KETIKA undangan dibagikan untuk turut serta lokakarya
pengembangan disain, banyak yang kurang faham apa artinya. Tapi
ketika Menteri Perdagangan Radius Prawiro dan wakil dari Menteri
Perindustrian M. Yusuf membuka lokakarya itu 25 Juli, pengarahan
sudah sedikit jelas: yang dimaksud adalall disain industri.
Ketua Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPIN) yang punya
hajat dalam lokakarya 5 hari di Hotel Sahid Jaya itu memberi
penjelasan, selubung keraguan lebih terbuka lagi.
Peserta cukup banyak, 150 orang dari berbagai badan dan unsur.
Selain direktorat di bawah dua departemen di atas, ada pula
orang-orang Bappenas Lipi, Riset, LP3ES, ITB, IADI (Ikatan Ahli
Disain Indonesia), ASRI Yogya dan Lembaga Konsumen. Unsur dari
swasta cuma dua yang diajak untuk turut aktif: Iwan Tirta dari
Ramacraft dan Djalal & Farouk Kamal dari Kamal Furniture.
Tampak pula A. Kadir dari perusahaan Kerajinan Ridaka,
Pekalongan. Sementara swasta yang perusahaannya lebih membengkak
dan berasal dari non pribumi (misalnya Batik Keris, dari real
estate dan pengusaha mebel) tak tampak.
Tapi BPEN tah tak melupakan lembaga asing yang tergolong
sebagai tim ahli. Seperti ICSID (Dewan Internasional Perkumpulan
Disain Industri) dan UNIDO (Organisasi Pengembangan Industri
PBB). "Di tahun 2000 nanti," demikian Prof. Carl Aubock dari
UNIDO "negara-negara berkembang paling tidak harus turut
menghasilkan 25% dari jumlah seluruh produksi industri dunia.''
Keadaannya sekarang tak lebih dari 5%.
Prof. Oscar B. Mapua Jr. dari Filipina dalam kertas kerjanya
telah menguraikan bagaimana negaranya membentuk sebuah badan
dalam cakupan disain industri, sementara keadaan antara dua
negara (Filipina dan Indonesia) tak hanyak beda.
Kenji Ekuan dari ICSID bercerita tentang negerinya, Jepang.
"Semula kami sama-sama korban dari perang dunia 11," kata Ekuan,
"dan kami mulai dengan industri dulu, sementara beauty
(maksudnya seni) bisa menunggu." Dunia industri Jepang telah
meluncur jauh ke depan. Sekalipun hingga kini, Jepang tidak
memiliki sebuah badan disain secara menyeluruh dan nasional.
"Yang ada," kata Ekuan, "perkumpulan disain secara grup. Disain
untuk sepeda motor, untuk pecah belah, untuk pengepakan dan
lainnya."
Setumpuk Niat
Meskipun begitu lokakarya merasa perlu berlindung di bawah
payung besar: Dewan Disain Nasional. Dewan itu menurut mereka,
harus segera dibentuk. "Sebab undang-undang tentang disain
industri saja belum dimiliki," kata Ibrahim Idham SH dari
Departemen Perindustrian.
Lokakarya yang membagi sistim pembahasan dalam 8 komisi, banyak
menyuarakan betapa pentingnya pendidikan, penelitian,
penggalakan kesadaran disain dan perlindungan hukum, termasuk
juga kelancaran ekspor. Perlindungan hukum bagi mereka yang
menciptakan disain (biarpun ada dilindungi dalam Auteurswet
1912, tapi tidak sepadan lagi dewasa ini), "serta perlunya
dipertimbangkan masuknya Indonesia dalam Perjanjian Locarno
(1968) tentang klasifikasi internasional untuk disain industri,"
ujar Ibrahim.
Lokakarya ini memang banyak maunya, banyak yang akan dijalankan
dan setumpuk niat yang akan dikonsepsikan. Kesadaran akan disain
memang salah satu cara untuk mencapai kwalitas hidup yang
lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini