Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANDANG sapi lokal di rumah potong hewan Tapos, Depok, Jawa Barat, Jumat dua pekan lalu terlihat sepi. Hanya ada dua ekor sapi Bali yang terikat tali di kandang bagian depan berukuran sekitar 2.000 meter persegi itu. Sebaliknya, di bagian belakang, kandang dengan ukuran yang sama terlihat sesak oleh 70-an ekor sapi impor Australia.
Jumlah yang berbanding terbalik itu adalah gambaran populasi sapi lokal yang semakin terimpit oleh kedatangan sapi asal luar negeri di Jakarta dan sekitarnya. Marina Ratna Dwi Kusumajati, Direktur Utama PD Dharma Jaya, rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah DKI Jakarta, mengatakan jumlah sapi lokal yang masuk ke RPH memang berangsur-angsur menyusut. "Saat ini 97 persen RPH di Jabodetabek diisi sapi impor," katanya Selasa dua pekan lalu.
Edy Wijayanta, peternak di Tapos, Depok, mengatakan sapi lokal kalah bersaing harga dengan sapi Australia. Di Jabodetabek, harga karkas (daging bercampur tulang) sapi impor dibanderol Rp 78 ribu per kilogram dari tangan jagal (tukang menyembelih sapi). Sedangkan sapi lokal lebih tinggi, yaitu Rp 83 ribu per kilogram. Inilah yang membuat peternak tak berani mengirim sapi lokal ke rumah-rumah potong di sekitar Ibu Kota.
Peternak memilih menjual sapi lokal hanya jika ada permintaan dari jagal. Edy salah satu dari segelintir peternak di Jabodetabek yang masih rutin memasok sapi jenis ini. Pria 50 tahun asal Jepara, Jawa Tengah, ini memiliki stok 300 ekor sapi lokal di kandang bersebelahan dengan RPH Tapos yang dipasarkan secara online.
Mayoritas sapi milik Edy untuk menyuplai kebutuhan Idul Fitri dan Idul Adha, yang jatuh pada Juli dan September mendatang. Pada periode itu, kebutuhan sapi dipastikan meroket. Permintaan dari jagal rumah potong hewan Tapos rata-rata hanya dua ekor per pekan. Padahal RPH milik Pemerintah Kota Depok ini rata-rata memotong 40-50 ekor sapi setiap hari. Menurut Edy, permintaan sapi lokal biasanya datang dari konsumen yang fanatik. "Pedagang daging sapi lokal punya konsumen yang loyal."
Banjir sapi Australia ini terjadi akibat kuota impor yang melonjak tajam, dari 200 ribu ekor pada 2012 menjadi sekitar 600 ribu ekor pada 2014. Baru-baru ini Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan kembali mematok kuota impor sapi sebesar 270 ribu ekor pada kuartal kedua 2015. Volume ini meningkat dari realisasi impor kuartal pertama tahun ini sebanyak 97 ribu ekor.
SULITNYA sapi lokal masuk Jabodetabek diperparah oleh mahalnya ongkos logistik. Yuari Trantono, peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian, mengatakan harga sapi lokal dari Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat sebenarnya masih lebih murah ketimbang sapi impor. Namun tingginya ongkos angkut dengan kapal dan truk membuat harganya bisa melangit saat tiba di Jakarta, melebihi harga sapi impor.
Yuari, yang pernah menggeluti bisnis perdagangan sapi selama satu dasawarsa, punya pengalaman pahit mengangkut sapi dari Kupang ke Jakarta. Dalam hitungannya, harga sapi lokal NTT dan NTB sebesar Rp 32-34 ribu per kilogram bobot hidup bisa meroket menjadi Rp 43 ribu setiba di Jakarta. Harga tersebut lebih mahal ketimbang sapi impor yang dibanderol Rp 38-40 ribu per kilogram bobot hidup. "Siapa yang berani mengambil rugi?" kata Yuari. Kenaikan harga berasal dari ongkos pengangkutan, pungutan liar, hingga risiko penyusutan bobot sapi (lihat infografis).
Akibatnya, pedagang sapi NTT dan NTB harus mengubur cita-cita mereka mengirim sapi ke Jabodetabek, yang mengkonsumsi 60 persen kebutuhan daging nasional. Pedagang sapi di sana memilih mengalihkan distribusi ke Kalimantan, yang harganya lebih baik ketimbang Jakarta (lihat tabel).
Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengetahui kendala tersebut. Itu sebabnya ia menandatangani kerja sama dengan pemerintah DKI Jakarta untuk jaminan suplai sapi ke Ibu Kota. Akan ada anggaran tersendiri untuk menanggung ongkos pengiriman yang menjadi biang kerok mahalnya biaya angkut. Ia juga menyiapkan 1.100 ekor sapi bibit dan 1.000 ekor sapi bakalan atau penggemukan. "Untuk memenuhi kebutuhan daging di Jakarta."
Lain lagi cerita Abu Hasan, 53 tahun, blantik atau makelar sapi asal Malang. Ia tidak lagi mengirim sapi ke Jakarta karena harga hewan itu meroket lebih dulu di Jawa Timur. Hasan, yang biasanya mengangkut 23 ekor sapi setiap hari ke Jakarta, kini menghentikan bisnisnya. "Akibat membanjirnya sapi impor."
Tingginya konsumsi daging di Jabodetabek membuat pemasok di sentra produksi sapi di NTT, NTB, Jawa Timur, dan Jawa Tengah mengubah strategi. Mereka tidak lagi mengirim sapi hidup, tapi mengangkut daging beku. Tamadoy Thamrin, Direktur Utama PT Abbatoir Surya Jaya, rumah potong hewan di Surabaya, mengatakan ia mengirim lima ton daging beku saban minggu ke Jakarta.
Daging beku mengisi 15 persen pasar daging. Konsumen daging beku adalah pengelola hotel, restoran, katering, dan industri daging olahan. Harganya dibanderol lebih murah, Rp 60-70 ribu per kilogram.
Librato El Arif, Direktur Utama PT Berdikari, badan usaha milik negara khusus peternakan, juga melirik bisnis daging beku. Ia berancang-ancang menggenjot pasokan daging beku sapi dari NTT, NTB, dan Jawa. Mulai April lalu, ia mengirim 1,5 ton daging beku dan daging dingin (chilled) merek Tambora Beef dari Bima NTB ke beberapa supermarket di Jakarta.
Syukur Iwantoro, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, mulai mendorong industri rumah potong hewan mengemas daging sapi lokal menjadi daging beku dan dingin. Ini merupakan cara merebut pasar Jakarta dari serbuan daging sapi impor. Ia mengatakan pemerintah pusat mengucurkan dana Rp 8,7 miliar kepada pemerintah NTT untuk membangun dua rumah potong hewan modern di Kupang. "Nantinya sapi dari NTT berupa daging beku."
Akbar Tri Kurniawan, Artika Rahmi (Surabaya), Eko Widianto (Malang), Rofiqi Hasan (Denpasar), Yohanes Seo (Kupang)
Tahapan Pengiriman Sapi dari Kupang, NTT, ke Jabodetabek
KUPANG
SURABAYA
JAKARTA
BIAYA
Kuota Impor Sapi 2015
Kuartal I:
Kuartal II:
Naskah: Akbar Tri Kurniawan | Sumber: Kementerian Perdagangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo