Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sang dokter kaget

Spesialis penyakit dalam di banjarmasin, dr. ch. sukarsa talkanda, menutup praktek gara-gara pajak pendapatannya naik 2.000 %. penagihan disertai ancaman penyitaan barang. (eb)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CH. Sukarsa Talkanda, satu-satunya dokter ahli penyakit dalam di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mendadak menutup prakteknya, pertengahan Oktober. Alasannya, karena Kantor Inspeksi Pajak, Kal-Sel di Banjarmasin menetapkan pajak rampung dr Talkanda untuk tahun 1978 sebesar Rp 6 juta. Naik 2000% dibandingkan dengan pajak rampungnya pada 1977 yang berjumlah Rp 300.000. Rupanya taksiran petugas pajak yang main 'ternbak' itu tak dapat diterima Talkanda. Lima tahun lalu, Dirjen Pajak Sutadi Sukarya, sudah memperingatkan para petugas pajak agar jangan main 'tembak begitu dalam menentukan pajak pendapatan (PPd). Dan yang menjadi sasaran petugas pajak jangan hanya itu-itu saja. Namun kenyataannya, anak buah Dirjen Pajak di Banjarmasin masih belum sepenuhnya mempraktekkan anjuran lama Dirjennya. Bahkan cukup menjengkelkan dr. Talkanda. Di samping penetapan pajak rampungnya naik sekali, penagihannya pun disertai ancaman penyitaan barang-barangnya dan apabila tidak dibayar dalam tempo 2 x 24 jam dapat disandera. Tentu saja itu bikin kaget sang dokter. Tapi setelah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kal-Sel turun tangan, antara lain adana pernyataan bersama antara IDI Kal-Sel dengan Inspeksi Pajak setempat, kasus Talkanda itu dianggap selesai. Tapi apa reaksi Ditjen Pajak? Itu "baru kami ketahui dari koran, sehingga belum diketahui duduk perkara sebenarnya," ujar drs. B. Budiono, Ka Humas Ditjen Pajak, pekan lalu. Menurut dia, "surat paksa dan ancaman penyanderaan terhadap wajib pajak (WP) diatur dalam Undang-Undang No. 19 tahun 1959." Dan penyanderaan terhadap WP tidaklah sama dengan penyanderaan yang dilakukan oleh para pembajak, misalnya. Selama dalam tahanan WP yang kena sandera itu makanannya ditanggung oleh Inspeksi Pajak. Sebegitu jauh, "istilah sandera jarang kita pergunakan, apalagi dipraktekkan," lanjut B. Budiono. Sebabnya, sebelum sampai seseorang itu disandera, banyak prosedur yang harus ditempuh. Jadi tak segampang apa yang tertera dalam undang-undang pajak warisan Belanda itu. Menurut Budiono, "sampai saat ini hubungan Ditjen Pajak dengan IDI Jaya dan Jawa Timur baik." Ini dibenarkan dr Kartono Mohamad, Ketua IDI Jaya. Beberapa orang dokter anggota IDI Jaya juga pernah mendapat surat paksa. "Tapi berkat kerjasama yang baik dengan Inspeksi Pajak, semua berjalan lancar," kata Kartono. Bahkan, dokter yang membayar pajak pendapatannya lewat IDI Jaya, dijamin tidak akan diganggu oleh petugas pajak dalam menjalankan prakteknya. Jika jumlah Menghitung Pajak Sendiri (MPS) oleh Inspeksi Pajak dianggap tidak wajar, koreksinya dilakukan oleh IDI. Dan IDI Jaya pula yang menyetorkan pajak para anggotanya ke Kas Negara. Pada 1976 pajak pendapatan yang disetor IDI Jaya baru Rp 99,5 juta. Tahun lalu meningkat sedikit menjadi sekitar Rp 118 juta. Tapi itu baru meliputi 500 anggota IDI dari 2.000 dokter di Jakarta. Dan jumlah pajak pendapatan tertinggi baru sampai Rp 2 juta. Tidak ada yang mencapai Rp 6 juta, seperti disodorkan kepada dr. Talkanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus