PERHATIAN para pengamat ekonomi dunia barusan saja mengarah ke Jenewa, Swiss, tempat harga minyak dunia sedang dipertaruhkan. Adalah para menteri perminyakan dari 13 anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) yang sejak tanggal 11 lalu bersidang di kota ini. Dan Indonesia pun menunggu dengan harap-harap cemas, dapatkah dicapai kesepakatan menaikkan harga minyak dunia menjadi US$ 18 setiap barel. Angka US$ 18, alias kenaikan sekitar US$ 3 dari harga yang berlaku saat ini, memang sudah dicanangkan oleh hampir semua menteri anggota OPEC sebelum sidang berlangsung. Alhasil, memang sudah ada kesepakatan sebelum sidang untuk mencapai harga ini, tinggal merundingkan bagaimana mekanisme pelaksanaannya. Mulanya sebagian alhggota, ingin mempertahankan tingkat produksi yang ada, yaitu sekitar 17 juta barel per hari bagi OPEC. Sedangkan Iran, Aljazair, dan Libya bersikeras bahwa OPEC harus menurunkan produksinya bila ingin mencapai harga US$ 18 ini. Perbedaan pendapat ini terutama disebabkan oleh tidak jelasnya data produksi dan konsumsi minyak dunia serta perbedaan kepentingan nasional. Berdasarkan penyidikan harian bisnis terkemuka The Wall Street Journal, konsumsi dunia nonkomunis saat ini 46,5 juta barel per hari, dan terdapat stok 5,6 milyar barel. Padahal, stok normal biasanya sekitar 5,2 milyar barel. Stok berlebih inilah yang kini dianggap sebagai hambatan bagi maksud OPEC mencapai kenaikan harga minyak. Apalagi pangsa pasar OPEC di dunia sudah menurun. Persoalannya sekarang adalah berapa besar penurunan produksi OPEC harus dilakukan dan bagaimana pembagian porsi pemotongan itu. Dalam bidang inilah perbedaan kepentingan nasional tiap negara menjelma menjadi pertikaian di dalam sidang. Maklum, semakin banyak produksi dilakukan, semakin besar penerimaan negara. Dan bagi beberapa anggota OPEC seperti Nigeria, bahkan juga Indonesia, berapa besar pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi minyaknya sangat menentukan cerah suramnya ekonomi tahun mendatang. "Bagi Indonesia, yang penting bukan soal pilihan antara harga dan tingkat produksi, melainkan berapa besar pendapatan negara," kata Menteri Subroto, yang hadir di Jenea bersama tim inti Dirut Pertamina A.R. Ramly, staf ahli Ir. Wijarso, dan Sekdirjen Migas Drs. Adimir Adin itu. Hengkangnya Yamani dan masuknya menteri baru Saudi Hisham Naer tampaknya membawa angin segar bagi persatuan OPEC. "Gayanya yang tenang dan low profile sangat membantu sidang mencapai kesepakatan," kata seorang anggota delegasi. Karena itu, besar kemungkinan sidang OPEC kali ini berakhir dengan sukses. Wawancara terakhir TEMPO dengan anggota delegasi Indonesia, Selasa pekan ini, menyimpulkan nada serupa. Harga US$ 18 dolar per barel, atau kenaikan hampir 30 persen, kelihatannya bisa disepakati sebelum akhir pekan ini hanya dengan potongan produksi kurang dari 10 persen saja. Artinya, masih ada kenaikan pendapatan lebih dari 20 persen. Dan kenaikan itu, berapa pun besarnya, tentu melegakan. Bambang Harymurti (Jenewa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini