Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sampai Disini Saja, Arafat

PT pelayaran Arafat, sesudah beroperasi mengangkut jemaah haji di Indonesia selama 13 thn dinyatakan dalam proses likwidasi, karena hutang yang makin menumpuk. (eb)

26 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Teluk Jakarta 5 kapalnya -- KM Gunung Djati, Tjut Njak Dhien, Pacific Abeto, Mei Abeto dan Le Havre Abeto -- buang jangkar. Sudah sejak 3 bulan lalu kelimanya ditongkrongkan di situ. Semua mesin motornya dimatikan oleh para awaknya sendiri untuk menghemat biaya dan bahan bakar. Ketika malam turun mereka di situ bergelap-gelap. Semua sistim penerangan di kapal tidak dinyalakan, kecuali di haluan dan buritan tampak terpasang lampu minyak. Kelima kapal itu jelas menunggu nasib untuk dilelang atau dioperkan. Itulah armada PT Pelayaran Arafat sesudah beroperasi mengangkut jemaah haji dari Indonesia ke Jeddah p.p. selama hampir 13 tahun. Orang-orang yang berlayar di dekatnya dalam bulan Ramadhan ini mungkin teringat pada masa jayanya dulu, mungkin pula sedih melihatnya. Arafat oleh pemerintah sudah dinyatakan dalam proses likwidasi. Rupanya keputusan likwidasi itu sudah sampai ke tingkat final. Tak bisa ditawar-tawar lagi. Suasana di kantor pusatnya di Jalan Johar 8, Jakarta, juga kini tidak hidup. Direksi dan Dewan Perwakilan Para Pemegang Saham (DP3S) perusahaan itu telah membentuk tim asistensi likwidasi, terutama menyangkut penyaluran karyawan tapi sampai kini belum terlaksana. Para karyawan masih datang tapi hanya untuk bergerombol tanpa kerja. Sedikit saja kendaraan masih diparkir di halaman gedungnya yang bertingkat tiga itu. Di sinilah dikeluarkan saham kepada 554.947 jemaah yang diwajibkan menyetor oleh pemerintah begitu mereka mengisi formulir pendaftaran haji sejak didirikannya perusahaan ini Desember 1964 sampai Juni 1968. Tapi bentuk perusahaan ini "memang unik, tidak ada duanya di dunia," kata Kolonel H. Achmad Parwis Nasution, 53 tahun, Dir-Ut PT Pelayaran Arafat. "Unik karena PT ini statusnya swasta, tapi campur tangan pemerintah cukup besar." Saham itu sudah dijual bahkan beberapa bulan sebelum Arafat lahir, berdasar instruksi Ketua Dewan Urusan Haji, ketika itu Menko Kompartimen Kesejahteraan, H.M. Muljadi Djojomartono (almarhum). Harga sahamnya Rp 50.000 uang lama. Dari penjualan sahan itu terkumpul modal sekitar Rp 16 milyar. "Dengan modal sebanyak itu, kami sebenarnya dapat membeli 12 kapal," kata H. Masnir, Direktur Operasi Arafat. Tapi karena devisa negara amat terbatas dan hanya dikuasai oleh pemerintah, waktu itu Arafat hanya dibolehkan melakukan kontrak sewa-beli. Dan uangnya diblokir di Bank Indonesia sebagai jaminan untuk memperoleh kapal. Segera sesudah didapatnya kapal Belle Abeto dan Pacific Abeto, keluarlah Penetapan Presiden No. 27 tahun 196 yang menetapkan nilai Rp 1000 uang lama menjadi Rp 1 uang baru. Penpres itu sekaligus memotong uang PT Arafat yang diblokir di Bank Indonesia berjumlah k.l. Rp 12,5 milyar uang lama. Sesudah terpotong, sisa uangnya hanya cukup buat 3 x angsuran sewa-beli. Nilai nominal saham PT Arafat yang semula Rp 50.000 uang lama seharusnya menjadi Rp 50 uang baru. Tapi pimpinan Arafat kemudian menetapkannya menjadi Rp 500 u.b. Tanpa fasilitas dan campur tangan pemerintah, pada tahun-tahun pertama ia seharusnya sudah failit, akibat Penpres 27. Ternyata pemerintah tetap berniat mempertahankan Arafat dengan masih tetap melanjutkan Keppres No 112/1964, yang memberi tugas kepada Arafat untuk "menyelenggarakan pengangkutan para jemaah haji." Dengan monopoli mengangkut jemaah haji laut ini ia pernah beruntung Rp 500 juta sampai Juni 1969. TAPI tahun 1970, pasarannya dipotong oleh pemerintah sendiri. Yakni dengan munculnya saingan baru angkutan jemaah haji udara yang dikerjakan oleh Garuda dkk dengan mencarter pesawat asing. Jemaah haji yang memilih pesawat udara bisa bepergian cepat, bahkan membayar ongkos lebih murah daripada naik kapal laut. Jemaah haji laut menjadi kian merosot jumlahnya, dan penghasilan Arafat menjadi berkurang setiap tahun, hutang-hutangnya pun semakin menumpuk. Lantas pemerintah menginstruksikan agar PT Pelayaran Arafat dilikwidasi saja. Perintah likwidasi ini disampaikan pada DP3S dalam rapatnya bersama Adam Malik, Wakil Presiden yang juga angota dewan, Juni yang lalu. Salah satu alasan yang dikemukakan pemerintah, seperti disampaikan oleh sekretaris Wapres, ketika itu Selo Sumarjan, "ialah adanya hutang Arafat sejumlah kurang lebih Rp 12 milyar yang tak mungkin dicicil lagi." Tapi apa yang menjadi sebab timbulnya hutang demikian besar belum banyak dikemukakan. Jenderal (Purnawirawan) Dr A.H. Nasution, Ketua DP3S, mengatakan "kran hidup" untuk Arafat adalah di tangan pemerintah. "Kalau pemerintah sudah menetapkan Arafat dilikwidasi, DP3S tidak dapat berbuat apa-apa. Arafat tidak bermaksud untuk tidak membayar hutangnya, tapi kalau kran hidupnya sudah ditutup apa yang hendak dipakai untuk membayar lunas? Sedangkan kekayaan Arafat tidak lebih 20% dari hutangnya." Yang dimaksudnya dengan sudah ditutupnya "kran hidup" Arafat ialah keputusan pemerintah tahun ini untuk meniadakan haji laut. Pemerintah akan menyelenggarakan angkutan haji tahun ini dengan pesawat udara saja. Maka fasilitas dari pemerintah (Departemen Agama) berupa jatah penumpang untuk Arafat yang berjalan sejak 1964 habislah sudah. Dan armadanya menjadi tidak bergerak. Ketua DP3S, ketika diinterpiu TEMPO mengatakan lagi bahwa seluruh hutang Arafat dewasa ini berjumlah Rp 12,5 milyar. Dengan perincian kepada Bank Indonesia Rp 2 milyar, Bank Bumi Daya Rp 6 milyar, perusahaan galangan kapal di luar negeri Rp 4 milyar dan leveransir dalam negeri Rp 0,5 milyar. Kerugian Arafat mulai 1970 bukan hanya karena disaingi oleh angkutan udara, melainkan juga karena kebijaksanaan pemerintah yang berobah dalam menentukan pendapatan bagi Arafat. Yaitu dasar kalkulasi tarif per jemaah yang dipakai pemerintah telah tidak menguntungkan lagi. Untuk periode 1970 s/d 1973, misalnya, Arafat hanya diperkenankan memperhitungkan biaya tetap selama 7 bulan, biaya tidak tetap (variable) selama 5 bulan, dan tidak boleh memasukkan unsur laba dan kenaikan harga. Berarti, Arafat diharuskan bekerja dengan dasar pendapatan lebih rendah. Baru tahun 1974 biaya tetap dapat diperhitungkan 12 bulan. Itupun, menurut Mayjen POM (Purn) Rushan Rusli, bekas Dir-Ut Pr Arafat, "tanpa memperhitungkan unsur laba dan kenaikan harga (inflasi)." Lagi pula, mulai 1970 subsidi haji diberhentikan. Ini mengakibatkan Ongkos Naik Haji (ONH) tahun 1969/1970 sebesar Rp 182.000, naik dari tahun sebelumnya yang Rp 165.000. Akibatnya jumlah calon jemaah haji laut yang semula diperkirakan 16.500 orang, hanya 8681 saja yang berangkat. Kejadian ini menurunkan pendapatan Arafat sebesar Rp 1,1 milyar. Krisis energi internasional (1973) dan penurunan nilai US dollar juga menimbulkan kerugian bagi Arafat. Banyak biaya yang dibayar dengan valuta asing di luar US dollar, padahal pendapatan Arafat didasarkan atas US dollar. Tidak hanya itu. Juga kenaikan biaya bunker (bahan bakar mendadak tidak sedikit. Penetapan tiket kapal laut waktu itu diadakan bulan Maret, sedang pelaksanaannya bulan Oktober. Antara Maret-Oktober terjadi kenaikan bunker yang membawa kerugian bagi Arafat US$8 juta. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Maka dalam situasi keuangan yang tidak menggembirakan ini musibah demi musibah terjadi atas kapal-kapal Arafat yang umumnya sudah tua itu. Tampomas yang dicarter Arafat sampai dekat pelabuhan Jeddah menabrak batu karang, tak dapat membawa pulang jemaah haji. Kerugian yang ditimbulkan Tampomas ini meliputi Rp 197 juta. Di tahun 1974 itu juga, Pacific Abeto bertabrakan dengan Sam Ratulangi dari Djakarta Lloyd di alur pelayaran pelabuhan Tg Perak, Surabaya. Akibatnya, jemaah haji yang seharusnya diangkut kembali dari Jeddah oleh Tampomas dan Pacific Abeto terpaksa diangkut dengan pesawat udara atas biaya Arafat. Selain itu Belle Abeto pun mengalami kerusakan yang akhirnya ditarik ke Singapura masuk dok. Tahun 1976, Belle Abeto terbakar dan tenggelam di Jepang. Kesemuanya ini menimbulkan kerugian yang tak sedikit. Dalam keadaan yang sial ini, pemerintah menginstruksikan pula PT Arafat supaya mengganti mesin induk kapal Gunung Djati (milik pemerintah), dari uap ke diesel. Mesinnya diganti di Hongkong yang menelan biaya hampir US$ 4,7 juta. Dengan kata lain, uang rakyat "disumbangkan" untuk kapal pemerintah. Itulah dasar kerugian Arafat. PT Arafat mustinya telah dilikwidasi jauh-jauh hari. Namun pemerintah masih mencari jalan untuk menyelamatkannya. Mei 1977, Mayjen POM (Purn) Rushan Rusli diganti oleh Achmad Parwis Nasution sebagai Dir-Ut. Nasution mengambil serangkaian tindakan penyehatan dan penyelamatan. Musim haji 1977/1978, di bawah pimpinan eksekutip yang baru pemerintah memberi pinjaman tanpa bunga sekitar Rp 1 milyar untuk modal kerja. "Tapi yang dipergunakan hanya Rp 700 juta. Hutang ini sudah dibayar lunas. Bahkan hutang lama dapat dicicil Rp 500 juta. Sedang pembayaran gaji karyawan berjalan lancar sampai bulan puasa ini," kata Nasution. Di tahun-tahun sebelumnya untuk pembayar gaji Arafat terpaksa meminjam dulu dari bank. Direksi mengetatkan pengeluaran perusahaan. Semua pembelian dilakukan dengan tender. Bahan makanan untuk awak kapal dari 11 macam dipotong menjadi beberapa macam saja. Perbaikan dan pengecatan kantor dikerjakan sendiri oleh para karyawan dengan suka hati. "Bahkan ongkos perawatan kesehatan dan rekening telpon direksi di rumah ditanggung oleh direktur masing-masing," kata seorang stafnya. Tapi adanya pengumuman pemerintah tentang ONH tahun 1978/1979 yang juga memutuskan untuk meniadakan pengangkutan haji laut membuat orang terkejut. "Kami terkejut dan sangat menyesal," kata ketua DP3S, A.H. Nasution, karena "rencana penyelamatan sudah tersusun." Dir-Ut Nasution, yang ditanyai TEMPO tentang keputusan. Likwidasi dan penyetopan haji laut berkata: "Sungguh tidak saya perkirakan akan terjadi." Kagetnya kedua Nasution ini tidaklah mengherankan. Sesuai dengan rencana penyelamatan, mereka bukan saja tidak menambah kerugian, malah berhasil memperkecil hutang. Hingga dalam surat Menteri Perhubungan 29 April 1977 yang ditujukan kepada DP3S PT Arafat dinyatakan: "Agar mampu melaksanakan tugas mengangkut jemaah haji laut dan sebagian haji udara." Tapi nyatanya kemudian jatah haji udara untuk Arafat karena "pertimbangan-pertimbangan lain tidak jadi." Fahmy Chatib, tokoh Muhammadiyah mengatakan itu menunjukkan tidak adanya konsistensi pembinaan terhadap Arafat. "Semustinya kalau Arafat sudah rugi di laut hendaklah diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan haji udara." Bagi tokoh Muhammadiyah ini, likwidasi PT itu terasa amat dalam, karena menyangkut lenyapnya eksistensi usaha ummat Islam untuk bisa menyelenggarakan angkutan hajinya sendiri. Mu'tamar Muhammadiyah yang langsung di Surabaya baru-baru ini menerima kenyataan likwidasi PT itu dengan penuh keprihatinan. Karena Mu'tamar menyerukan kepada perintah untuk mencari jalan keluar bagi kelangsungan cita-cita ummat Islam. Namun Mu'tamar sendiri tidak secara tegas meminta pemerintah supaya mengalihkan usaha Arafat menjadi angkutan haji udara dengan membeli atau carter pesawat seperti dilakukan oleh Garuda, Merpati Nusantara atau Mandala Airlines. Para haji yang merasa memiliki saham Arafat umumnya menyerahkan saja nasib saham mereka kepada pemimpin-pemimpin yang duduk dalam Dewan Pengawas maupun Dewan Perwakilan Para Pemegang Saham PT Arafat. "Biar bapak-bapak itu saja yang menyelesaikannya," ujar H. Masduki, petani tambak asal Surabaya yang naik haji sebanyak 6 kali. Tapi ada pula yang tidak tahu kalau ia mempunyai saham di Arafat seperti H. Ismail, tetangga Masduki. Bahkan kata saham itu sendiri tidak dimengertinya. H. Arif Kamal Pulungan, pensiunan Deppen, naik haji dengan pesawat udara. "Namun saya sedih Arafat dilikwidir" katanya. "Bintang di langit pun salah, ombak di lautan yang menanggungkan. Salahnya, terlampau cepat diambil keputusan likwidasi tanpa meneliti sematang-matangnya. Meski rugi, penguasa hendaknya dapat mempertimbangkan lagi untuk menghidupkannya kembali." Menurut Pulungan, Arafat ini hanya diperlakukan seperti candi Borodur. Oleh pemerintah Borobudur diusahakan dipugar kembali dengan mencari dana sampai ke luar negeri. Pakistan, Mesir, katanya, sampai kini masih memiliki kapal haji. "Masak, karena rugi tidak bisa jalan terus." Tidak hanya itu. Bepergian naik dengan kapal laut sekaligus merupakan persiapan mental jemaah. Ibadahnya konon lebih nikmat. Makanya sekalipun ONH laut lebih mahal ketimbang ONH udara, masih banyak jemaah yang ingin naik kapal laut. Tahun terdaftar calon jemaah haji laut orang, tapi karena tempat tidak cukup cuma 6500 bisa diangkut. Dalam hubungan ini Arafat, April lalu menyelenggarakan angket. Sebanyak 357 surat dikirimkannya kepada para pejabat urusan haji, para ulama dan pemuka masyarakat di seluruh Indonesia. Hasilnya: Dari 167 lembar suara yang masuk, 114 memilih kapal pesawat udara. Mereka yang kapal laut punya alasan perjalanan dilakukan dengan santai dan sekaligus dapat mempererat rasa persaudaraan antar jemaah yang berasal dari berbagai daerah. Dapat lebih lama tinggal di Tanah suci, sehingga dapat melaksanakan ibadah haji yang wajib dan yang sunnat dengan khidmat. Waktu cukup. Pokoknya lebih afdhol. Oleh-oleh dapat dibawa dengan leluasa, meskipun pulang-pergi makan waktu 70 hari (lihat Suka Duka). Bagi yang memilih pesawat udara, alasannya karena ingin cepat, pulang pergi cuma memerlukan 35 hari. ONH lebih ringan. Misalnya, ONH udara tahun lalu Rp 816.000, lebih murah Rp189.000 dari ONH laut (lihat Makin Beruntunglah Maskapai Penerbangan). Menteri Agama H. Alamsyah dalam interpiu TEMPO, menjelaskan kenapa ada penyetopan haji laut tahun ini. "Maksudnya betul-betul 100% tehnis-ekonomi. Tidak ada segi politiknya sama sekali," katanya. "Malah sebelum keputusan likwidasi Arafat diumumkan, saya setujui ONH haji laut dinaikkan dan ONH udara diturunkan. Ini dimaksudkan agar Arafat dapat bergerak." Tapi untuk beroperasinya armada, ia memerlukan 2 pos yang berada di luar wewenang Departemen Agama. Pertama, Arafat memerlukan injeksi 100 juta sebagai modal kerja. Karena untuk mencicil hutang pada kapal di luar negeri, perlu disediakan sebanyak Rp 1200 juta. Bank Indonesia atau Departemen Perdagangan masih dapat memberikan pintas demikian kata Menteri. "Tapi kalau hutang harus dibayar pula, pemerintah bisa terlambat mengumumkan syarat. Pertimabngan terakhir inilah barangkali yang berat oleh pemerintah. Kapal Arafat pergi ke Mekah melalui Colombo. Dikhawatirkan rupanya, kalau hutang tidak dibayar, kapal Arafat akan ditahan lagi di Colombo seperti pernah terjadi tahun-tahun sebelumnya. Kalau penahanan kapal haji Indonesia berulang kembali, jemaah Indonesia bisa terlantar, biaya bertambah dan Indonesia bisa dituduh tidak bertanggung jawab terhadap jemaah hajinya. Akibat politiknya pun jauh. Menurut Menteri, sebenarnya pemerintah telah berusaha untuk mencarter kapal dari luar negeri. Pernah dijajaki kapal Elizabeth kepunyaan Inggeris yang sedang berada di Karibia, dan satu kapal Perancis yang dapat memuat 5000 penumpang. Namun setelah dihitung, jika Elizabeth dicarter, ONH laut akan jatuh sekitar Rp 2 juta per jemaah. Ini terlalu mahal. Maka "untuk tahun ini saya minta maaf dulu," kata Menteri Alamsyah. "Pemerintah tidak menutup kemungkinan menyelenggarakan haji laut tahun depan." Tapi apakah Arafat yang akan mengangkut? "Tidak" kata Menteri. Seandainya Arafat tidak dilikwidasi dan ia diberi dana, menurut perhitungan pemerintah, ONH laut akan naik dari Rp 905.000 menjadi Rp 955.000. Sedang ONH udara yang tadinya Rp 816.000 akan berkurang Rp 50.000 tahun ini. Dengan demikian akan terjadi perbedaan yang sangat menyolok. Sementara itu, Dirjen Urusan Haji, H. Burhani Tjokrohandoko mengatakan bahwa turunnya ONH udara tahun ini antara lain disebabkan tidak adanya haji laut tahun ini. Penurunan ONH itu selama masih memungkinkan akan terus diusahakan pemerintah. Tapi jelas tanpa Arafat untuk seterusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus