Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jangan main puntung

Beberapa pabrik rokok puntung di cirebon akan segera ditutup oleh pemda, karena faktor kesehatan. pemasarannya ternyata sudah sampai ke lampung. para buruh belum mendapat usaha lain.(eb)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pabrikan rokok puntung di Kabupaten Cirebon naga-naganya akan kehilangan mata pencaharian. Setelah menimbang-nimbang, terutama faktor kesehatan, Pemda setempat melarang mereka melanjutkan usahanya. Larangan itu sendiri sebenarnya mulai berlaku awal Nopember ini. Tapi "masih diberi kesempatan kepada mereka sampai akhir tahun," kata Kasubdit Perekonomian Andi Suryamiharja. Maksudnya, memberi kesempatan untuk beralih ke bidang usaha lain. Masa yang tinggal dua bulan itu masih dimanfaatkan untuk menggiling rokok. Tapi buat selusin pabrik pengolah puntung yang berpusat di Desa Astana Langgar, Kecamatan Losari itu, tak mudah rupanya menemukan usaha lain. Juga bagi Dullah, 45 tahun, pemilik rokok kretek cap Gontor dan Kucing. Pernah berdagang beras, tapi gagal, atas anjuran anaknya, Dullah mulai usaha rokok puntung itu pada 1971 dengan modal cuma ~Rp 3.000. Dan sukses. Di desa itu memang tak terdengar suara mesin, seperti lazimnya pabrik rokok kretek. Cukup dengan bilik 4 x 5 mÿFD, beberapa alat menggiling rokok, tembakau puntung dan sejumlah buruh wanita yang dibayar murah, siapa saja bisa memulai usaha rokok puntung itu. Tentu saja masih diperlukan kertas tembakau dan kertas kaca untuk pembungkus. Alhasil, yang paling penting adalah harga tembakau bekas yang amat murah itu. Para pengumpul puntung itu juga memisahkan cengkeh bekas dari tembakaunya, sebelum menjualnya ke pabrik-pabrik rokok itu. Kalau harga tembakau di pasaran kini mencapai Rp 8.000, tembakau bekas itu cuma Rp 1.400 per kg. Sedang cengkehnya, yang di pasaran sudah Rp 14.000, bisa diperoleh Rp 6.000 per kg. Untuk membuat rasanya mirip kretek asli, setelah dijemur adonan tembakau dan cengkeh itu dibubuhi saos. Dari setiap kg tembakau bekas, diperoleh 2 ons cengkeh bekas. Begitulah, merek Balapan Tiga, Rantai Terbang, Granat, Lampu, SD, Piala dan beberapa lainnya, umumnya dijual eceran di bawah Rp 75 sebungkus, berisi 10 batang. Kemasannya rapi dan menarik. Ada yang mirip cap Jarum dan Gudang Garam. Mereka tak luput dari kewajiban membayar pita cukai, rata-rata 15% dari harga bandrol yang Rp 7,50 sampai Rp 10 sebungkus. Pabrik seperti punya Dullah membeli 15.000 pita cukai setahun, seharga Rp 112.000. Sedang Siauw Kee, 30 tahun, pengusaha pabrik rokok kretek puntung satu-satunya di Desa Losari Kidul, tetangga Desa Astana itu, membayar lebih dari Dullah. Setiap pabrik di sana mampu menggulung 10 bal atau 20.000 batang rokok sehari. Dari kombinasi tembakau dan cengkeh bekas, setelah melalui proses sortasi dan penjemuran, diperoleh 600 batang. Dibandingkan pabrik rokok kretek asli seperti cap Sriti di Kediri, yang menghasilkan 40.000 batang sehari apa yang dicapai para juragan puntung itu lumayan. Apalagi biaya produksinya rendah. Setiap buruh umumnya menggulung 3.000 batang sehari dengan upah Rp 150 seorang untuk setiap 1.000 batang. Di Kudus, selain digeledah setiap kali mau pulang, buruh-buruh wanita muda yang tak boleh kawin itu, hanya menerima Rp 400-Rp 500 seorang untuk sehari kerja. Sedang di kompleks pabrik puntung, banyak juga yang membawa keluarganya turut bekerja. Suasana memang terasa santai. Seperti Mutara, tadinya penganggur, bersama isteri dan Umi, anaknya yang masih 7 tahun, semuanya bekerja di pabrik Dullah. Dan si kecil bertugas memotong kelebihan tembakau di ujung rokok yang baru digulung dengan upah Rp 20 per seribu batang. Di perusahaan Dullah yang mempekerjakan sekitar 25 orang, ada 5 anak yang sebaya Umi. Yang Tak Sanggup Siapa konsumennya? Diam-diam rokok made in Astana Langgar itu sudah lama menjalar ke luar Kabupaten Cirebon: di selatan Jawa Tengah, Karawang, Subang dan Pamanukan. Bahkan disukai kaum transmigran di Lampung. Muhtar, agen dari Desa Cisaat Sukabumi, biasa mengambil sampai 10 bal sekali datang ke Astana dan Losari Kidul. Mengaku baru dua bulan berdagang rokok di daerah Sukabumi, dia yakin banyak orang kecil yang akan membelinya. Rokok eks puntung itu memang laku di kalangan petani, buruh dan mereka yang tak lagi sanggup membeli kretek asli. Sekarang, Dullah dan rekan-rekannya, serta sejumlah buruh yang lumayan besarnya, tinggal menghitung hari tutupnya perusahaan. Dan tak tahu mau kerja apa lagi. Untuk mengubah menjadi pabrik lain tampaknya sulit. Kecuali Bambang Sutejo, yang lebih dikenal sebagai Siauw Kee itu. Pemilik pabrik cap Talang dan '57' itu sudah siap untuk banting setir. Salah satu bagian dari pabriknya, kini diubah sedemikian rupa hingga menjadi gelap. "Untuk sarang burung walet," kata Siauw Kee sembari mengeluarkan sepak kretek Jarum 76. Tapi Dullah, yang merokok Gudang Garam, gelisah "jangan-jangan saya menjadi penganggur," katanya kepada pembantu TEMPO Aris Amiris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus