Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saling Lempar Siapa Inisiator Kenaikan Tarif PPN 12 Persen

Pembahasan kenaikan PPN dalam penyusunan UU HPP berliku. Pemerintah membutuhkan cara cepat mendongkrak penerimaan pajak.

12 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia berunjuk rasa menolak kenaikan pajak pertambahan nilai di Istana Negara, Jakarta, 27 Desember 2024. Tempo/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PPN 12 persen diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

  • Pembahasan UU HPP diwarnai perdebatan soal kenaikan tarif PPN.

  • Pemerintah dan DPR sepakat mendongkrak PPN secara bertahap.

WAKIL Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic Palit, langsung membuat pembelaan setelah partainya disindir oleh Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya sebagai otak kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melalui pesan tertulis pada Senin, 23 Desember 2024, Dolfie mengatakan, meski dia adalah Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP, pengusul omnibus law perpajakan itu adalah Presiden Joko Widodo yang disampaikan kepada DPR pada 5 Mei 2021. “Semua fraksi setuju membahas usul inisiatif pemerintah itu," katanya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dolfie membela diri dan partainya setelah Wihadi Wiyanto, anggota komisi dari Fraksi Gerindra yang antara lain membidangi keuangan itu, mengatakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 adalah buah pemberlakuan UU HPP yang terbit pada 21 Oktober 2021.

Sementara inisiator undang-undang tersebut, Wihadi mengatakan, adalah PDIP dan ketua panitia kerja pembahas omnibus law perpajakan itu adalah anggota Fraksi PDIP. "Kalau sekarang PDIP meminta ini (kenaikan PPN 12 persen) ditunda, ini suatu hal yang menyudutkan pemerintahan Prabowo," ucap Wihadi. 

Wakil Ketua Umum Gerindra Rahayu Saraswati juga heran dengan PDIP yang kini menolak pungutan PPN 12 persen. Gerindra rupanya sewot gara-gara anggota DPR dari Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengusulkan penundaan kenaikan PPN dalam rapat paripurna pada 5 Desember 2024. Padahal PDIP, menurut mereka, tak bisa lepas tangan karena ketika itu pemerintah yang berkuasa adalah kader PDIP. Demikian pula pemimpin Dewan yang membahas aturan tersebut.

Ketika sampai ke meja parlemen pada 2021, Rancangan UU HPP awalnya bernama Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Draf aturan ini antara lain berisi perubahan sejumlah ketentuan dalam penarikan pajak. Sejumlah fraksi kemudian mengusulkan perubahan nama aturan tersebut serta memodifikasinya menjadi omnibus law karena isinya merevisi sejumlah undang-undang.  

Fraksi Partai Golkar, misalnya, mengusulkan namanya diubah menjadi RUU Perpajakan atau RUU Kodifikasi Undang-Undang Perpajakan. Selain itu, apabila RUU KUP dimaksudkan sebagai produk kebijakan fiskal untuk mengatasi pandemi Covid-19, tajuknya diusulkan menjadi RUU Ketentuan Perpajakan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional. 

Partai lain punya usul berbeda. Fraksi Gerindra mengusulkan nama RUU Reformasi Perpajakan. Partai NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera menyorongkan nama RUU Perpajakan. Adapun Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa berpendapat tajuk aturan ini seharusnya RUU Harmonisasi Perpajakan. Sedangkan PDIP mengusulkan dua nama: RUU Konsolidasi Perpajakan dan RUU Harmonisasi Perpajakan.

Alasan PDIP sama dengan partai-partai lain, yaitu aturan ini akan menjadi omnibus law atau aturan induk yang berisi banyak undang-undang. Tidak hanya mengubah undang-undang pajak, omnibus law ini juga akan berisi aturan tentang penerimaan lain, seperti bea dan cukai. “Karena sifat RUU ini omnibus, diusulkan perubahan nama UU agar mencerminkan maksud, tujuan, dan isi, dari UU KUP menjadi UU Konsolidasi Perpajakan/UU Harmonisasi Perpajakan,” demikian pernyataan Fraksi PDIP dalam dokumen Daftar Inventarisasi Masalah RUU KUP.

Aktivitas Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga, 8 Maret 2024. Tempo/Tony Hartawan

Yustinus Prastowo, mantan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi, mengatakan UU HPP dirancang sebagai fondasi reformasi perpajakan nasional. Tidak hanya mengusung kenaikan tarif PPN, undang-undang tersebut juga menetapkan skema lain, seperti lapis pajak penghasilan tertinggi hingga 35 persen bagi orang-orang superkaya, fasilitas bebas pajak bagi usaha kecil dengan omzet tertinggi Rp 500 juta setahun, integrasi nomor induk kependudukan menjadi nomor pokok wajib pajak, dan pengaturan pajak karbon. “Kenaikan tarif PPN hanya salah satu skema untuk optimalisasi penerimaan pajak dengan konsep gotong-royong,” ujarnya pada Jumat, 10 Januari 2025. 

Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU HPP menyebutkan sejumlah undang-undang yang diubah melalui aturan itu, antara lain Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-Undang Pengampunan Pajak, serta Undang-Undang Cukai. Pajak karbon menjadi poin ketentuan baru dalam Undang-Undang HPP.

Namun yang belakangan memantik perdebatan adalah soal kenaikan PPN. Dokumen DIM itu memuat sejumlah alasan pemerintah mengusulkan perubahan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen. Salah satunya mengerek angka penerimaan pajak yang ketika itu sedang kempis. Di masa pandemi Covid-19, hampir semua aktivitas ekonomi berhenti dan penerimaan pajak seret. 

Karena itu, pemerintah membutuhkan jurus kilat untuk menambah pendapatan agar tak cekak. Di mata pemerintah, kenaikan PPN bisa menjadi cara cepat karena dibebankan langsung kepada konsumen dalam setiap transaksi dan dipungut oleh pengusaha.

Potensi PPN juga menggiurkan karena dalam beberapa tahun terakhir sebanyak 38 persen penerimaan pajak negara berasal dari belasting jenis ini. Berdasarkan hitungan pemerintah, jika aturan PPN 12 persen diterapkan mulai 2025, akan ada tambahan pendapatan pajak Rp 75 triliun. 

Pembenaran lain untuk mengerek PPN adalah tarif 10 persen yang berlaku di Indonesia, menurut Kementerian Keuangan, rendah dibanding di negara lain. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam beberapa kesempatan menyatakan tarif PPN di Indonesia masih di bawah tarif rata-rata di dunia yang telah mencapai 15 persen.

Tolok pembanding lain adalah tarif rata-rata negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mencapai 20 persen pada 2022 dan standar tarif PPN Uni Eropa yang sebesar 21 persen. 

Pertimbangan pemerintah itu memicu respons anggota DPR, seperti terekam dalam DIM RUU HPP. Fraksi Golkar, misalnya, mengatakan perbandingan dengan negara Eropa dan anggota OECD tak relevan karena mereka tergolong negara maju, bukan negara berkembang seperti Indonesia.

Menurut Fraksi Golkar, Indonesia semestinya membandingkan tarif PPN di Indonesia dengan di negara-negara lain di Asia Tenggara yang yang tak jauh berbeda. Singapura, sebagai negara paling maju di kawasan ini, memungut PPN 7-8 persen. Sedangkan Thailand mematok 10 persen, yang diturunkan menjadi 7 persen di masa pandemi. Hanya Filipina yang memasang tarif 12 persen. 
 
Karena itu, Golkar mengusulkan tarif PPN 10 persen. Menurut partai berlambang pohon beringin itu, "Kenaikan tarif PPN juga akan menaikkan tingkat inflasi, mengingat pemikul beban PPN adalah konsumen akhir, yaitu masyarakat umum." Alasan serupa mengemuka dari Fraksi PKS yang menyatakan PPN adalah pajak konsumsi sehingga kenaikannya akan menurunkan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi. 

PKS juga menyatakan ada potensi pengusaha menghindari status sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dengan memecah usahanya demi menekan PPN. Menurut aturan, PKP dengan omzet lebih dari Rp 4,8 miliar setahun wajib memungut PPN dari konsumen. “Akan makin banyak pengusaha yang bersembunyi di bawah batas tersebut,” demikian pernyataan Fraksi PKS. 
 
Yang berpendapat lain adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, yang mengusulkan kenaikan PPN 1 persen dari 10 persen menjadi 11 persen. “Pertimbangan dampak ekonomi ke inflasi akibat naiknya tarif PPN,” begitu pendapat fraksi tersebut seperti tercatat dalam DIM RUU HPP.

Adapun PDIP tidak menolak ataupun menerima usul kenaikan PPN menjadi 12 persen. Mereka hanya meminta penjelasan pemerintah. “Mohon penjelasan mengenai kenaikan tarif PPN dari 10 menjadi 12 persen dan dampaknya terhadap daya beli masyarakat,” demikian pernyataan PDIP. 

Toh, akhirnya pemerintah dan DPR bersepakat bahwa tarif PPN akan dinaikkan secara bertahap dari 11 persen pada 1 April 2022 hingga menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Yustinus Prastowo, yang ikut dalam pembahasan Undang-Undang HPP, mengatakan aturan ini sebetulnya menyediakan jalan keluar jika pemerintah ingin menerapkan tarif PPN lain.

Ketentuan tersebut ada di Pasal 7 ayat 3 dan 4 UU HPP yang menyatakan pemerintah bisa menerapkan tarif PPN terendah 5 persen dan tertinggi 15 persen. Tarif itu diterapkan melalui peraturan pemerintah setelah disampaikan kepada parlemen dan disepakati dalam penyusunan rancangan APBN.

Tapi peluang itu telah lewat dan pemerintah memilih bermanuver menjelang tutup tahun 2024. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Jurus Kilat Anticekak

Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus