Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Membidik Pelita III

Kemungkinan modal jerman mengalir ke indonesia besar sekali. presiden suharto mengharapkan agar perusahaan kecil dan menengah jerman bisa berpatungan dengan pengusaha indonesia.(eb)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Perekonomian Jerman Barat Dr Otto Graf Lambsdorff setuju insvestasi dari negerinya "bisa dan harus ditingkatkan di Indonesia." Itu dia ucapkan sesaat sebelum meninggalkan Jakarta akhir pekan lalu, setelah berbincang-bincang dengan tak kurang dari 9 menteri selama dua hari di sini. Dia menilai pameran Indogerma, yang kabarnya menelan lebih $ 25 juta, sebagai informasi yang ampuh. Ketua Penyelenggara Pameran Dr. Peter von iemens melihat kemungkinan modal Jerman akan lebih banyak mengalir ke mari. Tapi ada satu soal yang menurut Ketua grup Siemens AG itu merupakan "kekurangan besar" di Indonesia. Apa itu? Kepada TEMPO, sesaat setelah usainya seminar investasi di Hotel Hilton pekan lalu, orang No. 1 Siemens itu merasakan kurang adanya proteksi terhadap barang-barang Jerman yang dibuat di sini. "Di Brazil dan Argentina misalnya, mereka tak lagi mengimpor barang yang sudah kami buat," katanya. ltu barangkali sebabnya para pengusaha Jerman menilai peraturan penanaman modal di Indonesia masih ketinggalan dibanding negara Asia lainnya. Tapi tentang masih banyaknya red-tape (birokrasi berlebihan) seperti diungkapkan Prof. Dr. Rolf Rodenstock, Ketua Federasi Industri Jerman, Wakil Dir-Ut Siemens AG, Dr. Reinhold F. Braun beranggapan, "itu sudah banyak berkurang, sudah lebih lancar." Industri apa saja yang kira-kira akan membuat swasta Jerman tertarik? Peter von Siemens menunjuk pada PT Nurtanio, perakit dan produsen pesawat terbang dan helikopter, sebagai contoh. Dengan kata lain, industri-industri yang membutuhkan teknologi tinggi. Yang "plisticated," katanya. Mereka bahkan sudah memperkirakan Indonesia akan menggunakan tenaga nuklir. Kraftwerk Union, perusahaan pembangkit tenaga terkenal di Jerman, memamerkan miniatur reaktor nuklir. Itu, katanya, ditawarkan untuk proyek Serpong. Sampai sekarang Jerman Barat memang unggul di bidang elektronika, listrik, kabel, farmasi dan obat-obatan. Tapi mereka juga senang menjual mesin-mesin berat seperti dalam Krakatau Steel. Pelita III, yang fokusnya adalah industrialisasi, oleh J. Willecke, Direktur EKONID, dipandang sebagai saat yang lebih tepat buat calon investor Jerman. Tapi sebelum si calon itu melahirkan rencana matang, mereka yang ikut pameran itu umumnya punya satu tujuan memperluas pasaran di Indonesia dan negeri ASEAN lainnya. Salah satu adalah Salzgitter, perusahaan yang ikut merencanakan dan mengerjakan PT Krakatau Steel. Dalam stand-nya dipertontonkan miniatur Krakatau Steel, lapangan terbang Moskow, alat pemboran minyak lepas pantai, robot yang bisa omong Inggeris dan Indonesia dan banyak lagi. Rheinhard Vogt, Direktur Salzgitter AG rupanya sedang mengincer proyek lapangarr terbang Cengkareng. Juga ia menawarkan perencanaan dan pembuatan gerbong kereta-api dan dermaga mminyak. Kamar Gelap Ada juga seperti grup Babcock, perusahaan yang antara lain memproduksi mesin-mesin uap. Mereka telah menandatangani suatu perjanjian umum dengan PT Boma Bisma Indera, Pesero Negara, untuk suatu usaha patungan. Tapi itu baru bisa terlaksana kalau pemerintah menyetujui Babcock yang membangun proyek PLTU Suralaya di Jawa Barat. Juga PT Hoescht Indonesia, salah satu perusahaan farmasi dan obat-obatan terkemuka, merencanakan akan memperluas pabriknya. Tapi yang menarik adalah hadirnya sejumlah perusahaan kelas menengah di pameran yang dibuka oleh Presiden Soeharto itu. Presiden, seperti kata Menteri Graf Lambsdorff menganjurkan agar perusahaan Jerman kelas menengah dan kecil masuk ke Indonesia. Sekalipun perusahaan-perusahaan itu menjual teknologi yang bukan padat karya, mereka mungkin dianggap lebih cocok untuk berpatungan dengan pengusaha Indonesia. Tapi mampukah mereka menanam modalnya jauh dari negerinya? Kinderman & Co. GmbH yang bergerak di bidang proyektor dan kamar gelap, mengharapkan agar instansi-instansi pemerintah mau menggunakan dagangannya. "Tapi untuk menanam modal kami merasa masih terlalu kecil," kata Achim Kindermann, direktur penjualannya. Banyak yang lebih suka menjual barangnya di sini daripada harus menanam modal. Tapi bagaimana pun, seperti kata Dr. Rodenstock, semakin direvaluasikannya mata uang DM -- yang mengakibatkan semakin tingginya upah buruh -- mau tak mau perusahaan Jerman itu dipaksa untuk meningkatkan investasinya ke luar negeri. Dia melihat Asean sebagai salah satu sasaran yang tepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus