Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penerimaan pajak tahun 2024 tak mencapai target.
PPN menjadi jenis pajak yang tumbuh paling tinggi.
Pemerintah merencanakan dua strategi mengerek penerimaan pajak.
TIDAK seperti pada tahun-tahun sebelumnya, penerimaan pajak pada 2024 meleset dari target. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, dari target Rp 1.988,9 triliun, pajak yang terkumpul hingga 31 Desember 2024 sebesar Rp 1.932,4 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada selisih Rp 56,5 triliun. Penyebabnya, “Moderasi harga komoditas dan gejolak ekonomi global,” kata Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu dalam paparan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 pada Senin, 6 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari semua jenis pajak, setoran pajak penghasilan badan atau PPh badan mengalami penurunan tertinggi seiring dengan anjloknya kinerja perusahaan pertambangan serta pengolahan sawit. Realisasi penerimaan PPh badan pada 2024 sebesar Rp 335,8 triliun, turun 18,1 persen dibanding pada 2023 dan jauh di bawah target APBN 2024 yang dipatok Rp 428,59 triliun.
Kondisi berbeda terjadi pada pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Dua jenis pajak ini menyumbang penerimaan negara Rp 828,5 triliun, naik 8,6 persen dibanding pada 2023.
Realisasinya juga melampaui target Rp 811,365 triliun yang ditetapkan untuk PPN dalam negeri, PPN impor, PPnBM dalam negeri, PPnBM impor, serta PPN dan PPnBM lain. Menurut Anggito, PPN bertumbuh karena kenaikan tingkat konsumsi makanan dan tembakau.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu di Jakarta, 8 November 2024. Tempo/Tony Hartawan
Tahun ini, pemerintah membidik target tinggi untuk PPN. Dalam rincian APBN 2025, target setoran PPN dalam negeri dan impor mencapai Rp 917,79 triliun atau melonjak 75 persen dari target pada 2024. Jika angka itu tercapai, PPN bakal menjadi salah satu penopang pencapaian target penerimaan pajak 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun, naik 11,73 persen dari realisasi penerimaan pajak 2024.
Persoalannya, upaya ini bakal tersendat setelah Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pembatalan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen untuk semua jenis transaksi. PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah yang selama ini menjadi obyek PPnBM.
Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memperkirakan ada potensi penerimaan Rp 75 triliun jika pemerintah memungut PPN 12 persen untuk semua transaksi. Tapi, jika PPN 12 persen hanya berlaku pada barang mewah, potensi penerimaan tambahan hanya Rp 1,5-3,5 triliun.
Menurut Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, akan ada upaya memperluas pungutan pajak demi menambah potensi penerimaan. Yang pertama adalah mengintensifkan pemungutan pajak atau memperketat dan meningkatkan upaya penagihan kepada wajib pajak yang sudah ada, termasuk dengan memastikan mereka melunasi pajak terutang. Kedua, mengekstensifikasi atau mencari sumber pungutan pajak baru. Tapi Suryo tak merinci sumber penerimaan baru yang sedang ia rancang.
Persoalan dalam pencapaian penerimaan pajak sebelumnya menjadi topik diskusi Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Mengutip temuan studi Bank Dunia, Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu mengatakan ada selisih antara potensi dan penerimaan pajak yang dipungut pemerintah atau tax gap sekitar Rp 1.500 triliun atau 6,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika dirinci, selisih tersebut berasal dari persoalan dalam aspek kepatuhan wajib pajak sebesar 3,7 persen dari PDB serta masalah kebijakan sebesar 2,7 persen dari PDB.
Berangkat dari data tersebut, Mari mengingatkan pentingnya sikap pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, termasuk dengan memberantas penghindaran pajak, sembari memperbaiki aspek administrasinya lewat program digitalisasi. Menurut dia, mitigasi penghindaran pajak dan peningkatan kepatuhan semestinya menjadi prioritas sebelum menaikkan tarif. “Percuma kita menaikkan pajak kalau kepatuhan wajib pajak tidak terjadi,” tuturnya.
Anggota DEN, Chatib Basri, mengatakan kenaikan tarif pajak bisa berdampak pada penerimaan, tapi tidak signifikan apabila dibandingkan dengan peningkatan kepatuhan wajib pajak. Menurut mantan Menteri Keuangan itu, kepatuhan wajib pajak bisa ditingkatkan sejalan dengan penerapan sistem pajak inti atau core tax system.
Sistem anyar itu ia nilai bisa membuat administrasi pajak makin efisien. Apalagi jika core tax system dikombinasikan dengan sistem digital lain untuk memperketat pengawasan dan perluasan basis pajak. “Digitalisasi bisa menjadi pilar utama untuk meningkatkan penerimaan,” ucap Chatib.
Upaya ini menjadi penting mengingat pajak bakal menjadi sumber dana utama untuk mendanai program pemerintah. Sebab, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menjelaskan, pemerintah akan sulit mengandalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) karena sangat bergantung pada pengelolaan dan perdagangan sumber daya alam. Apalagi intensifikasi PNBP juga berarti memicu eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Peluang lain meningkatkan penerimaan dapat diambil melalui pengenaan pajak baru. Dua lembaga riset ekonomi, Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyatakan ada beberapa sumber pajak baru yang bisa dijajaki pemerintah. Salah satunya pajak karbon.
Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Indef Rizal Taufikurahman mengatakan pemungutan pajak karbon menjadi opsi yang paling mungkin diterapkan dalam jangka pendek karena telah memiliki landasan hukum kuat dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kebijakan ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia mencapai emisi nol bersih atau net zero emission pada 2060.
Rizal memperkirakan pajak karbon bisa menyumbang penerimaan negara Rp 58 triliun per tahun jika dikenakan pada pembangkit listrik tenaga uap batu bara, sektor transportasi, juga industri. Namun dia mengingatkan, pemungutan pajak karbon harus dilakukan secara bertahap agar tidak memicu guncangan ekonomi.
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menuturkan, pajak baru yang juga bisa dipertimbangkan untuk dikenakan adalah pajak batu bara dan pajak orang superkaya. Celios memperkirakan pajak karbon bisa menyumbang penerimaan Rp 69,75 triliun per tahun.
Sedangkan pajak produksi batu bara bisa menambah penerimaan hingga Rp 48 triliun, sementara pajak orang superkaya memberikan Rp 81,56 triliun. “Pajak karbon dan batu bara bisa saja diterapkan dalam jangka pendek, tapi perlu ada kemauan politik,” ujarnya.
Pendiri Danny Darussalam Tax Center, Darussalam, mengatakan, dalam kondisi seperti ini, pemerintah perlu menjalankan reformasi perpajakan agar bisa menggenjot penerimaan. Menurut dia, selama ini ada lima jenis kebocoran pajak, yaitu kegiatan ekonomi yang tidak tercatat, dampak kompetisi pajak, pengelakan pajak, praktik base erosion and profit shifting, serta pajak tidak dilaporkan dan tidak dibayarkan.
Tanpa penguatan penerimaan pajak, Indonesia pada akhirnya harus berutang dalam pembiayaan anggaran. “Sekarang kita intinya pajak atau utang,” katanya. ●
Ghoida Rahmah dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Menambah Pajak atau Utang