Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi E.E. Mangindaan terperanjat mendengar usul moratorium penerimaan pegawai negeri sipil. Khawatir akan timbul keresahan, ia mendebat usul Tim Independen Reformasi Birokrasi yang dipimpin Erry Riyana Hardjapamekas itu. Rapat di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin pekan lalu, itu berjalan alot.
Ini pertemuan kedua Tim Reformasi dengan Boediono—ketua komite pengarah. Tim melaporkan perkembangan reformasi birokrasi di lembaga pemerintah, yang mestinya disampaikan pada April lalu. Namun Kementerian PAN, sebagai pelaksana reformasi, malah belum melakukan apa-apa. Makanya, saat itu, rapat ditunda.
Tim Independen merekomendasikan, ”Reform the reformer,” kata Erry Riyana kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Kementerian PAN, Erry menjelaskan, merupakan motor dalam proses reformasi birokrasi. ”Kalau ujung tombaknya belum direformasi, bagaimana dia melaksanakan reformasi?”
Pemerintah memang bercita-cita memperbaiki birokrasi yang semrawut. Beberapa survei yang menakar kualitas pelayanan publik di Indonesia menunjukkan hasil buruk. Transparency International pada 2009 menyebutkan indeks persepsi korupsi negara ini berada di titik yang rendah, yakni 2,8 dari skor terbaik 10.
Pada tahun yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi juga melakukan survei integritas. Hasilnya, kualitas pelayanan publik instansi pusat mendapat skor 6,64 (dari skala 10). Tahun sebelumnya, survei serupa dilakukan di daerah. Skor yang diperoleh tak berbeda jauh, 6,69.
Yang dimaksudkan kualitas pelayanan publik dalam survei itu, misalnya, ada-tidaknya suap, keterbukaan informasi, keadilan, kecepatan pelayanan, dan kemudahan. Usul tim independen jelas: penghentian sementara, alias moratorium, penerimaan pegawai negeri baru.
Hasil kajian memperlihatkan jumlah pegawai pemerintah makin gembrot, dan banyak yang tidak becus menempati posnya. Bila dibiarkan, anggaran negara bisa jebol untuk membayar gaji dan pensiun. Menteri Keuangan Agus Martowardojo sudah mensinyalir, ”Jumlah PNS perlu diwaspadai karena sudah cukup tinggi.”
Menurut Agus, anggaran berpotensi membengkak karena pemerintah mesti menyediakan tunjangan hari tua dan pensiun. Hal ini akan berdampak pada pembiayaan PT Taspen, PT Askes, dan PT Asabri, karena peningkatan yang kurang terencana.
Tahun ini pemerintah mengeluarkan Rp 180,8 triliun, meningkat dari anggaran tahun sebelumnya, Rp 162,7 triliun. Bandingkan dengan belanja infrastruktur yang cuma Rp 67,4 triliun tahun ini.
Karena itu, menurut Erry, moratorium memang diperlukan. Penghentian sementara diusulkan berlaku enam bulan. Selama masa itu, Kementerian PAN diminta melakukan kajian mendasar dan komprehensif atas proposal kepegawaian yang diajukan lembaga negara atau pemerintah daerah.
Kementerian PAN tampak tak sepakat dengan ide moratorium. Menurut Mangindaan, perbandingan jumlah PNS dengan penduduk Indonesia masih moderat, yakni 1,98 persen. Bandingkan, kata Deputi Menteri PAN Bidang Sumber Daya dan Aparatur Ramli Naibaho, dengan Malaysia, yang sudah mencapai 2,7 persen. Bahkan Singapura, kata Ramli, memiliki rasio 3,5 persen. ”Itu karena tuntutan pelayanan masyarakat tinggi.”
Akan halnya konsep pensiun dini, Kementerian PAN belum mengkaji. ”Kami sekarang membahas bagaimana pegawai bisa right function, right sizing,” kata Menteri. Belakangan, Mangindaan melunak. Kepada juru warta di Istana, Kamis pekan lalu, ia mengatakan moratorium akan ditujukan ke daerah yang telah memiliki pegawai berlebih.
Tim reformasi birokrasi juga mengevaluasi kewenangan Kementerian PAN menentukan kuota pegawai baru. Ini salah satu titik kritis dalam reformasi birokrasi. Di kantor inilah semua instansi pemerintah mengajukan usul tentang penambahan, pengurangan, atau perubahan struktur pegawai.
Karena itu, mekanisme penetapan kuota pegawai negeri baru harus akuntabel, jelas parameternya, dan transparan proses seleksinya. Tim Independen telah menerima berbagai pengaduan dari masyarakat mengenai proses seleksi pegawai pemerintah yang penuh ”permainan”.
Ide reformasi birokrasi yang dicetuskan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2007 telah berjalan di Kementerian Keuangan. Kini pemerintah ingin memperluas ke instansi lain. Maka, dibentuklah Tim Independen Reformasi Birokrasi. Juga Tim Penjaminan Kualitas, yang dipimpin Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Mardiasmo. Kedua tim dibentuk pada November tahun lalu.
Dibandingkan dengan instansi pemerintah lain, Kementerian Keuangan memiliki konsep reformasi birokrasi yang lebih matang. Tim reformasi yang melibatkan staf ahli dibentuk sejak zaman Sri Mulyani—dan berlanjut hingga sekarang.
Organisasi dirombak, misalnya peleburan Badan Penanaman Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Tim juga memetakan dan menata ulang pegawai. Sistem teknologi informasi diperkuat untuk membuka layanan online, salah satunya untuk mengurangi tatap muka petugas dengan wajib pajak.
Dampaknya, sekitar 5.000 pegawai Kementerian Keuangan ”menganggur”. Artinya, ”Kalau mereka tidak ada pun, pelayanan publik tetap lancar,” kata sumber Tempo. Dalam konteks itulah tim reformasi Kementerian Keuangan mengusulkan program pensiun dini karyawan yang berusia di atas 50 tahun.
Sri Mulyani belum menanggapi usul itu. Sebab, sumber Tempo menambahkan, saat itu menjelang pelaksanaan Pemilu 2009. ”Isu pensiun dini terlalu sensitif.”
Kini Agus Martowardojo membuka kembali konsep tersebut. Kabarnya, Direktorat Jenderal Perbendaharaan akan menjadi proyek percontohan pensiun dini. Di direktorat ini tercatat lebih dari 1.800 pegawai level pelaksana yang berusia di atas 50 tahun.
Bagi pemerintah, program tersebut bisa menghemat anggaran. Melalui paket pensiun dini, misalnya, anggaran yang diperlukan cuma separuh dari kebutuhan membayar gaji mereka, Rp 500-an miliar, hingga masa pensiun sebenarnya. Sepintas, anggaran akan terbebani karena harus mengeluarkan dana besar di muka. Tapi, pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah bisa bernapas lega.
Kementerian Keuangan, ujar sumber Tempo, akan memberikan pesangon yang nilainya sedikit di atas perusahaan BUMN (untuk pegawai level yang sama). Dirjen Perbendaharaan Agus Suprijanto tak mau berterus terang dalam hal besaran pesangon itu. ”Sedang dihitung Pak Menteri,” katanya.
Prinsipnya, Kementerian Keuangan tidak akan melepas pegawainya begitu saja. Kepada karyawan yang sukarela mengajukan pensiun dini, akan diberikan pelatihan usaha selama dua sampai tiga bulan. Sehingga, bila surat keputusan pensiun terbit, mereka diharapkan sudah siap membuka usaha berbekal uang pesangon.
Erry Riyana mendukung kebijakan ini. ”Itu ide bagus,” katanya. Mangindaan pun berjanji menghitung ulang kebutuhan pegawai. Pensiun dini adalah salah satu alternatif. Solusi lain adalah merumahkan karyawan bila ternyata jumlahnya terlalu banyak.
Retno Sulistyowati, Eko Ari Wibowo
Belanja pegawai pemerintah pusat dari total belanja APBN* | |||
Rp 84 triliun | (12,6%*) | ||
Rp 90,43 triliun | (17,9%*) | ||
Rp 112,83 triliun | (16,2%*) | ||
Rp 127,67 triliun | (20,3%*) | ||
Rp 162,66 triliun | (20,8%*) | ||
Rp 180,82 triliun | (21,61%*) | ||
Jumlah PNS dari tahun ke tahun | |||
2006: | 3.725.231 | ||
2007: | 4.067.201 | ||
2008: | 4.083.360 | ||
2009: | 4.524.205 | ||
2010: | 4.598.100 | ||
2011: | 4.708.330 | ||
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo