Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Tarjih Pimpinan Pusat atau PP Muhammadiyah ternyata pernah mengeluarkan fatwa tentang pengelolaan pertambangan dan urgensi transisi energi berkeadilan. Fatwa itu tercantum dalam Surat Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor 077/I.1/F/2024 pada tertanggal 9 Juli 2024—sebelum PP Muhammadiyah menyatakan menerima izin usaha pertambangan atau IUP pada Ahad, 28 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fatwa ini tak secara eksplisit menyebut aktivitas pertambangan adalah haram. Namun, Kepala Pusat Tarjih PP Muhammadiyah, Niki Alma Febriana Fauzi, mengatakan jika dibaca saksama, fatwa itu menyimpulkan tambang energi fosil itu haram li sadd al-dzari’ah (diharamkan sebagai bentuk tindakan preventif karena ada hal-hal yang berbahaya pada sesuatu yang awalnya boleh). “Solusinya, kita harus tinggalkan energi fosil yang kotor dan membahayakan dengan beralih ke energi yang ramah lingkungan secara berangsur-angsur, setahap demi setahap (tadarruj),” kata Niki dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa, 30 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dokumen yang dilihat Tempo, fatwa itu menyatakan pertambangan sebagai masuk dalam kategori muamalah atau al-umr al-duny (perkara-perkara duniawi). Dalam perkara ini, hukum asalnya adalah boleh (al-ibah) sampai ada dalil, keterangan, atau bukti yang menunjukkan bahwa itu dilarang atau haram.
Dokumen setebal 15 halaman itu menyebut berbagai aktivitas pertambangan yang berlebihan, eksploitatif dan tidak mengindahkan hak lingkungan dan masyarakat dilarang dan bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu, aktivitas pertambangan perlu mendapatkan pengawasan yang ketat. Pengusaha wajib bertanggung jawab untuk mereklamasi dan memulihkan lingkungan setelah aktivitas pertambangan. “Jika tidak mau melakukannya, maka mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok para perusak bumi,” tulis Majelis Tarjih, dikutip Selasa, 30 Juli 2024.
Majelis Tarjih menilai perlu adanya tindakan serius dari pemerintah untuk memperbaiki regulasi tentang tambang. Aturan-aturan itu harus sejalan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan, termasuk menindak tegas berbagai pihak yang telah memanfaatkan pertambangan sebagai alat politik dan kepentingan sepihak. “Jika dalam pengawasan, ternyata hal-hal buruk ini masih dilakukan, maka yang berwenang wajib untuk mencabut izin dan menghentikan aktivitas pertambangannya,” tulis Majelis Tarjih.
PP Muhammadiyah menerima tawaran WIUPK dengan alasan hasil pleno pada 13 Juli lalu, dan Konsolidasi Nasional yang dilangsungkan selama 2 hari sejak 27-28 Juli kemarin.
Konsolidasi Nasional ini dihadiri pimpinan pusat Muhammadiyah, Majelis, Lembaga, Biro, Organisasi Otonom Tingkat Pusat, Pengurus Wilayah Seluruh Indonesia, Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiah, serta Direktur Rumah Sakit Muhammadiyah. “Kami melihat nilai positif tambang itu seperti sebuah kehidupan, persis seperti itu juga pro kontranya,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam jumpa pers, Ahad, 28 Juli 2024.
Adapun, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 sebagai revisi dari Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo pada 30 Mei lalu. Aturan ini memberikan regulasi anyar kepada ormas keagamaan, di mana mereka dapat mengajukan atau diberikan WIUPK dari pemerintah.