BERSALAHKAH Dicky Iskandar Di Nata? Semua pihak, ~termasuk kejaksaan, pengacara, pers, ataupun bankir, pasti akan menjawab belum tentu. Bukankah hukum negara kita menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) ? Asas yang sangat mulia itu mewajibkan semua orang menganggap tersangka tidak bersalah, sampai kesalahan yang bersangkutan dibuktikan -- dengan keputusan hakim yang berkekuatan tetap. Menariknya, sambil menganggap Dicky tetap tak bersalah, kejaksaan toh harus memasukkan bekas wakil direktur utama Bank Duta itu ke sel tahanan. Bersamaan dengan itu pula kejaksaan memanggil saksi-saksi untuk mengukuhkan t~uduhannya bahwa Dicky telah melakukan kejahatan korupsi. Tak hanya itu aparat kejaksaan juga menggeledah dan menyita harta apa saja yang diduga milik Dicky -- atau diduga dibeli Dicky dari hasil korupsi -- tanpa izin ketua pengadilan sama sekali. Bahkan rekening bank Dicky, yang m~erupakan privacy seseorang, berdasarkan izin Menteri Keuangan, termasuk yang diobrak-abrik aparat penyidik itu. Singkatnya, berbagai hak asasi Dicky telah "dikesampingkan" -- kalau bukan dicabut instansi penyidik itu. Masihkah kejaksaan menghormati asas praduga tak bersalah tadi? Bagi pers, inilah perburuan berita yang sangat merangsang. Meledaknya kasus Bank Duta -- bank terpercaya yang selama ini dianggap kukuh dan menduduki peringkat kedua di antara bank swasta -- tentu saja menarik perhatian publik. Apalagi bank beken itu termasuk di deretan bank yang sudah go public. Jarang-jarang ada kasus ataupun skandal yang selama empat pekan bisa tetap menduduki top hit pemberitaan nasional. Beralasan jika puluhan wartawan terpaksa "nongkrong" di gedung bulat Kejaksaan Agung -- walau instansi penyidik itu merasa tugasnya terganggu gara-gara itu. Sementara itu, puluhan wartawan lain, bak detektif, mengumpulkan berbagai informasi tentang Dicky dan Bank Duta. Mereka mendatangi sejumlah orang yang kenal, tahu, bahkan sangat dekat dengan Dicky, untuk "mengorek" segala sesuatunya tentang Dicky. Pemberitaan tentang Dicky dan Bank Duta tak lagi terbatas mengenai korupsi permainan valas -- tuduhan yang ditimpakan padanya. Tapi juga tentang pribadinya, keluarganya, dan juga kesenangan-kesenangannya, misalnya berjudi. Berbagai kemungkinan tentang "permainan" Dicky, kekayaan bankir itu, atau kerugian Bank Duta, bagai tak puas-puasnya dikupas pers. Media massa seakan-akan berlomba untuk memberitakan tersangka itu selengkap dan sejelas mungkin. Adakah dengan demikian, baik kejaksaan maupun pers telah menafikan asas praduga tak bersalah? Padahal, undang-undang dan kode etik jurnalistik menekankan agar semua orang menaati asas tersebut. Jawabannya bisa "ya" bisa pula "tidak". Jawabannya bisa "ya" bila kita menafsirkan praduga tak bersalah itu seakan-akan tersangka pasti benar. Kesalahan penafsiran -- atau penafsiran sempit begitu -- yang menyebabkan banyak media kerepotan sendiri dalam memberitakan berbagai kasus pidana, termasuk kasus Dicky. Ada yang menyingkat nama tersangka dan tak memuat foto tersangka. Tapi ada pula yang menampilkan foto, jabatan, dan bahkan keluarga Dicky, tapi menyebut tersangka dengan inisial DIN. Padahal, di balik asas praduga tak bersalah itu, juga ada asumsi bahwa terdakwa belum tentu benar. Dan yang lebih penting dari itu adalah asas kepentingan umum. Sebab, penghinaan pun bis~a dianggap tidak ada, bila perbuatan itu bisa dibuktikan demi kepentingan umum. Berdasarkan kepentingan umum itu pula misalnya, kejaksaan diperkenankan merampas sebagian hal terdakwa. Lebih menarik lagi, ternyata Undang-Undang Anti Korups~ (UU No. 3/1971) adalah satu-satunya undang-undang kita ya~ng memberi kemungkinan asas praduga tak bersalah itu "disingkirkan". Pada pasal 17 undang-undang itu, hakim dimungkinkan memperkenankan seorang terdakwa korupsi membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah (pembuktian terbalik). Jika itu benar-benar terlaksana di persidangan, berarti seorang terdakwa korupsi sudah dianggap bersalah, kecuali ia bisa membuktikan sebaliknya kendati asas pembuktian terbalik mutlak (seperti Malaysia) tak dianut undang-undang kita, secara fakultatif hukum kita memperkenankannya khusus untuk perkara korupsi. Persoalannya kini, buat apa asas praduga tak bersalah dianut hukum kita -- juga kode etik PWI -- jika semua pelanggaran hak-hak terdakwa itu bisa "dihalalkan"? Bagaimanapun juga, asa~s praduga itu sangat penting, sebagai "rem" dari wewenang penegak hukum atau hak pers dalam memberitakan seorang tersangka walau tersangka itu public figure sekalipun. Berkat asas itu, diharapkan jaksa tak memakai segala cara untuk membuktikan bahwa Dicky bersalah. Karena asas itu pula, ini lebih penting, para hakim diharap belum menyimpulkan kesalahan Dicky -- kendati pemberitaan pers sangat menggebu-gebu sebelum perkara itu diperiksanya. Bagi pers, asas praduga tak bersalah itu menuntut semua wartawan agar tetap bersikap netral, kendati kejaksaan sudah menahan dan memeriksa Dicky. Walaupun Bank Duta secara resmi telah mengumumkan kerugiannya dan memecat Dicky secara tidak hormat, seharusnyalah pers tak serta-merta mencap bahwa Dicky bersalah melakukan pidana korupsi dan menghakiminya. Selayaknyalah pers tetap menganggap Dicky belum tentu bersalah, walau juga belum tentu benar. Kalau toh pelanggaran asas praduga tetap terjadi, dan ternyata Dicky kelak dibebaskan hakim, adalah adil bila pers yang terbukti melanggar -- seperti juga kejaksaan -- berkewajiban merehabilitasikan nama baik bankir muda itu, dan jika perlu membayar ganti rugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini