Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko Supriyono menjelaskan bahwa Afrika menjadi pasar minyak kelapa sawit (CPO) menarik karena pertumbuhan ekspor yang cukup bagus setiap tahunnya, meskipun negara tersebut hanya memesan dalam kemasan kecil.
"Afrika ini ternyata partai kecil atau 'small pack' dalam bentuk 200 ton, 500 ton, dan itu ternyata menjadi besar. Ini menjadi catatan bagaimana kita ingin mengarah ke pasar tradisional, isu spesifik harus dicermati," kata Joko di Jakarta, Selasa, 16 Juni 2020.
Dia menjelaskan bahwa berdasarkan kode HS-nya, ada 32 produk minyak sawit Indonesia, baik CPO, PKO dan turunannya yang diekspor ke Afrika.
Salah satu produk, yakni minyak sawit olahan dalam bentuk cair dengan pengemasan tidak lebih dari 25 kilogram saja mencapai 41 persen dari total ekspor minyak sawit ke Afrika.
Joko menilai bahwa mengembangkan pasar baru yang potensial, yakni Afrika merupakan salah satu upaya yang dilakukan Indonesia di saat pelemahan permintaan dunia atas minyak sawit di tengah kondisi pandemi.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menjelaskan bahwa kawasan Afrika, khususnya Afrika timur memang menjadi pasar potensial bagi komoditas minyak sawit dengan populasi hampir 380 juta orang di 18 negara.
"Persoalan di sana, mereka tidak punya tangki-tangki besar di pelabuhan. Makanya, lebih senang memperoleh minyak dalam kemasan di bawah 25 kilogram," kata Sahat.
Sahat menambahkan Indonesia juga sudah saatnya memanfaatkan kondisi geografis, di mana kawasan pesisir Sumatera Barat dapat dikembangkan sebagai titik ekspor menuju India dan Eropa. Dengan begitu, biaya logistik dapat hemat sekitar 8-10 dolar AS per ton, dibandingkan jika ekspor dilakukan dari Riau.
ANTARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini