DI Teluk Jakarta 5 kapalnya -- KM Gunung Djati, Tjut Njak Dhien,
Pacific Abeto, Mei Abeto dan Le Havre Abeto -- buang jangkar.
Sudah sejak 3 bulan lalu kelimanya ditongkrongkan di situ. Semua
mesin motornya dimatikan oleh para awaknya sendiri untuk
menghemat biaya dan bahan bakar. Ketika malam turun mereka di
situ bergelap-gelap. Semua sistim penerangan di kapal tidak
dinyalakan, kecuali di haluan dan buritan tampak terpasang lampu
minyak. Kelima kapal itu jelas menunggu nasib untuk dilelang
atau dioperkan. Itulah armada PT Pelayaran Arafat sesudah
beroperasi mengangkut jemaah haji dari Indonesia ke Jeddah p.p.
selama hampir 13 tahun. Orang-orang yang berlayar di dekatnya
dalam bulan Ramadhan ini mungkin teringat pada masa jayanya
dulu, mungkin pula sedih melihatnya.
Arafat oleh pemerintah sudah dinyatakan dalam proses likwidasi.
Rupanya keputusan likwidasi itu sudah sampai ke tingkat final.
Tak bisa ditawar-tawar lagi.
Suasana di kantor pusatnya di Jalan Johar 8, Jakarta, juga kini
tidak hidup. Direksi dan Dewan Perwakilan Para Pemegang Saham
(DP3S) perusahaan itu telah membentuk tim asistensi likwidasi,
terutama menyangkut penyaluran karyawan tapi sampai kini belum
terlaksana. Para karyawan masih datang tapi hanya untuk
bergerombol tanpa kerja. Sedikit saja kendaraan masih diparkir
di halaman gedungnya yang bertingkat tiga itu. Di sinilah
dikeluarkan saham kepada 554.947 jemaah yang diwajibkan menyetor
oleh pemerintah begitu mereka mengisi formulir pendaftaran haji
sejak didirikannya perusahaan ini Desember 1964 sampai Juni
1968.
Tapi bentuk perusahaan ini "memang unik, tidak ada duanya di
dunia," kata Kolonel H. Achmad Parwis Nasution, 53 tahun, Dir-Ut
PT Pelayaran Arafat. "Unik karena PT ini statusnya swasta, tapi
campur tangan pemerintah cukup besar."
Saham itu sudah dijual bahkan beberapa bulan sebelum Arafat
lahir, berdasar instruksi Ketua Dewan Urusan Haji, ketika itu
Menko Kompartimen Kesejahteraan, H.M. Muljadi Djojomartono
(almarhum). Harga sahamnya Rp 50.000 uang lama. Dari penjualan
sahan itu terkumpul modal sekitar Rp 16 milyar.
"Dengan modal sebanyak itu, kami sebenarnya dapat membeli 12
kapal," kata H. Masnir, Direktur Operasi Arafat. Tapi karena
devisa negara amat terbatas dan hanya dikuasai oleh pemerintah,
waktu itu Arafat hanya dibolehkan melakukan kontrak sewa-beli.
Dan uangnya diblokir di Bank Indonesia sebagai jaminan untuk
memperoleh kapal. Segera sesudah didapatnya kapal Belle Abeto
dan Pacific Abeto, keluarlah Penetapan Presiden No. 27 tahun
196 yang menetapkan nilai Rp 1000 uang lama menjadi Rp 1 uang
baru. Penpres itu sekaligus memotong uang PT Arafat yang
diblokir di Bank Indonesia berjumlah k.l. Rp 12,5 milyar uang
lama. Sesudah terpotong, sisa uangnya hanya cukup buat 3 x
angsuran sewa-beli.
Nilai nominal saham PT Arafat yang semula Rp 50.000 uang lama
seharusnya menjadi Rp 50 uang baru. Tapi pimpinan Arafat
kemudian menetapkannya menjadi Rp 500 u.b.
Tanpa fasilitas dan campur tangan pemerintah, pada tahun-tahun
pertama ia seharusnya sudah failit, akibat Penpres 27. Ternyata
pemerintah tetap berniat mempertahankan Arafat dengan masih
tetap melanjutkan Keppres No 112/1964, yang memberi tugas kepada
Arafat untuk "menyelenggarakan pengangkutan para jemaah haji."
Dengan monopoli mengangkut jemaah haji laut ini ia pernah
beruntung Rp 500 juta sampai Juni 1969.
TAPI tahun 1970, pasarannya dipotong oleh pemerintah sendiri.
Yakni dengan munculnya saingan baru angkutan jemaah haji udara
yang dikerjakan oleh Garuda dkk dengan mencarter pesawat asing.
Jemaah haji yang memilih pesawat udara bisa bepergian cepat,
bahkan membayar ongkos lebih murah daripada naik kapal laut.
Jemaah haji laut menjadi kian merosot jumlahnya, dan penghasilan
Arafat menjadi berkurang setiap tahun, hutang-hutangnya pun
semakin menumpuk. Lantas pemerintah menginstruksikan agar PT
Pelayaran Arafat dilikwidasi saja. Perintah likwidasi ini
disampaikan pada DP3S dalam rapatnya bersama Adam Malik, Wakil
Presiden yang juga angota dewan, Juni yang lalu.
Salah satu alasan yang dikemukakan pemerintah, seperti
disampaikan oleh sekretaris Wapres, ketika itu Selo Sumarjan,
"ialah adanya hutang Arafat sejumlah kurang lebih Rp 12 milyar
yang tak mungkin dicicil lagi." Tapi apa yang menjadi sebab
timbulnya hutang demikian besar belum banyak dikemukakan.
Jenderal (Purnawirawan) Dr A.H. Nasution, Ketua DP3S, mengatakan
"kran hidup" untuk Arafat adalah di tangan pemerintah. "Kalau
pemerintah sudah menetapkan Arafat dilikwidasi, DP3S tidak dapat
berbuat apa-apa. Arafat tidak bermaksud untuk tidak membayar
hutangnya, tapi kalau kran hidupnya sudah ditutup apa yang
hendak dipakai untuk membayar lunas? Sedangkan kekayaan Arafat
tidak lebih 20% dari hutangnya."
Yang dimaksudnya dengan sudah ditutupnya "kran hidup" Arafat
ialah keputusan pemerintah tahun ini untuk meniadakan haji laut.
Pemerintah akan menyelenggarakan angkutan haji tahun ini dengan
pesawat udara saja. Maka fasilitas dari pemerintah (Departemen
Agama) berupa jatah penumpang untuk Arafat yang berjalan sejak
1964 habislah sudah. Dan armadanya menjadi tidak bergerak.
Ketua DP3S, ketika diinterpiu TEMPO mengatakan lagi bahwa
seluruh hutang Arafat dewasa ini berjumlah Rp 12,5 milyar.
Dengan perincian kepada Bank Indonesia Rp 2 milyar, Bank Bumi
Daya Rp 6 milyar, perusahaan galangan kapal di luar negeri Rp 4
milyar dan leveransir dalam negeri Rp 0,5 milyar.
Kerugian Arafat mulai 1970 bukan hanya karena disaingi oleh
angkutan udara, melainkan juga karena kebijaksanaan pemerintah
yang berobah dalam menentukan pendapatan bagi Arafat. Yaitu
dasar kalkulasi tarif per jemaah yang dipakai pemerintah telah
tidak menguntungkan lagi. Untuk periode 1970 s/d 1973, misalnya,
Arafat hanya diperkenankan memperhitungkan biaya tetap selama 7
bulan, biaya tidak tetap (variable) selama 5 bulan, dan tidak
boleh memasukkan unsur laba dan kenaikan harga. Berarti, Arafat
diharuskan bekerja dengan dasar pendapatan lebih rendah. Baru
tahun 1974 biaya tetap dapat diperhitungkan 12 bulan. Itupun,
menurut Mayjen POM (Purn) Rushan Rusli, bekas Dir-Ut Pr Arafat,
"tanpa memperhitungkan unsur laba dan kenaikan harga (inflasi)."
Lagi pula, mulai 1970 subsidi haji diberhentikan. Ini
mengakibatkan Ongkos Naik Haji (ONH) tahun 1969/1970 sebesar Rp
182.000, naik dari tahun sebelumnya yang Rp 165.000. Akibatnya
jumlah calon jemaah haji laut yang semula diperkirakan 16.500
orang, hanya 8681 saja yang berangkat. Kejadian ini menurunkan
pendapatan Arafat sebesar Rp 1,1 milyar.
Krisis energi internasional (1973) dan penurunan nilai US dollar
juga menimbulkan kerugian bagi Arafat. Banyak biaya yang dibayar
dengan valuta asing di luar US dollar, padahal pendapatan Arafat
didasarkan atas US dollar. Tidak hanya itu. Juga kenaikan biaya
bunker (bahan bakar mendadak tidak sedikit. Penetapan tiket kapal
laut waktu itu diadakan bulan Maret, sedang pelaksanaannya bulan
Oktober. Antara Maret-Oktober terjadi kenaikan bunker yang membawa
kerugian bagi Arafat US$8 juta.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Maka dalam
situasi keuangan yang tidak menggembirakan ini musibah demi
musibah terjadi atas kapal-kapal Arafat yang umumnya sudah tua
itu. Tampomas yang dicarter Arafat sampai dekat pelabuhan Jeddah
menabrak batu karang, tak dapat membawa pulang jemaah haji.
Kerugian yang ditimbulkan Tampomas ini meliputi Rp 197 juta. Di
tahun 1974 itu juga, Pacific Abeto bertabrakan dengan Sam
Ratulangi dari Djakarta Lloyd di alur pelayaran pelabuhan Tg
Perak, Surabaya. Akibatnya, jemaah haji yang seharusnya diangkut
kembali dari Jeddah oleh Tampomas dan Pacific Abeto terpaksa
diangkut dengan pesawat udara atas biaya Arafat.
Selain itu Belle Abeto pun mengalami kerusakan yang akhirnya
ditarik ke Singapura masuk dok. Tahun 1976, Belle Abeto terbakar
dan tenggelam di Jepang. Kesemuanya ini menimbulkan kerugian
yang tak sedikit.
Dalam keadaan yang sial ini, pemerintah menginstruksikan pula PT
Arafat supaya mengganti mesin induk kapal Gunung Djati (milik
pemerintah), dari uap ke diesel. Mesinnya diganti di Hongkong
yang menelan biaya hampir US$ 4,7 juta. Dengan kata lain, uang
rakyat "disumbangkan" untuk kapal pemerintah. Itulah dasar
kerugian Arafat.
PT Arafat mustinya telah dilikwidasi jauh-jauh hari. Namun
pemerintah masih mencari jalan untuk menyelamatkannya. Mei 1977,
Mayjen POM (Purn) Rushan Rusli diganti oleh Achmad Parwis
Nasution sebagai Dir-Ut. Nasution mengambil serangkaian tindakan
penyehatan dan penyelamatan. Musim haji 1977/1978, di bawah
pimpinan eksekutip yang baru pemerintah memberi pinjaman tanpa
bunga sekitar Rp 1 milyar untuk modal kerja. "Tapi yang
dipergunakan hanya Rp 700 juta. Hutang ini sudah dibayar lunas.
Bahkan hutang lama dapat dicicil Rp 500 juta. Sedang pembayaran
gaji karyawan berjalan lancar sampai bulan puasa ini," kata
Nasution. Di tahun-tahun sebelumnya untuk pembayar gaji Arafat
terpaksa meminjam dulu dari bank.
Direksi mengetatkan pengeluaran perusahaan. Semua pembelian
dilakukan dengan tender. Bahan makanan untuk awak kapal dari 11
macam dipotong menjadi beberapa macam saja. Perbaikan dan
pengecatan kantor dikerjakan sendiri oleh para karyawan dengan
suka hati. "Bahkan ongkos perawatan kesehatan dan rekening
telpon direksi di rumah ditanggung oleh direktur masing-masing,"
kata seorang stafnya.
Tapi adanya pengumuman pemerintah tentang ONH tahun 1978/1979
yang juga memutuskan untuk meniadakan pengangkutan haji laut
membuat orang terkejut. "Kami terkejut dan sangat menyesal,"
kata ketua DP3S, A.H. Nasution, karena "rencana penyelamatan
sudah tersusun." Dir-Ut Nasution, yang ditanyai TEMPO tentang
keputusan. Likwidasi dan penyetopan haji laut berkata: "Sungguh
tidak saya perkirakan akan terjadi."
Kagetnya kedua Nasution ini tidaklah mengherankan. Sesuai dengan
rencana penyelamatan, mereka bukan saja tidak menambah kerugian,
malah berhasil memperkecil hutang. Hingga dalam surat Menteri
Perhubungan 29 April 1977 yang ditujukan kepada DP3S PT Arafat
dinyatakan: "Agar mampu melaksanakan tugas mengangkut jemaah
haji laut dan sebagian haji udara." Tapi nyatanya kemudian jatah
haji udara untuk Arafat karena "pertimbangan-pertimbangan lain
tidak jadi."
Fahmy Chatib, tokoh Muhammadiyah mengatakan itu menunjukkan
tidak adanya konsistensi pembinaan terhadap Arafat. "Semustinya
kalau Arafat sudah rugi di laut hendaklah diberikan kesempatan
untuk menyelenggarakan haji udara." Bagi tokoh Muhammadiyah ini,
likwidasi PT itu terasa amat dalam, karena menyangkut lenyapnya
eksistensi usaha ummat Islam untuk bisa menyelenggarakan
angkutan hajinya sendiri.
Mu'tamar Muhammadiyah yang langsung di Surabaya baru-baru ini
menerima kenyataan likwidasi PT itu dengan penuh keprihatinan.
Karena Mu'tamar menyerukan kepada perintah untuk mencari jalan
keluar bagi kelangsungan cita-cita ummat Islam. Namun Mu'tamar
sendiri tidak secara tegas meminta pemerintah supaya
mengalihkan usaha Arafat menjadi angkutan haji udara dengan
membeli atau carter pesawat seperti dilakukan oleh Garuda,
Merpati Nusantara atau Mandala Airlines.
Para haji yang merasa memiliki saham Arafat umumnya menyerahkan
saja nasib saham mereka kepada pemimpin-pemimpin yang duduk
dalam Dewan Pengawas maupun Dewan Perwakilan Para Pemegang
Saham PT Arafat. "Biar bapak-bapak itu saja yang
menyelesaikannya," ujar H. Masduki, petani tambak asal Surabaya
yang naik haji sebanyak 6 kali. Tapi ada pula yang tidak tahu
kalau ia mempunyai saham di Arafat seperti H. Ismail, tetangga
Masduki. Bahkan kata saham itu sendiri tidak dimengertinya.
H. Arif Kamal Pulungan, pensiunan Deppen, naik haji dengan
pesawat udara. "Namun saya sedih Arafat dilikwidir" katanya.
"Bintang di langit pun salah, ombak di lautan yang
menanggungkan. Salahnya, terlampau cepat diambil keputusan
likwidasi tanpa meneliti sematang-matangnya. Meski rugi,
penguasa hendaknya dapat mempertimbangkan lagi untuk
menghidupkannya kembali."
Menurut Pulungan, Arafat ini hanya diperlakukan seperti candi
Borodur. Oleh pemerintah Borobudur diusahakan dipugar kembali
dengan mencari dana sampai ke luar negeri. Pakistan, Mesir,
katanya, sampai kini masih memiliki kapal haji. "Masak, karena
rugi tidak bisa jalan terus."
Tidak hanya itu. Bepergian naik dengan kapal laut sekaligus
merupakan persiapan mental jemaah. Ibadahnya konon lebih nikmat.
Makanya sekalipun ONH laut lebih mahal ketimbang ONH udara,
masih banyak jemaah yang ingin naik kapal laut. Tahun terdaftar
calon jemaah haji laut orang, tapi karena tempat tidak cukup
cuma 6500 bisa diangkut. Dalam hubungan ini Arafat, April lalu
menyelenggarakan angket. Sebanyak 357 surat dikirimkannya kepada
para pejabat urusan haji, para ulama dan pemuka masyarakat di
seluruh Indonesia. Hasilnya: Dari 167 lembar suara yang masuk,
114 memilih kapal pesawat udara. Mereka yang kapal laut punya
alasan perjalanan dilakukan dengan santai dan sekaligus dapat
mempererat rasa persaudaraan antar jemaah yang berasal dari
berbagai daerah. Dapat lebih lama tinggal di Tanah suci,
sehingga dapat melaksanakan ibadah haji yang wajib dan yang
sunnat dengan khidmat. Waktu cukup. Pokoknya lebih afdhol.
Oleh-oleh dapat dibawa dengan leluasa, meskipun pulang-pergi
makan waktu 70 hari (lihat Suka Duka). Bagi yang memilih
pesawat udara, alasannya karena ingin cepat, pulang pergi cuma
memerlukan 35 hari. ONH lebih ringan. Misalnya, ONH udara tahun
lalu Rp 816.000, lebih murah Rp189.000 dari ONH laut (lihat
Makin Beruntunglah Maskapai Penerbangan).
Menteri Agama H. Alamsyah dalam interpiu TEMPO, menjelaskan
kenapa ada penyetopan haji laut tahun ini. "Maksudnya
betul-betul 100% tehnis-ekonomi. Tidak ada segi politiknya sama
sekali," katanya. "Malah sebelum keputusan likwidasi Arafat
diumumkan, saya setujui ONH haji laut dinaikkan dan ONH udara
diturunkan. Ini dimaksudkan agar Arafat dapat bergerak."
Tapi untuk beroperasinya armada, ia memerlukan 2 pos yang berada
di luar wewenang Departemen Agama. Pertama, Arafat memerlukan
injeksi 100 juta sebagai modal kerja. Karena untuk mencicil
hutang pada kapal di luar negeri, perlu disediakan sebanyak Rp
1200 juta.
Bank Indonesia atau Departemen Perdagangan masih dapat
memberikan pintas demikian kata Menteri. "Tapi kalau hutang
harus dibayar pula, pemerintah bisa terlambat mengumumkan
syarat.
Pertimabngan terakhir inilah barangkali yang berat oleh
pemerintah. Kapal Arafat pergi ke Mekah melalui Colombo.
Dikhawatirkan rupanya, kalau hutang tidak dibayar, kapal Arafat
akan ditahan lagi di Colombo seperti pernah terjadi
tahun-tahun sebelumnya. Kalau penahanan kapal haji Indonesia
berulang kembali, jemaah Indonesia bisa terlantar, biaya
bertambah dan Indonesia bisa dituduh tidak bertanggung jawab
terhadap jemaah hajinya. Akibat politiknya pun jauh.
Menurut Menteri, sebenarnya pemerintah telah berusaha untuk
mencarter kapal dari luar negeri. Pernah dijajaki kapal
Elizabeth kepunyaan Inggeris yang sedang berada di Karibia, dan
satu kapal Perancis yang dapat memuat 5000 penumpang. Namun
setelah dihitung, jika Elizabeth dicarter, ONH laut akan jatuh
sekitar Rp 2 juta per jemaah. Ini terlalu mahal. Maka "untuk
tahun ini saya minta maaf dulu," kata Menteri Alamsyah.
"Pemerintah tidak menutup kemungkinan menyelenggarakan haji laut
tahun depan."
Tapi apakah Arafat yang akan mengangkut? "Tidak" kata Menteri.
Seandainya Arafat tidak dilikwidasi dan ia diberi dana, menurut
perhitungan pemerintah, ONH laut akan naik dari Rp 905.000
menjadi Rp 955.000. Sedang ONH udara yang tadinya Rp 816.000
akan berkurang Rp 50.000 tahun ini. Dengan demikian akan terjadi
perbedaan yang sangat menyolok.
Sementara itu, Dirjen Urusan Haji, H. Burhani Tjokrohandoko
mengatakan bahwa turunnya ONH udara tahun ini antara lain
disebabkan tidak adanya haji laut tahun ini. Penurunan ONH itu
selama masih memungkinkan akan terus diusahakan pemerintah.
Tapi jelas tanpa Arafat untuk seterusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini