PARA pabrikan rokok puntung di Kabupaten Cirebon naga-naganya
akan kehilangan mata pencaharian. Setelah menimbang-nimbang,
terutama faktor kesehatan, Pemda setempat melarang mereka
melanjutkan usahanya. Larangan itu sendiri sebenarnya mulai
berlaku awal Nopember ini. Tapi "masih diberi kesempatan kepada
mereka sampai akhir tahun," kata Kasubdit Perekonomian Andi
Suryamiharja. Maksudnya, memberi kesempatan untuk beralih ke
bidang usaha lain.
Masa yang tinggal dua bulan itu masih dimanfaatkan untuk
menggiling rokok. Tapi buat selusin pabrik pengolah puntung yang
berpusat di Desa Astana Langgar, Kecamatan Losari itu, tak mudah
rupanya menemukan usaha lain. Juga bagi Dullah, 45 tahun,
pemilik rokok kretek cap Gontor dan Kucing.
Pernah berdagang beras, tapi gagal, atas anjuran anaknya, Dullah
mulai usaha rokok puntung itu pada 1971 dengan modal cuma ~Rp
3.000. Dan sukses. Di desa itu memang tak terdengar suara mesin,
seperti lazimnya pabrik rokok kretek. Cukup dengan bilik 4 x 5 mÿFD,
beberapa alat menggiling rokok, tembakau puntung dan sejumlah
buruh wanita yang dibayar murah, siapa saja bisa memulai usaha
rokok puntung itu. Tentu saja masih diperlukan kertas tembakau
dan kertas kaca untuk pembungkus.
Alhasil, yang paling penting adalah harga tembakau bekas yang
amat murah itu. Para pengumpul puntung itu juga memisahkan
cengkeh bekas dari tembakaunya, sebelum menjualnya ke
pabrik-pabrik rokok itu. Kalau harga tembakau di pasaran kini
mencapai Rp 8.000, tembakau bekas itu cuma Rp 1.400 per kg.
Sedang cengkehnya, yang di pasaran sudah Rp 14.000, bisa
diperoleh Rp 6.000 per kg. Untuk membuat rasanya mirip kretek
asli, setelah dijemur adonan tembakau dan cengkeh itu dibubuhi
saos. Dari setiap kg tembakau bekas, diperoleh 2 ons cengkeh
bekas.
Begitulah, merek Balapan Tiga, Rantai Terbang, Granat, Lampu,
SD, Piala dan beberapa lainnya, umumnya dijual eceran di bawah
Rp 75 sebungkus, berisi 10 batang. Kemasannya rapi dan menarik.
Ada yang mirip cap Jarum dan Gudang Garam.
Mereka tak luput dari kewajiban membayar pita cukai, rata-rata
15% dari harga bandrol yang Rp 7,50 sampai Rp 10 sebungkus.
Pabrik seperti punya Dullah membeli 15.000 pita cukai setahun,
seharga Rp 112.000. Sedang Siauw Kee, 30 tahun, pengusaha pabrik
rokok kretek puntung satu-satunya di Desa Losari Kidul, tetangga
Desa Astana itu, membayar lebih dari Dullah.
Setiap pabrik di sana mampu menggulung 10 bal atau 20.000 batang
rokok sehari. Dari kombinasi tembakau dan cengkeh bekas, setelah
melalui proses sortasi dan penjemuran, diperoleh 600 batang.
Dibandingkan pabrik rokok kretek asli seperti cap Sriti di
Kediri, yang menghasilkan 40.000 batang sehari apa yang dicapai
para juragan puntung itu lumayan. Apalagi biaya produksinya
rendah.
Setiap buruh umumnya menggulung 3.000 batang sehari dengan upah
Rp 150 seorang untuk setiap 1.000 batang. Di Kudus, selain
digeledah setiap kali mau pulang, buruh-buruh wanita muda yang
tak boleh kawin itu, hanya menerima Rp 400-Rp 500 seorang untuk
sehari kerja. Sedang di kompleks pabrik puntung, banyak juga
yang membawa keluarganya turut bekerja.
Suasana memang terasa santai. Seperti Mutara, tadinya
penganggur, bersama isteri dan Umi, anaknya yang masih 7 tahun,
semuanya bekerja di pabrik Dullah. Dan si kecil bertugas
memotong kelebihan tembakau di ujung rokok yang baru digulung
dengan upah Rp 20 per seribu batang. Di perusahaan Dullah yang
mempekerjakan sekitar 25 orang, ada 5 anak yang sebaya Umi.
Yang Tak Sanggup
Siapa konsumennya? Diam-diam rokok made in Astana Langgar itu
sudah lama menjalar ke luar Kabupaten Cirebon: di selatan Jawa
Tengah, Karawang, Subang dan Pamanukan. Bahkan disukai kaum
transmigran di Lampung. Muhtar, agen dari Desa Cisaat Sukabumi,
biasa mengambil sampai 10 bal sekali datang ke Astana dan Losari
Kidul. Mengaku baru dua bulan berdagang rokok di daerah
Sukabumi, dia yakin banyak orang kecil yang akan membelinya.
Rokok eks puntung itu memang laku di kalangan petani, buruh dan
mereka yang tak lagi sanggup membeli kretek asli.
Sekarang, Dullah dan rekan-rekannya, serta sejumlah buruh yang
lumayan besarnya, tinggal menghitung hari tutupnya perusahaan.
Dan tak tahu mau kerja apa lagi. Untuk mengubah menjadi pabrik
lain tampaknya sulit. Kecuali Bambang Sutejo, yang lebih dikenal
sebagai Siauw Kee itu. Pemilik pabrik cap Talang dan '57' itu
sudah siap untuk banting setir. Salah satu bagian dari
pabriknya, kini diubah sedemikian rupa hingga menjadi gelap.
"Untuk sarang burung walet," kata Siauw Kee sembari mengeluarkan
sepak kretek Jarum 76. Tapi Dullah, yang merokok Gudang Garam,
gelisah "jangan-jangan saya menjadi penganggur," katanya kepada
pembantu TEMPO Aris Amiris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini