank Duta Dicky Iskandar Di Nata di RUPS pekan lalu, Bank Duta sudah rugi sekitar US$ 100 juta. Itu terjadi karena Chief Dealer dan Kepala Urusan Treasury mengambil inisiatif membalik posisi short (jual) menjadi long (beli) dengan jumlah yang secara bertahap mencapai 800 juta dolar dan 350 juta sterling. Rupanya, mereka menduga nilai dolar dan sterling bakal menguat. Dugaan itu meleset. Dalam surat pembelaan dirinya, Dicky sangat menyesalkan tindakan anak buahnya. Soalnya, kurs dolar justru melemah, bahkan amblas drastis hingga 10.000 point. Nah ~ bank untung besar. Tapi nyatanya rugi sampai sekitar US$ 100 juta. Ternyata nahasnya Bank Duta tidak cukup sampai di sini. Pada tahun ini, mereka terus-menerus salah mengambil posisi, hingga kerugian membengkak 4 kali lebih besar. Paul Sutopo, yang kini menjabat Kepala Urusan Devisa di Bank Indonesia, berpendapat bahwa angka kerugian Bank Duta itu bisa saja terjadi. Sebab, akhir-akhir ini, kurs sangat fluktuatif. Dikatakannya, dalam setahun terakhir saja, kurs dolar terhadap yen bisa bergerak sampai 25~0 "Bagi kami yang biasa di perdagangan valas, kerugian itu bukan sesuatu yang fantastik," ujar Paul. Namun, menurut Paul, kerugian sebegitu besar terjadi tentu karena ada kesalahan yang dibiarkan terus berlangsung. Celakanya, Bank Duta tidak segera menutup transaksi ketika kurs dolar tersungkur jatuh. Kata Dicky, itu disebabkan anak buahnya mengaku sulit mendapatkan harga dalam kondisi pasar yang panik. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa ruangan transasksi valas di Bank Duta waktu itu tidak memakai pagar pengaman. Seorang pimpinan treasury dari sebuah bank swasta nasional mengatakan, ada lima patok pengaman dalam long posi~ion. Transaksi bisa ditutup bila kurs turun sampai titik terendah terakhir, atau turun di bawah support, turun di bawah trading range, turun mencapai titik terendah bulan sebelumnya, atau kurs turun mencapai 1,75 sampai 2,0 kali batas gerak pada saat buka posisi. Sebenarnya, menurut Winarto, sistem pengamanan itu ada di Bank Duta, tapi masing-masing pedagang valas ternyata melakukan transaksi yang melampaui batas kewenangan yang telah ditetapkan. "Secara operasional dan fungsional, kerugian US$ 419 juta itu dilakukan oleh beberapa dealer di bawah pimpinan langsung Dicky Iskandar Di Nata," kata Winarto kepada TEMPO. Tak kurang menarik ialah, bahwa tim pelacak yang dipimpin Winarto itu tidak bisa menemukan bukti-bukti bahwa Bank Duta pernah memetik keuntungan dari situ. Masalahnya, "Semua transaksi dilakukan dalam berbagai rekening fiktif dan tidak disertai administrasi yang tertib," kata bankir pilihan ini. Tim pengusut mendapatkan konfirmasi bukti-bukti kerugian justru dari beberapa koresponden Bank Duta di luar negeri. Ternyata kerugian itu terjadi dalam berbagai bentuk perdagangan valas, mulai dari transaksi tunai jual beli valas (spot), swap (pinjaman luar negeri yang ditukar dalam rupiah dengan kurs dijamin bank sentral), dan margin trading. Konon, Bank Duta pernah mencatat laba milyaran rupiah dari jual beli valas tunai, khususnya sewaktu terjadi devaluasi tahun 1983 dan 1986. Tapi, sesudahnya, bank ini rugi dalam permainan margin trading, yakni perdagangan valas dalam volume besar, dengan modal yang disetorkan cuma sekitar 5%-10%. Menurut Winarto, margin trading itu sama dengan judi. Alasannya, pemilik uang hanya bisa pasrah kepada pedagang valas. "Kalau itu dagang, maka selalu harus disertai dokumen," katanya. Sedangkan kontrak yang dibuat Bank Duta hanyalah merupakan perjanjian yang memberi wewenang penuh kepada korensponden di luar negeri. Oleh karena itu, Winarto memutuskan untuk menghapuskan semua kegiatan perdagangan margin trading di Bank Duta. "Bank pemerintah juga tidak melakukan hal itu," ia menegaskan. Direktur Utama Bapindo Subekti Ismaun ikut membenarkan. Namun, kata Subekti, permainan Bank Duta, "Kalau disederhanakan, kasusnya adalah normal game. Bisa untung dan bisa rugi. Cuma menjadi istimewa karena begitu besar dan dilakukan oleh satu orang, kebetulan dananya dari yayasan." Tokoh perbankan Mochtar Ryadi juga melihat margin trading sebagai judi. "Margin ini sangat berbahaya, maka saya tidak izinkan dilakukan di BCA maupun di Lippobank. Margin inilah yang sering bikin celaka," kata Mochtar, yang ditemui Ajie Surya di Yogyakarta. Tapi Panin Bank, yang pernah ditangani Mochtar Ryadi, ternyata sudah lama melakukan margin trading. Konon, pemain di sana belum pernah terus-terusan merugi mungkin karena permainannya sangat ketat. Beberapa bank swasta devisa, seperti Bank Umum Nasional dan Bank Bali, juga melakukan margin trading. Menurut Exsecutive Vice Presiden~ S. Subadi, Bank Bali melakukan transaksi valas spot, swap dan margin. "Tapi, untuk margin, hanya diiayani kecil-kecilan dan tidak akan terlalu digalakkan," katanya. Theo Tumion chief dealer Bank Indonesia tahun 1985-1987, berpendapat bahwa permainan ini sudah waktunya diperhatikan pemerintah, khususnya oleh Bank Indonesia. "Kasus Bank Duta ini mestinya menjadi hikmah agar profesionalisme para dealer dibina. Janganlah karena ini, bank-bank kembali konservatif," kata Theo, yang pernah dikirim BI untuk mempelajari perdagangan valas di 12 bank terkemuka di Eropa. "Paket deregulasi perbankan mestinya membuat bank-bank terdorong menggali dan mengembangkan lebih banyak produ~k perbankan, termasuk margin trading ini" Theo mencetuskan. Bahwa ada yang kolaps, jelas buka karena profesionalisme. Ia berpenda~pat sebaiknya profesionalisme itu dikembangkan dengan mendirikan semacam brokerage resmi, kalau perlu, bank sentral duduk di situ. Hal yang sama telah diutarakan oleh seorang Vice President dari sebuah hank devisa swasta. Dengan demikian, pemain tidak akan lagi hanya pasrah pada Sing~apura. Yang juga penting ialah, untuk mar~gin trading diperlukan dealer yang benar-benar profesional. Lebih penting dari itu tentu saja UU serta aturan mainnya. Dengan demikian, kalau ada nasabah yang ingkar janji, maka ada dasar penyelesaian secara hukum. Lagi pula, bila Singapura bisa mengembangkan diri sebagai salah satu pusat keuangan dunia, mengapa Jakarta tidak? ~~~~~Max Wangkar, Wahyu Muryadi, Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus