Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT selama empat jam di kantor Pertamina Energy Trading Limited (Petral) berujung buntu. Tak ada kesepakatan yang dicapai oleh Petral dan Sonangol dalam pertemuan yang berlangsung di gedung Ngee Ann City Tower, Orchard Road, Singapura, Rabu tiga pekan lalu, itu.
Sekitar pukul tiga sore waktu Singapura, risalah rapat langsung dikirim ke kantor pusat Pertamina di Jakarta. Isi risalah rapat yang dimulai sejak pukul 10 pagi itu sangat rinci, tapi mengarah pada satu kesimpulan. Kerja sama impor minyak dengan perusahaan minyak dari Angola mustahil dilanjutkan. "Karena Sonangol tidak bisa memberikan harga diskon sesuai dengan janji," kata Chairman Petral Chrisna Damayanto melalui sambungan telepon kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Chrisna mengaku tidak datang dalam pertemuan di Singapura itu. Menurut dia, rapat tersebut hanya dihadiri beberapa orang. Dari Petral diwakili Direktur Utama Bambang Irianto dan wakilnya. Sisanya adalah orang-orang China Sonangol, anak perusahaan Sonangol EP yang ditunjuk untuk menjembatani transaksi tersebut.
Dalam pertemuan itu, kata dia, Petral berkeras tak mau meneken berkas. Sebab, instruksi dari Pertamina cukup jelas, tidak ada tanda tangan jika tidak ada potongan harga. Sonangol juga enggan melanjutkan bisnis jika tidak dengan harga pasar. Tak kunjung mencapai kata sepakat, rapat dibubarkan.
Chrisna menyatakan dia meneruskan notulen rapat yang diterimanya ke Pelaksana Tugas Direktur Utama Pertamina, yang saat itu dijabat Muhammad Husen. Ia menyampaikan rencana bisnis itu tidak bisa diteruskan karena efisiensi yang dijanjikan Sonangol hanya omong kosong. "Mungkin karena gagal melanjutkan proyek itu, saya dipecat," ujar Chrisna, yang sebelumnya menjabat direktur pengolahan di Pertamina.
Perjanjian kerja sama impor minyak dengan Sonangol diteken langsung oleh Pertamina dan Sonangol EP pada 31 Oktober lalu. Meski masih berupa kerangka secara umum, perjanjian itu menyepakati adanya kerja sama kedua pemerintahan untuk mendapatkan hasil maksimal dari sektor gas dan minyak bumi. Terutama dari sisi hilir, yang rencananya akan dimulai dengan transaksi impor minyak dan proyek pembangunan kilang.
Dalam perjanjian yang kopi dokumennya diperoleh Tempo itu, kedua perusahaan minyak negara tersebut wajib membentuk gugus kerja dan usaha patungan atau joint venture untuk merealisasi proyek-proyek kerja sama. Sayangnya, meski gugus kerja telah terbentuk dan rapat digelar berkali-kali, hingga saat ini pembentukan joint venture masih mandek.
Alih-alih membentuk joint venture sesuai dengan amanat perjanjian, Pertamina justru menggandeng Petral untuk menindaklanjuti kerja sama dengan Sonangol. Inilah yang membuat Sonangol kecewa. "Ini transaksi langsung, kalau lewat Petral harus pakai mekanisme pasar," kata Rerie L. Moerdijat, Deputy Chairman Media Group, yang terlibat aktif dalam menjembatani Sonangol dan Pertamina dalam transaksi ini.
Petral adalah anak usaha Pertamina yang bergerak di sektor perdagangan minyak. Sebagai trading arms, segala transaksi yang dilakukan harus menggunakan mekanisme aturan pasar yang berlaku secara global.
Apabila impor minyak dari Sonangol harus melalui Petral, harga minyak di pasar akan berantakan. Sesungguhnya harga yang diberikan oleh Sonangol untuk Indonesia jauh lebih rendah daripada harga minyak rata-rata, tapi berpotensi melawan mekanisme pasar. "Karena itu, kalau lewat Petral, diskon sulit diberikan," kata Rerie.
Seorang eksekutif perusahaan yang terlibat dalam proses negosiasi Sonangol dan Pertamina mengungkapkan upaya mengganjal transaksi ini sudah tercium sejak awal. Ini terlihat dari ketidaknyamanan pihak Pertamina saat rapat-rapat digelar di Jakarta untuk menindaklanjuti perjanjian.
Sebenarnya ada tiga poin kerja sama yang dibahas, yakni di sektor hulu untuk eksplorasi luar negeri, pembangunan kilang, dan impor minyak. Namun, kata dia, Pertamina banyak beralasan soal sulitnya kerja sama di sektor hulu dan pembangunan kilang.
Pertamina mengajukan berbagai alasan. Pertamina, misalnya, beralasan akan berfokus pada eksplorasi di laut dalam dan tidak berminat berinvestasi di luar negeri, juga soal alasan klise mengenai pembangunan kilang. Padahal, untuk kedua proyek itu, Angola sudah jelas-jelas menyatakan siap menyediakan konsesi serta dana yang dibutuhkan. Tapi Pertamina tetap menolak tawaran tersebut. "Oke, akhirnya pemerintah menekankan dicoba-coba dengan impor dulu," katanya. "Karena kita harus do something untuk penghematan negara."
Pertamina sepakat. Dalam rapat itu, Sonangol menyebutkan mampu memberikan potongan harga hingga US$ 15 di bawah harga minyak dunia untuk Indonesia. Dengan angka diskon itu, hitungan penghematan pun dilakukan oleh Pertamina.
Malah, kata eksekutif tadi, angka dan hitungan penghematan dibawa sendiri oleh Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina saat itu, yaitu Hanung Budya, yang sejak awal diberi tugas oleh Presiden Joko Widodo menindaklanjuti kerja sama ini. "Dari dia timbul potensi angka penghematan Rp 15 triliun per tahun, lalu disampaikan ke pemerintah," katanya.
Angka penghematan itu diberikan oleh Hanung dalam enam lembar kertas dengan judul sampul "Alternatif Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Minyak" berlogo Pertamina dan keterangan waktu Oktober 2014. Hal ini dibenarkan oleh seorang petinggi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. "Mereka yang dulu memberikan angka, kok sekarang mereka yang membantah?" katanya.
Petinggi Kementerian Energi itu mengatakan pemerintah sebenarnya sudah heran ketika Pertamina menyatakan melibatkan Petral dalam transaksi ini. Padahal impor minyak dari Sonangol bisa langsung ke Pertamina, sesuai dengan pola government to government. Artinya, tidak perlu melibatkan Petral, yang merupakan perusahaan trading.
Gelagat Pertamina untuk mengganjal transaksi impor ini pun semakin menjadi ketika pemerintah menerima surat hasil rapat tim kerja Pertamina dan Sonangol di Jakarta pada 10 dan 11 November lalu. Pertamina menyatakan pihak Angola belum bersedia memberikan diskon sesuai dengan yang dijanjikan, dan perlu diadakan pertemuan lanjutan di Singapura.
Tim Sonangol menggelar rapat dengan Petral di Singapura. Menurut pejabat tadi, dalam pertemuan itu Petral meminta Sonangol merevisi hitungan penghematan yang telah tersebar luas tersebut. Mereka meminta Sonangol menyatakan ada kekeliruan dalam hitungan sebelumnya dan membuat surat ketidaksanggupan memberi harga diskon.
Namun Sonangol menolak. Perusahaan minyak asal Angola itu berkeras memberikan harga pasar jika Pertamina tetap berkukuh menggunakan Petral untuk transaksi ini. "Kalau hitungan dibilang salah dan begini caranya, wajar jika direksi lama Pertamina dipangkas habis. Mereka memang punya niat untuk menjerumuskan," katanya.
Head of Finance, Risk, and General Affairs Petral Simson Panjaitan membantah hal tersebut. Dia enggan mengomentari soal keterlibatan perusahaannya dalam urusan impor minyak dari Sonangol. "Tidak tahu, pembahasannya masih jalan," katanya.
Chrisna juga membantah bahwa hitungan penghematan Rp 15 triliun per tahun adalah hitungan dari Pertamina. "Tidak ada, kami tidak pernah memberikan itu. Kami saja baru tahu dari pemerintah," katanya.
Impor minyak dengan mekanisme langsung sebenarnya bukan kali ini saja dijalin oleh Indonesia. Menurut Suroso Atmomartoyo, mantan Direktur Pengolahan Pertamina, Pertamina juga sudah mengimpor minyak langsung dari Saudi Aramco beberapa tahun lalu. Jumlahnya ratusan ribu barel per hari. "Dan itu bisa tanpa Petral. Seharusnya yang ini juga bisa. Tidak tahu kalau prosedur sekarang," katanya.
Vice President Communication Pertamina Ali Mundakir menyatakan keterlibatan Petral sudah sesuai dengan prosedur. Dia menyangkal tudingan keterlibatan Petral untuk menggagalkan transaksi tersebut. Petral terlibat dengan maksud khusus. "Petral bagian dari Pertamina, pasti terlibat."
Adapun soal kelanjutan kerja sama dengan Sonangol hingga saat ini masih dibicarakan di kalangan internal manajemen Pertamina. Yang pasti sampai sekarang hasil kajian Pertamina belum pernah menyimpulkan adanya penghematan dari impor itu. "Yang bilang hemat kan pemerintah," katanya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menegaskan, impor minyak langsung ke produsen seperti Sonangol ini sangat penting untuk mengamankan pasokan minyak nasional. "Supaya kita tidak bergantung pada pemasok tertentu yang selama ini memonopoli," katanya.
Dia berharap tidak ada pihak yang berupaya mengganjal transaksi ini. Sebab, jika gagal, hanya akan mengukuhkan peran pemain minyak lama yang dikuasai segelintir orang. "Tidak ada diversifikasi dan terus bergantung pada kontrak-kontrak spot pasar yang harganya mudah dipermainkan oleh pemburu rente," katanya.
Gustidha Budiartie, Ayu Primasandi (Jakarta), Addhi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo