Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan wajah pucat pasi, Yohan perlahan turun dari rangkaian Yamaha Racing Coaster di Gedung Trans Studio, Kompleks Bandung Supermall, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Kamis siang pekan lalu. Setelah naik kereta luncur listrik itu, detak jantungnya serasa berhenti. Maklum saja, dalam tiga setengah detik luncuran pertama, pria 30 tahun itu dilontarkan ke ketinggian 50 meter dengan kecepatan 120 kilometer per jam. Seolah tak cukup menyiksa, dari ketinggian tadi kereta lantas melesat mundur dengan kecepatan sama. ”Benar-benar menantang, sangat memicu adrenalin,” ujarnya.
Meski wahana itu mengerikan, ternyata ada juga kaum Hawa yang tertantang menjajalnya. Salah satunya Vani Julia Christine. Dalam sepekan ini, remaja 14 tahun itu sudah dua kali datang dari Jakarta hanya untuk merasakan sensasi maju-mundur kereta supercepat itu. ”Bikin ketagihan,” katanya.
Beroperasi dua pekan lalu, Yamaha Racing Coaster kini menjadi andalan Trans Studio Bandung. Dibanding 20 wahana lainnya, lori berkapasitas 12 penumpang itu paling diminati. Di musim liburan sekolah sekarang ini, sedikitnya 300 pengunjung antre berdesakan mencoba wahana yang diklaim sebagai kereta luncur tercepat di dunia itu.
Trans Studio Bandung, yang dibuka pada 17 Juni lalu, tampaknya bakal menjadi pesaing kuat di industri taman hiburan di Indonesia. Mengusung konsep dalam ruangan (indoor) dan mengadopsi permainan ala Universal Studios Hollywood, arena seluas 4,2 hektare ini merupakan besutan kedua Trans Corp, sekoci usaha konglomerat Chairul Tanjung. Sebelumnya, pada 2008 sarana serupa dibangun di Makassar. Hanya, luas lahan dan modalnya setengah dari investasi Trans Studio Bandung, yang mencapai Rp 2 triliun. ”Selain lebih luas, di Bandung ada tambahan wahana baru,” kata Claudia Inkiriwang, Direktur Trans Studio Bandung, pekan lalu.
Meski mengusung media sebagai lini bisnis utama, Trans Corp tak main-main menggarap taman hiburan. Dalam 10 tahun ke depan, Chairul berencana membuka 20 taman hiburan di daerah lain senilai total Rp 40 triliun. Tak hanya di Indonesia, kabarnya, jebolan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia ini menggandeng pengusaha India membangun Trans Studio di tanah Bollywood. ”Sudah ada delegasi yang menemui saya,” ujar Chairul.
Langkah Grup Trans membuat industri taman hiburan di Indonesia membuat persaingan semakin sengit. Lahan garapan pun semakin sempit. Selain pemain lama, seperti Dunia Fantasi milik PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dan Taman Mini Indonesia Indah, pemain baru terus bermunculan, terutama sejak tiga tahun lalu, ketika para pengembang properti melebarkan usaha.
Sebut saja Bakrieland Development, yang mendirikan The Jungle di Bogor, dan Taman Matahari di Puncak milik Hari Darmawan, bekas pemilik Matahari Department Store. Tak ketinggalan pula pemegang lisensi arena permainan asing, semisal PT Aryan, yang membangun Kidzania, taman hiburan asal Meksiko, di Mal Pacific Place, Jakarta.
Maraknya pemain baru dalam bisnis ini, menurut Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya Sumadi lantaran pertumbuhan konsumennya lumayan asyik, sekitar 20 persen per tahun. Anak-anak dan remaja di beberapa kota berpotensi mendatangkan rezeki, karena perilaku konsumtifnya sangat tinggi. ”Selain itu, bisnis taman hiburan mendatangkan peluang usaha tambahan,” kata dia. Ancol, misalnya, selain bertahan dalam pengelolaan arena hiburan Dunia Fantasi, Sea World, serta taman dan pantai, bisa mengembangkan bisnis sampingan berupa real estate, penginapan, restoran, dan pernak-pernik (merchandise).
Tak mengherankan bila pendapatan taman hiburan lumayan gurih. Tahun lalu Ancol bisa meraup penghasilan Rp 597 miliar dari Taman Impian dan Dunia Fantasi, dengan angka kunjungan 16 juta orang. Angka ini setara dengan 64,8 persen dari pendapatan total perusahaan milik pengusaha Ciputra itu, sebesar Rp 921 miliar. Adapun Trans Studio Bandung, menurut komisaris utamanya, Chairal Tanjung, bisa menjaring omzet Rp 600 miliar pada tahun pertama. ”Tiga juta pengunjung harus terjaring agar dapat omzet sebesar itu,” kata adik kandung Chairul Tanjung ini.
Lantaran pemainnya semakin banyak, para pengelola wahana permainan kini berebut ceruk yang sama. Pertarungan tak terhindarkan, salah satunya dalam inovasi dan investasi. Contohnya tahun ini, pada saat semua taman hiburan menggelar proyek besar. The Jungle, misalnya, tepat pada masa liburan sekolah pekan lalu meluncurkan wahana The Wave, kolam dengan delapan gulungan ombak. ”Targetnya agar ada tambahan pengunjung, dari 1,2 juta tahun lalu menjadi 1,5 juta tahun ini,’’ ujar Direktur Pemasaran The Jungle Joe Eddy Raspati.
Tak mau kalah, pemain lama turun gelanggang dengan modal yang lebih besar. Taman Mini Indonesia Indah siap meluncurkan Discovery World, teater ilmu pengetahuan seluas 2,2 hektare dengan teknologi animasi interaktif tiga dimensi. Untuk membangun wahana senilai US$ 35 juta (sekitar Rp 300 miliar) ini, Badan Pengelola Taman Mini menggandeng mitra PT Discovery World Indonesia. ”Akhir tahun nanti ditargetkan selesai,” kata Mas’ud Thoyib, Manajer Pemasaran dan Budaya Taman Mini.
Adapun Ancol memilih menggunakan dana investasi internal rutin setiap tahunnya. Dengan belanja modal tahunan rata-rata Rp 300 miliar, Ancol meluncurkan lima inovasi baru, yakni teater animatronik Kalila di Dunia Fantasi, Fantastique Multimedia Show di Ocean Ecopark, underwater show, film kartun Dufan Defender, dan proyek infrastruktur Ancol Eco Park tahun ini. ”Investasi wahana baru terus dilakukan, minimal dua tahun sekali,” ujar Budi.
Melihat besarnya kebutuhan modal, hambatan masuk ke industri wahana permainan sebetulnya berat. Terasa atau tidak, dalam jangka waktu tertentu hanya beberapa gelintir yang bertahan. Walhasil, posisi pemain lama sulit tergoyahkan. Lantaran sudah memiliki aset dan modal mapan, Budi optimistis hegemoni pasar tetap dipegang Ancol dan Dunia Fantasi, kendati pesaing baru bermunculan. ”Ibaratnya, jika kami hanya keluar miliaran rupiah untuk investasi baru, pemain lain harus mengimbangi dengan modal triliunan rupiah,” ujarnya sambil tersenyum.
Ujung-ujungnya, investasi itu berpengaruh pada penentuan tarif untuk menikmati permainan. Saat ini saja, hampir semua taman hiburan, baik yang berada di dalam ruangan maupun luar ruangan (outdoor), sekuat tenaga memasang harga pada kisaran Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Tarif sebesar itu sebenarnya tergolong tidak murah. Namun pengelola taman hiburan tetap nombok karena menerapkan subsidi silang. Taman Mini, misalnya. Dengan tiket masuk gerbang Rp 9.000, pengelola harus menutupi beban operasi Rp 41 ribu. ”Kalau mau untung besar, seorang pengunjung harusnya dibebani tiket masuk Rp 50 ribu,” tutur Mas’ud.
Kadang-kadang para pemain industri ini juga lupa dan terlena lantaran sering hanya berkutat menghadapi pesaing sejenis. Padahal, menurut Budi, rival terberat saat ini justru bukan sesama taman hiburan, melainkan arena rekreasi lain yang segmen pasarnya lebih luas dan tak memerlukan tiket, yakni mal dan pertokoan.
Fery Firmansyah, Angga Sukmawijaya (Bandung), Diki Sudrajat (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo