Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berhenti sampai Ancaman

Berulang kali Petral jadi sasaran hendak dibubarkan. Komoditas politik dan janji kampanye.

4 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana pembubaran Pertamina Energy Trading Limited (Petral) sama sekali bukan ide baru. Sudah berulang kali unit usaha Pertamina yang berbasis di Hong Kong ini diancam hendak digulung atau dihabisi. Tapi, jangankan bubar, peran dan posisinya sebagai pemain utama dalam sistem pengadaan minyak mentah dan produk bahan bakar minyak impor seperti tak pernah tergantikan.

Pada 2012, di awal-awal masa jabatannya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan langsung mendengungkan upaya bersih-bersih dalam rantai produksi dan pengadaan BBM. Salah satu usul penting yang ia usung adalah menutup operasi Petral. Alasannya, selama ini Petral dituding sebagai ladang korupsi para pejabat dan petinggi lama Pertamina.

Tapi tak lama. Niat itu surut dan berlalu begitu saja. Sampai Dahlan turun bersama habisnya masa Kabinet Indonesia Bersatu II pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, Petral masih berdiri. Isu ini kembali jadi janji politik yang diangkat Joko Widodo dalam kampanyenya tahun lalu. Lagi-lagi Petral menjadi sasaran. Perusahaan itu hendak digusur sebagai salah satu bukti reformasi dalam tata kelola minyak dan gas bumi oleh pemerintah baru ini.

Punya jejak yang bisa ditarik ke belakang sampai 1969, sejarah Petral bermula ketika Pertamina menggandeng perusahaan Amerika Serikat untuk membentuk Perta Oil Marketing Corporation Ltd, yang berbasis di Hong Kong dan California. Lalu, pada 1992, mereka membentuk Petra Group, yang didedikasikan hanya untuk memasarkan minyak mentah Indonesia ke Negeri Abang Sam. Kongsi ini mendirikan anak usaha di Singapura, yakni Pertamina Energy Services Ltd (PES), untuk berdagang minyak mentah, produk minyak, dan petrokimia, seiring dengan perpindahan pusat pasar minyak Asia-Pasifik yang semula di Hong Kong ke negeri pulau di Selat Malaka itu.

Pada 2001, ketika Indonesia tak lagi berstatus net exporter, tugas Petral—melalui PES—meluas. Tak cuma berjualan, mereka juga membeli alias mengimpor minyak mentah dan produk BBM untuk Tanah Air.

Bisnis Petral membesar sejalan dengan meningkatnya kebutuhan impor Indonesia. Tapi perannya yang monopolistik mulai dicurigai. Petral dianggap menjadi ajang para elite politik berbagi rezeki dengan memainkan harga minyak impor seenaknya. Ini pula yang selanjutnya mendorong Direktur Utama Pertamina saat itu, Ari Soemarno, mencoba mengubah sistem.

Pada 2006, pengaturan pengadaan minyak impor dialihkan melalui Integrated Supply Chain (ISC) yang berada di dalam Pertamina agar lebih mudah diawasi. Tapi gagasan Ari membentuk ISC justru membuatnya terlempar dari jabatan tak lama kemudian.

Akhir 2014, tim transisi yang dibentuk Joko Widodo kembali melempar ide pembekuan Petral. Kelompok Kerja Bidang Energi, tim yang dipimpin politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengatakan langkah itu diperlukan sebagai upaya bersih-bersih sektor migas.

Setelah kabinet baru terbentuk, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melanjutkan ide itu dengan membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas, yang dipimpin Faisal Basri. Tim ini mengaku mengendus ketidakberesan tata kelola impor minyak dan BBM di Petral, yang dibuat seolah-olah transparan dan langsung ke produsen. "Kenyataannya itu cuma bungkus. Ujung-ujungnya ke trader juga," kata Faisal.

Seorang mantan petinggi Pertamina tak menyangkal cerita itu. Menurut dia, peran Petral dalam proses pengadaan minyak terlalu besar sejak unit usaha Pertamina ini menjadi satu-satunya trader. Sebelumnya, Pertamina punya tiga trader, yakni Petral; Pacific Petroleum Trading, joint venture Pertamina dengan 19 perusahaan Jepang; dan Korea Indonesia Petroleum Company. Perusahaan-perusahaan itu dibubarkan, dan tinggallah Petral sebagai pemain tunggal. "Petral juga harus dibubarkan, dibersihkan dari atas sampai bawah, karena dari sejarahnya sudah jelek."

Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie


Temuan Tim Reformasi Tata Kelola Migas
- Petral sering memanipulasi. Perusahaan minyak nasional (national oil company/NOC) rekanan mereka hanya sebagai fronting untuk memenuhi ketentuan bagi pemasok minyak yang sebenarnya.
- Petral tidak mempermasalahkan dari mana asal atau sumber minyak yang diperoleh NOC pemasok. Misalnya ada agen yang menggunakan PV Oil (NOC Vietnam) sebagai fronting dalam pengadaan minyak mentah dari Nigeria. Pemasok sebenarnya adalah Trafigura, yang memiliki hak alokasi atas minyak Nigeria.
- Hal serupa terjadi pada Maldives NOC dan PTT Thailand, yang tak memiliki sumber minyak sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus