Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan pegawai negeri sipil berseragam menggerombol di kantin kantor sementara Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Witana Harja, Pamulang, Selasa pekan lalu. Mereka tampak santai, mengobrol, bercanda sambil menikmati kopi dan aneka jajanan. Semeter dari kantin, puluhan pegawai leyeh-leyeh di teras dan di dalam masjid. Saat itu sudah pukul 10.00 WIB, dua jam dari dimulainya jam kantor.
Bambang—bukan namanya sebenarnya—mengaku sudah setahun ”berkantor” di kantin. Dia mengaku tak punya ruangan, bahkan kursi untuk duduk. ”Kerjaan juga enggak ada,” kata pegawai dinas kebersihan pertamanan dan pemakaman ini. Di area seribu meter persegi kompleks Witana Harja itu, sejumlah kantor dinas bertumpuk, seperti dinas kebersihan, dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dinas tenaga kerja, dan dinas pendidikan.
Kota Tangerang Selatan merupakan hasil pemekaran wilayah Kabupaten Tangerang pada 2008. Sekretaris Daerah Tangerang Selatan Dudung E. Direja mengakui banyak pegawai berkantor di kantin. Penyebabnya, gedung perkantoran belum selesai dibangun. Kantor pusat, misalnya, kata dia, baru akan dibangun pada 2013.
Dengan segala keterbatasan itu, Pemerintah Kota Tangerang Selatan tetap berkukuh merekrut pegawai baru. Dudung menghitung Tangerang Selatan masih membutuhkan pegawai negeri hingga 7.000 orang. Saat ini baru terpenuhi 900 orang. ”Ini sudah sesuai dengan wilayah otonom baru Tangerang Selatan,” Dudung menjelaskan.
Persoalan berbeda dihadapi Kabupaten Garut, yang sudah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pemekaran di wilayah selatan. Calon kabupaten Garut Selatan ini tinggal menunggu persetujuan Kementerian Dalam Negeri. Untuk pemekaran ini, pemerintah daerah harus mengalokasikan dana Rp 47 miliar. Sebesar Rp 17 miliar untuk pemilihan kepala daerah. Sisanya, Rp 30 miliar, untuk membiayai masa transisi dua tahun.
Kabupaten Garut sebagai kabupaten induk juga harus menanggung biaya gaji pegawai. Sebab, pendapatan asli daerah otonomi baru ini belum mencukupi kebutuhannya sendiri. ”Sedikitnya satu sampai tiga tahun ke depan masih jadi beban kabupaten induk,” ujar Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Garut Elka Nurhakimah.
Tak cuma menyiapkan dana, menurut Elka, pemerintah daerah juga harus menyediakan pegawai. Kabupaten pemekaran itu butuh 8.000 pegawai. Adapun yang bisa disediakan baru 4.000 pegawai. ”Kami kewalahan juga menyediakannya,” ujarnya. Problemnya, dia melanjutkan, Kabupaten Garut tidak mendapat jatah perekrutan pegawai baru dari pemerintah pusat.
Jumlah pegawai di Garut mencapai 20.803 orang—yang didominasi guru, sebanyak 14 ribu orang. Elka mengakui jumlah itu terhitung berlebih. Tapi Garut masih kekurangan pegawai dengan kualifikasi teknis, seperti di bidang pertanian, akuntansi, dan bina marga. ”Mereka juga lebih terkonsentrasi di perkotaan,” ujarnya. Selain itu, beban pegawai di anggaran sangat besar, yakni 80 persen dari total anggaran senilai Rp 1,4 triliun.
Pemekaran wilayah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada akhirnya diikuti problem kepegawaian dan anggaran. Saat ini ada 205 daerah otonom hasil pemekaran dengan total pegawai negeri sipil 4,71 juta hingga akhir Mei 2011.
Untuk belanja pegawai ini—termasuk tunjangan pensiunan—pemerintah menganggarkan Rp 180 triliun dari total anggaran pendapatan dan belanja negara tahun ini sebesar Rp 1.229 triliun. Bandingkan dengan bujet untuk pembangunan infrastruktur, pos negara tak lebih dari Rp 68 triliun. Dibanding tahun lalu, belanja pegawai ini bertambah Rp 18 triliun atau naik 30 persen.
Namun, menurut Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional Erry Riyana Hardjapamekas, problem kepegawaian ini tak melulu soal bujet. Soal lain menyangkut kesesuaian jumlah dan kompetensi dengan layanan publik yang dibutuhkan. Nah, persoalan ini, kata Erry, dimulai sejak proses rekrutmen pegawai. Misalnya, kalau mau lulus tes, si calon harus membayar. ”Bisa sampai ratusan juta rupiah duitnya.”
Artinya, kata Erry, seseorang lulus jadi pegawai bukan karena dia mampu, melainkan lantaran dia menyogok. ”Terbayang enggak, baru mau kerja saja sudah korupsi,” kata mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini. ”Ini berbahaya. Nanti, sewaktu kerja, yang di pikirannya cuma korupsi untuk menutup yang ratusan juta tadi,” Erry melanjutkan.
Penuturan Erry bukan isapan jempol. Bambang, yang sudah lima kali ikut tes dan baru lulus tahun lalu, membenarkan perlunya ”duit” agar lulus. ”Itu sih sudah pasti,” katanya. Cerita ini juga dialami Tjiptadi, seorang sopir yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Kalau mau putranya lulus tes di Kementerian Perindustrian, dia harus menyetor minimal Rp 100 juta. ”Uangnya dari mana,” katanya.
Pengangkatan pegawai dari tenaga honorer, menurut Erry, juga serampangan, tidak didasarkan pada kebutuhan, apalagi kemampuan. Pelaksanaan otonomi dan pemekaran daerah, menurut dia, sebetulnya tidak menghilangkan penempatan pegawai dari daerah satu ke daerah lain. Tapi kecenderungan otonomi dan pemekaran daerah ini menekankan prinsip ”utamakan putra daerah”. Tak mengherankan jika penambahan pegawai sangat tinggi.
Erry menerangkan tidak terkendalinya pengelolaan pegawai dan calon pegawai sangat berbahaya tidak hanya dari sisi keuangan, tapi juga efektivitas kerja, yang imbasnya ke pelayanan publik. ”Lihat saja apakah lonjakan jumlah pegawai diikuti meningkatnya pelayanan mereka untuk masyarakat,” katanya.
Kepala Badan Kepegawaian Provinsi Jawa Barat Muhammad Solihin punya pendapat berbeda. Membengkaknya jumlah pegawai negeri, menurut dia, akibat kebijakan pemerintah pusat yang mengharuskan pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri. Ini membebani anggaran daerah, ”Akibatnya di luar prediksi kami,” tutur Solihin.
Di wilayah Provinsi Jawa Barat, dia melanjutkan, pengangkatan tenaga honorer terjadi pada 2005-2009. Karena dijalankannya aturan, kata dia, ada tenaga honorer dengan pendidikan sekolah dasar tetap diangkat meski tanpa kompetensi. ”Alhasil, kami harus menggaji sampai dia pensiun.”
Menteri Keuangan Agus Martowardojo membenarkan penambahan pegawai secara tak sadar dilakukan dengan proses yang sederhana. Padahal penambahan itu tak hanya berdampak pada biaya gaji, tapi juga tunjangan hari tua. Itu sebabnya, Agus mendesak perlunya penghentian sementara penambahan pegawai, dan pensiun dini untuk pegawai yang sudah memasuki usia 50 tahun. ”Jangan sampai kita tidak punya dana untuk membangun infrastruktur,” katanya.
Hal itu sudah bisa dilihat dari profil anggaran daerah. Saat ini, menurut Deputi Sumber Daya Manusia Bidang Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Ramli Naibaho, hanya 52 daerah yang belanja pegawainya kurang dari 30 persen anggarannya. Selebihnya, 76 daerah menggunakan 31-40 persen, 106 daerah 41-50 persen, 145 daerah 51-60 persen, dan sisanya, 145 daerah, menghabiskan 61-76 persen untuk belanja pegawai. ”Untuk yang belanja pegawainya lebih dari 61 persen, tidak ada penambahan pegawai,” ujarnya.
Solihin setuju dengan arahan Menteri Keuangan. Tapi, menurut dia, yang seharusnya dihentikan sementara adalah pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri. Adapun pengangkatan melalui jalur umum atau tes tidak disetop karena cara ini merupakan bagian dari investasi pemerintah daerah. Wali Kota Tangerang H Wahidin Halim juga memastikan tak akan memangkas jumlah pegawai. ”Hal itu bergantung pada pola kepemimpinan daerah,” katanya kepada Ayu Cipta dari Tempo. Tampaknya, rencana Menteri Agus bakal banyak terganjal di daerah.
Anne L. Handayani, Retno Sulistyowati, Juli Hantoro (Bandung), Sigit Zulmunir (Garut), Joniansyah (Tangerang Selatan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo